Rasanya sangat jengah saat Demas lagi-lagi harus sisipan dengan Devara. Rangga yang memperhatikan raut wajah Demas, tidak tinggal diam. Saat melihat Devara akhirnya menghilang dari balik pintu ruangan dosen, mulai deh mulut naga Rangga berkoar-koar seperti burung parkit.
“Eh Dem, gw yakin. Devara itu pasti ada hati sama cewek loe.” Sengaja Rangga membuka pembicaraan di depan teman-temannya.
“Dia kayak posesif banget, nggak sih? Kalau sama Arumi? Loe ngerasa nggak?” Dodi nyeletuk masuk dalam percakapan ini.
“Justru karena dia naksir sama Arumi makanya, Devara posesif. Kalo gw sih, langsung ke kesimpulannya aja, Guys.” Semua menganggukkan kepalanya tanda setuju dengan perkataan Iwan, termasuk si kembar Valen dan Velan.
“Terus? Gw harus bilang, wow! Gitu? Emang kalian pikir gw peduli sama Devara? Anjir, gw nyebut namanya aja, alergi banget,” dengus Demas.
Semakin dipikirkan, semakin Demas terbakar api cemburu. Walau Demas sekuat tenaga untuk menutupinya, tetap saja wajah merah karena jengkel itu terlihat jelas di hadapan kelima teman-temannya.
“Dem, muka loe kenapa? Emosi? Loe, yakin nggak ada perasaan sama Arumi? Gw lihat dari pancaran mata loe nih yah. Fix, loe lagi bohong sama kita-kita deh,” kikik Iwan mengejek Demas.
“Kalau memang loe suka, kita bakal dukung loe kok, Dem. Loe, nggak perlu selamanya mempertahankan gelar ‘Playboy’. Loe, akan baik-baik saja dengan setia sama Arumi.” Kali ini Valen yang meyakinkan Demas.
Bukan untuk mengejeknya, tapi untuk berbicara dengan serius dan dewasa. “Arumi, anak yang baik, Dem. Gw, satu jurusan sama Rumi. Dia juga anak yang cerdas dan selalu perhatian sama teman-teman di sekitarnya. Loe, ingat Bunga? Sekalipun Bunga selalu jahilin dia dan ngehina Rumi, dia nggak pernah nanggapi hal tersebut dengan serius. Bagi gw, loe bakal nyesel sih, Dem. Kalo loe lanjutin taruhan ini.” Velan juga ikut menasehati Demas.
“Iya, benar juga. Loe nanti tinggal bayar kita-kita aja. Kalo loe emang mau serius sama Arumi.” Rangga nyeletuk saat tadi Dodi sempat kembali mengejek Demas, yang tampak memikirkan ucapan Valen dan Velan.
“Kalian, semua dengar baik-baik yah. Gw, nggak bakal kalah sama permainan gw sendiri. Siapin aja uang kalian dan siap-siap patungan dalam waktu dekat. Setelah Arumi bertekuk lutut di hadapan gw, saat itu juga gw bakal ninggalin dia. Bye bye love!” ucap Demas begitu meyakinkan sambil terbahak-bahak.
“Loe, gila sih, Dem.” Valen terlihat kecewa sama Demas.
“Kita berdua mundur, Dem. Gw dan Valen nggak mau nanggung dosa ke Arumi.” Velan juga terlihat kecewa.
Tanpa mereka sadari, sejak tadi di balik pintu ruangan BEM. Devara mendengarkan semua pembicaraan mereka dengan mengepalkan kedua tangannya. Menahan rasa emosi yang luar biasa hendak dilampiaskannya kepada Demas. Tapi Devara masih menahannya, sampai akhirnya Demas mengeluarkan satu kalimat bodohnya.
“Good! Bagus, kalo kalian berdua mundur. Akhirnya nilai harga Arumi kena diskon kurang lebih empat puluh persen. Hahaha!” kelakar Demas kepada teman-temannya, yang disambut dengan gelak tawa ramai terkecuali si kembar.
BRUK!
“SIALAN, LOE DEMAS!” teriak Devara sambil mendobrak pintu ruangan BEM tersebut dengan penuh emosi.
BUG! BUG! BUG!
Beberapa pukulun mendarat di wajah Demas, uluh hati dan d**a. Keributan pun tak terelakan. Suara Devara yang berteriak memaki-maki Demas, ditambah dengan suara ke lima teman Demas yang ikut panik dan berusaha melerai membuat keributan tersebut sampai terdengar jelas di ruangan sebelah. Yah, ruangan para dosen.
“Devara! Stop! Sudah Dev!” Valen begitu panik berusaha menarik Devara, tapi tenaganya kalah kuat dibandingkan adrenalin Devara yang sudah memuncak.
“Anj!ng loe, Demas! Loe bukan manusia! Loe, Biadab!” Devara kembali menghantam Demas tanpa memberikan jeda bagi Demas untuk membalas sedikit pun.
Melihat keadaan yang semakin tidak terkendali, Rangga berlari dan meminta bantuan siapa saja yang ada di ruangan dosen. Kebetulan Rangga melihat Pak Bono, dengan tergesa Rangga menghampiri dosennya.
“Pak, tolong Pak. Demas, Pak, Demas.” Rangga bingung harus berbicara apa karena sangking paniknya.
“Ada apa, Rangga? Bicara yang jelas!” bentak Pak Bono.
“Demas dihajar habis-habisan sama Devara! Tolong kesebelah, Pak!” Rangga langsung menarik Pak Bono dari kursinya.
Betapa terkejutnya Pak Bono saat melihat kedua tangan Devara di pegang oleh empat orang, si kembar, Iwan dan Dodi. Nafas Devara memburu, wajahnya juga masih memancarkan amarah yang luar biasa. Sedangkan Demas saat ini terkapar tidak berdaya dengan wajah lebam, hidung dan mulut yang mengeluarkan darah. Ia, tidak sadarkan diri.
“Astafiruglah! Devara! Apa-apaan kamu ini, hah?! Kamu, bisa membunuh Demas! Kamu bisa masuk penjara hanya dengan pengiayaan berat seperti ini!” Pak Bono begitu marah dan langsung menghubungi ambulans untuk membawa Demas ke Unit Gawat Darurat terdekat.
Semua yang terjadi, disaksikan oleh Bunga. Secara diam-diam Bunga juga mengikuti ke mana Demas dibawa oleh Rangga dan teman-temannya. Tentu saja juga sambil menguping dan merekam semua yang terjadi. “Ada apa, Dev? Kenapa kamu sampai berbuat seperti ini, hah? Bapak sudah memanggil orang tua kamu dan orang tua Demas. Kamu saat ini hanya bisa berharap, jika orang tua Demas mau damai dengan kejadian ini, kalau tidak, kamu siap-siap akan berhadapan dengan proses hukum.” Pak Bono begitu marah melihat perkelahian tersebut.
“Saya ini suruh kamu, manggil Demas atau Rangga. Bukan suruh kamu adu jotos begitu, anak ini, haduh! Emosi saya.” Pak Bono masih mengomel, dan terus saja mendesak agar Devara memberikan alasan yang baik, tentang kejadian ini.
“Saya, tidak akan berbicara tanpa pengacara dan orang tua saya, Pak,” jawab Devara.
Seketika Pak Bono merasa dibuat pusing oleh Devara. “Dev, kamu kebanyakan nonton adegan baku hantam yah? Kita belum ke kantor polisi. Bapak ini tanya agar tau pokok permasalahan kalian sebenarnya itu apa?” ucap Pak Bono sambil berkali-kali menepuk jidatnya.
“Baik Pak, kalau anak kandung Bapak, dijadikan ajang taruhan oleh teman-temannya. Apa Bapak terima? Hati anak Bapak, dipermainkan? Atau saudara perempuan Bapak, atau sahabat yang sudah seperti saudara Bapak. Dijadikan bahan olok-olokan, becandaan dan juga dipersiapkan untuk disakiti. Apa, Bapak terima? Orang yang paling Bapak jaga dan sayang, disakiti seperti itu? Tanyakan semua sama wakil BEM, si b******k Rangga ini. Sumpah yah! Gw, rasanya juga pengen hajar kalian semua!” Devara kembali emosi dan meluapkannya dengan mata berkaca-kaca.
Pak Bono, lantas terbingung dengan apa yang menjadi pokok permasalahan tersebut. Sampai Valen dan Velan menjelaskannya dengan detail. Seketika mendengar penjelasan si kembar, Pak Bono yang awalnya sangat marah dengan Devara kini memahami alasan mengapa Devara tidak bisa menahan luapan emosinya.
Ia ambil buku di tangannya dan memukulnya dengan pelan ke kepala Iwan dan Dodi. “Kalian, ini para mahasiswa tapi kenapa kalian tidak bermoral? Hah?! panggil semua orang tua kalian. Saya akan adakan pemilihan ulang organisasi BEM ini. Saya tidak sudi, BEM, diurus sama mahasiswa-mahasiswa tidak bermoral seperti kalian.”
Pak Bono lalu membawa Devara ke kantornya, menyuruhnya untuk menunggu dirinya. “Kamu, tunggu di sini, Bapak mau lihat keadaan Demas dulu. Bapak juga sudah memanggil kedua orang tua kamu, Dev. Bagaimana pun, alasan apa pun, di mata hukum kamu tetap salah. Apa kamu paham itu? Dan ingat nanti kalau kedua orang tuanya Demas datang, jangan lupa untuk katakan jika kamu menyesal. Biar masalah ini, tidak melebar kemana-mana.” Pak Bono hanya ingin agar semuanya berakhir dengan damai.
“Tidak Pak, tidak akan pernah saya mengemis maaf. Saya tidak merasa salah dan saya memang tidak menyesali semuanya. Lebih baik saya masuk penjara. Dari pada, saya harus meminta maaf sama keluarga manusia laknat itu,” desis Devara.
“Haduh, haduh, haduh. Puyeng saya, dengarnya. Yah, sudah. Kamu disini saja. Jangan kemana-mana. Paham, Devara?” Kini Pak Bono menggunakan pendekatan yang berbeda, lebih halus dan tidak memberikan saran apapun. Selain menunggu dengan tenang.
Devara menjawab hanya dengan menganggukkan kepalanya. Setelah Pak Bono keluar dari ruangannya, Devara segera mengambil ponsel dan menghubungi seseorang yang sangat dipercaya olehnya.
“Halo Ma,”