Part 3

1006 Words
Dara menyilangkan kedua kakinya diatas sofa sederhana berwarna abu abu dengan setoples biskuit dipelukannya berusaha menikmati apa yang disuguhkan layar datar didinding rumahnya. Ruangan sederhana yang hanya dipenuhi syara dari televisi itu tampak damai seperti biasa hingga pintu terbuka lebar, tampak tubuh tegap milik Dava yang semakin kokoh berjalan kearahnya. "Kau sudah pulang?" Dava mengangguk seraya meletakkan tas yang tersampir dibahunya. "Kau tidak ke kampus?" "Aku ada kelas sore ini." Dava menghempaskan tubuhnya tepat disamping Dara seraya memejamkan matanya. "Dava.." Panggilan lembut itu membuat Dava membuka matanya dan tatapan sendu itu menyambutnya. "Sebaiknya kau berhenti bekerja." Pinta Dara membelai rambut coklat milik Dava yang kini ikut menatapnya. "Tidak apa apa, aku akan istirahat sebentar.." Dava meraih tangan Dara dirambutnya dan mengusapnya pelan, seolah memberi tanda jika baik baik saja. Ia tidak mau Dara merasa bersalah padanya yang selalu merepotkan Kakaknya itu. Bagaimanapun, Dava jelas tidak ingin Dara menanggung semuanya sendirian sementara ia bisa hidup dengan baik. "Maafkan aku.." *** Dara Berdecak pelan saat menyadari orang orang tengah menatapnya sepanjang koridor tempat ia melangkahkan kakinya. Dengan Gusar ia melangkah menuju taman, begitu beruntung karna Dosennya tidak hadir hari ini hingga ia bebas berkeliaran kana saja. “Seperti dugaanku.” Dara nyaris menjerit mendengar seruan Pria dengan setelan kemeja putih dan dasi Darkbluenya yang sudah tampak berantakan namun masih terlihat elegan nan mempesona. Betapa Pria ini begitu mudah menjerat wanita mana saja dengan sejuta pesonanya. Dara tidak menyangkalnya. “Apa?" Veron tersenyum menatap Dara yang hanya menatapnya datar atau lebih tepatnya sedang berusaha menahan diri agar tidak mencekiknya saat ini juga. "Aku hanya ingin membuat sedikit kesepakatan." "Dan aku ingin ponselku kembali." Dara menahan dirinya, benar benar ingin lepas kendali dan menggila hingga ponselnya bisa kembali ketangannya "Ikuti semua perintahku atau Beasiswamu dan adikmu akan dicabut." Dara mengatupkan rahangnya dengan kuat menatap Veron yang menatapnya dalam dalam dengan tatapan datar. "Apa yang kau lakukan?" Desis Dara merasa Veron sedang berusaha menyelami kedua matanya entah sedang mencari apa. "Aku tidak akan menyentuh ponselmu selama kau menuruti perintahku." Brengsek! Sebenarnya apa yang pria ini inginkan darinya? "Aku tidak tahu kenapa kau melakukan ini, bukankah ini hanya membuang buang waktumu?" Veron tak menyahut, ia masih menatap Dara berusaha meruntuhkan diding kokoh gadis itu. "Veron." Geram Dara dengan tangan yang terkepal disisi tubuhnya, Veron menyeringai seraya merogoh saku celananya dan melemparkan sebuah benda persegi kearah Dara. "Untuk sementara kau gunakan ini." "Aku-" "Lakukan saja Dara." "Aku akan melakukannya tapi tidak didepan teman temanku. " "Pilihan bagus." Dara tidak mengucapkan apapun masih menatap Veron dengan tatapan dinginnya benar benar berharap tatapannya itu mampu membunuh pria yang kini memainkan jemarinya diatas layar datar tabletnya. "Ingat, Saat kau tidak menjawab panggilanku tanpa alasan yang jelas kau akan mendapat hukuman." "Omong kosong apa!" ** Dara mendengus kesal, sial memang. Malam ini ia harus terjebak diatara teman temannya yang sejak tadi memberondonginya dengan berbagai pertanyaan aneh. Dara sama sekali belum membuka mulutnya sejak ia mendaratkan tubuhnya dikursi sebuah Restoran setelah Nana dan Sunny menyeretnya kemari. “Sudah selesai ladies?” Tanya Dara dengan nada bosan, membuat Kezia, Nana dan Sunny sama sama berdecak kesal. "Dara, kau benar benar menyebalkan.” Dara mengernyit tidak suka mendengar pekikan tiga gadis dihadapannya yang begitu memekakkan telinga, bersyukurlah karna posisi mereka yang berada disudut restoran sehingga tidak ada pelanggan restoran lain yang akan merasa terganggu dnegan celoteh ketiga sahabatnya. “Baklah aku akan menjawabnya” “Cepatlah..” Desak Kezia begitu antusias. Dara menghela nafasnya pelan, sahabatnya ini sudah terjebak oleh pesona seorang Veron. “Hanya salah paham.” “Salah paham apa? Kenan saja tidak mau memberitahuku, aku tidak percaya saat ia mengatakan kalau ia tidak tahu apa apa?” Gerutu Kezia, Nana mengagguk setuju berbeda dengan Sunny yang menatapnya dengan tatapan menajam seolah mencari kebohongan dimata Dara yang sayangnya sia sia. Ia tidak mendapatkan apapun selain mata bening disana. Gadis ini begitu ahli mengendalikan emosinya. “Dia menabrakku, berkas yang seharusnya aku berikan Dosen pembimbingku rusak. Aku hanya kesal karna ia sama sekali tidak merasa bersalah telah merusak berkasku dengan kopinya." Pembohong. Dara tahu itu, hanya saja jika ia mengatakan yang sebenarnya semuanya akan menjadi semakin rumit. “Kau tidak berbohong Dara?” Tuding Sunny, Dara mengangguk mantap lagi lagi tampak begitu meyakinkan. Ketiga sahabatnya akhirnya menyerah melakukan introgasi padanya. “Lalu bagaimana dengan berkasmu?” Tanya Nana, Dara menghela nafasnya. Satu kebohongan akan menimbulkan seribu kebohongan lainnya. “Sudah selesai, sebentar lagi aku akan mulai menyusun skripsiku.” “Aku benar benar iri padamu, kau bisa menyusun Skripsi hanya dengan membutuhkan waktu 3 tahun. Kau makan apa bisa sejenius itu?" Celoteh Kezia menatap Dara dengan tatapan yang membuat gadis itu sedikit jengah. “Jangan menatapku seperti itu, itu hanya kebetulan, aku harus pergi.” Dara melirik Arloginya seraya bergegas bangkit. “Selalu saja melarikan diri” Gerutu Sunny, Dara memutar bola matanya malas. Ia lalu memasang Eartphone dan membuka sebuah bungkusan perment karet. “Aku tidak melarikan diri, ini sudah malam dan aku ingin istirahat.” “Perlu ku antar?” Tawar Kezia namun seperti biasa Dara akan menggeleng menolak tawaran para teman temannya. “Tidak perlu, aku lebih suka berjalan kaki." "Kalau begitu hati hati." "Ya." ** Dara baru saja menghempaskan tubuhnya ketas ranjang yang berlapiskan kain berwana biru berenda mawar hitam miliknya saat ponsel yang Veron lemparkan padanya sore tadi bergetar diatas nakasnya, dengan enggan Dara mengusap layar datarnya. “Hm.” “Kau ada kelas besok?” “Tidak.” Dara menaikkan alisnya mendengar suara berat itu dari sebrang sana, melirik jam diatas nakas yang sudah menunjukkan pukul sepeuluh sebelum Veron kembali bersuara. “Kalau begitu, datang ke Mansion ku besok." "Apa?" "Kau mendengarku." "Tapi untuk apa?" "Datang saja." Dara nyaris menggigit bibir dalamnya, menahan u*****n yang akan meluncur begitu saja mendengar perintah pria itu dari sebrang sana. “Kirim alamatmu.” Dara mematikan sambungan sepihak, setengah membanting ponselnya kesisi ranjang lalu berbaring terlentang menatap langit langit lamarnya dan mulai memejamkan matanya dengan rongga d**a yang menggila, berusaha melawan ketakutannya setiap malam. Semuanya sudah dimulai. Dan ia berani bersumpah. Hidupnya tidak akan lagi sama. **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD