Dara melangkahkan kakinya memasuki pelataran rumah minimalis bercat abu abunya.
Rumah yang sudah ia dan Dava tempati 5 tahun terakhir ini.
"Dara.."
Dara menoleh dan mendapati seorang pria berdarah campuran Asia-Prancis dengan penampilan berandalannya sedang tersenyum manis kearahnya.
"Kau sama sekali tidak pantas tersenyum."
Cibir Dara membuat pria dihadapannya terkekeh pelan.
"Yayaya terserah apa katamu."
"Ada apa?"
Pria itu tersenyum sangat mengenal seorang Regadara Anderson yang malas berbasa basi.
"Jangan menatapku seperti itu Dara, sebaiknya kita masuk lalu buatkan aku sesuatu sebelum adik kesayanganmu pulang."
Dara memutar bola matanya malas mengingat beberapa tahun lalu Dava melemparkan tatapan permusuhan kearah berandalan tampan ini.
"Kau hanya datang meminta makanan padaku? Kau pikir aku restauran berjalan?"
Gerutu Dara membuka pintu bercat coklatnya membiarkan pria itu mengekorinya kedapur dengan kekehan tanpa dosanya
"Ada sedikit urusan Dara.."
"Kau tidak sedang beralih menjadi pembunuh bayarankan?"
"Ide bagus."
"Samuel!"
Ucap Dara setengah menjerit membuat pria itu terbahak.
"Berhenti tertawa atau aku akan membunuhmu."
Dara mengacungkan pisau ditangannya kearah Samuel membuat pria itu menghentikan tawanya dengan kedua tangan terangkat tanda menyerah.
"Oke!"
...
Dara meletakkan sepiring pasta diatas meja, ia lalu menoleh kearah Dava yang baru saja menutup pintu kamarnya sebelum mengambil tempat tepat dihadapannya.
"Kau baik baik saja?"
"Aku baik."
"Jangan menyembunyikan sesuatu dariku anak nakal."
"Aku hanya sibuk ujian kelulusan dan tes wawancara."
"Kau sama sekali tidak pandai berbohong Regadava Anderson."
Dava menghela nafasnya menyerah sampai kapanpun ia tidak akan pernah berhasil menyembunyikan apapun dari seorang Dara.
"Baiklah, kau menang. Aku mendapat surat panggilan dan kau harus ke Sekolahku."
Gumam Dava yang membuat Dara menghentikan aktivitasnya
"Apa? Bagaimana bisa? Apa yang kau lakukan? Bagaimana kalau Beasiswamu dicabut?"
Omel Dara menyimpan garpunya dengan kasar sedangkan mata keemasannya menghunus Dava dengan tatapan membunuh.
"Aku hanya tidak sengaja membuat Ahraa Alexanders Cendrick terjatuh"
Dara terpengarah.
Kebetulan macam apa ini?
Kenapa ia terus berurusan dengan keluarga Cendrick?
Sial.
"Sudahlah, belajar dengan baik dan aku akan kesekolahmu setelah kelasku selesai."
Ujar Dara meraih Eartphonenya diatas meja dan bergegas bangkit.
"Maaf."
Ucap Dave dengan kepala tertunduk membuat Dara menghela nafasnya.
"Tidak apa apa, Dava"
Pria itu mengangkat wajahnya dan senyum indah diwajah cantik itu menyambutnya dengan hangat.
"Dara.."
"Aku pergi, sebaiknya kau juga bergegas.."
Dara mengecup pipi Dava sekilas seraya menepuk bahu kokoh adiknya agar tidak perlu merasa bersalah.
...
Dara bersandar dibangku kantin dengan tangan yang bersidekap didepan dadanya. Kedua telinganya tersumpal Eartphone yang mengalunkan musik pelan. Dan menatap segelas Chapucino diatas meja dengan tatapan tak terbaca.
"Dara, apa kau sudah bersiap untuk perkemahan?"
"Ya."
Sahut Dara singkat tanpa mempedulikan celotehan ketiga sahabatnya sejak tadi.
"Kau bicara terlalu irit."
Sinis Sunny yang hanya ditimpali dengan anggukan oleh Nana.
"Kalau kau membutuhkan sesuatu kau bisa bicara padaku."
"Tidak ada, aku ada sedikit urusan"
Dara melirik Arloginya sebelum bergegas bangkit dari sana. Teringat akan janjinya dengan Dava pagi tadi.
"Selalu saja melarikan diri."
....
"Oh, Sial!"
Dara mengumpat sebelum berbalik kembali menuju kantin. Bagus. Ia belum menyelesaikan urusanya dengan Veron dan sekarang ia akan berusan dengan keluarga pria itu mengingat sekolah yang ia dan Dava tempati bersekolah adalah milik keluarga Cendrick.
Langkah itu begitu lebar tanpa keraguan saat Dara menghampiri meja yang terletak ditengah kantin. Persetan dengan semua mata yang menghujamnya, ia hanya ingin ponselnya kembali.
"Berikan."
Dara mengulurkan tangannya yang terbuka tepat dihadapan pria yang kini meletakkan tabletnya diatas meja. Pria mempesona dengan setelan kemeja biru tua dan dasi abu abunya yang sudah tampak berantakan.
"Kau-"
"Kau Bicara apa?"
Veron menyela Alvin dengan senyum licik yang pria itu sembunyikan dibalik wajah tenangnya membuat Dara mendengus kesal.
"Kembalikan."
"Mengembalikan apa?"
Dara Menggeram kesal membungkukkan tubuhnya dan dalam sekali sentakan menarik dasi Veron dengan kuat hingga hingga wajah mereka nyaris bersentuhan. tepat disisi wajah tampan yang sempat menyembunyikan keterkejutannya.
"Simpan omong kosongmu Tuan Cendrick yang terhormat."
Desis Dara tepat ditelinga Veron, namun diluar dugaannya pria itu malah terkekeh pelan.
"Pengendalian diri yang bagus."
Decak Veron dengan seringaiannya membuat Dara mendorong d**a bidang pria itu agar menjauh darinya.
"Aku tidak tahu apa yang membuatmu menyimpan barang rongsokan itu."
"Barang rongsokan? Aku rasa tidak ada barang rongsokan yang bernilai ratusan Dollar."
"Urusan kita belum selesai."
Ujar Dara sebelum berbalik meninggalkan kantin, ia bersumpah akan memberikan pria itu pelajaran yang setimpal.
"Lihat saja.."
"b******k! Gadis itu benar benar."
Decak Alvin mengiringi desas desus dan keriuhan yang makin menjadi saat Dara menghilang dipintu kantin.
"Sepertinya aku harus bersiap mendengar celoteh adikku."
"Apa hubungannya?"
Alvin menatap Kenan yang menyeruput Capucino-nya dengan alis terangkat.
"Apa kau lupa? Regadara Anderson, adalah sahabat Kezia adikku."
"Tapi aku tidak pernah melihatnya."
Ucap Veron menatap Kenan dengan serius membuat pria itu tersenyum simpul.
"Mereka sudah bersama beberapa tahun ini sebelum kau melanjutkan S2 mu. Kezia juga sering bercerita tentang sahabatnya yang selalu menghilang, mengucapkan kata kata pedas dan keras kepala. Jelas itu Dara karna Sunny dan Nana selalu lengket padanya."
Jelas Kenan membuat Veron mengerutkan keningnya, Seorang Kenan terlalu banyak diam hingga pria itu jarang bercerita panjang lebar apalagi membahas wanita.
"Bodoh! Kenapa mereka mau berteman dengan gadis seperti itu."
"Siapa yang tau isi kepala para wanita?"
"Dan kenapa kau tersenyum?"
"Tidak, hanya merindukan seseorang."
...
Dara melangkahkan kakinya mengekori salah seorang guru yang membawanya kesebuah ruangan, Ruangan dimana sang ketua yayasan sedang duduk dengan anggun disana.
"Nyonya, Ini wali dari Regadava Anderson."
Wanita yang masih terlihat cantik diusianya yang Dara yakini sudah tidak muda lagi itu mengangguk pelan dan meminta Dara agar duduk didepan meja raksasanya.
"Selamat siang Nyonya Cendrick, aku Regadara wali dari Regadava."
"Aku Annastasya Direktur sekolah ini."
Mereka saling berjabat tangan, dengan senyum tipis yang tersungging diwajahnya.
"Baiklah, aku dengar adikku ini membuat keributan dengan putrimu?"
"Memang benar, Regadava ada urusan dengan putriku."
"Apa itu akan mengganggu beasiswanya?"
Tanya Dara tidak ingin terlibat dalam basa basi yang panjang, ia hanya ingin tau nasib adiknya ini.
"Mommy!"
Keduanya tersentak saat pintu terbuka lebar dengan seorang gadis yang melangkah dengan anggun menghampiri keduanya.
"Ahraa, Mommy kedatangan tamu."
Teguran dan tatapan lembut itu membuat Dara tertegun sejanak, ia menghela nafasnya lalu menatap gadis cantik yang sedang mengibaskan rambut legam sepinggulnya dengan anggun.
"Wali Dava? Benar?"
"Ya."
"Oh maafkan aku atas kejadian ini, Mom ku memang selalu berlebihan."
"Ahraa."
"Mom, ini hanya kecelakaan kecil."
"Kecelakaan kecil yang bisa membahayakanmu Sayang."
"Kau tidak perlu khawatir, lagi pula ini salahku berjalan sambil bermain ponsel. "
"Ahraa.."
"Mom tidak berniat mencabut beasiswa Dava bukan?"
"Memang.."
"Aku tidak akan makan dan bicara dengan Mom jika melakukannya. "
"Baiklah, Mom tidak akan mengganggu anak itu lagi, dan Dara maaf atas ketidak sopanan putriku ini."
Tanpa Dara cegah kedua sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah senyuman melihat tingkah ibu dan anak ini.
"Tidak apa apa Nyonya, Aku justru ingin berterima kasih sudah memaafkan Dava."
Setelah berpamitan, Dara bergegas meninggalkan kedua ibu dan anak itu yang melanjutkan perdebatan kecilnya. Ia menghela nafasnya pelan sebelum melanjutkan langkahnya.
Keluarga yang bahagia
.....