SANG PENGUNTIT

3070 Words
Semburat warna mentari yang mulai memasuki peraduannya, untuk berganti di belahan dunia yang lain, mulai tampak dan cuaca terasa sejuk dan nyaman untuk melakukan aktifitas di sore hari. Marlina pulang kerja lebih cepat dari biasanya. Ketika wanita itu mengendarai mobilnya untuk pulang, ia teringat s**u untuk anak laki-lakinya, Daniel Ramilov sudah habis dan pembantunya baru mengatakan kepada dirinya ketika wanita itu akan berangkat kerja. Biasanya jika susunya sudah habis, anak laki-lakinya yang berkulit putih kemerah-merahan dan berambut coklat itu, akan rewel dan menangis terus menerus, sepanjang hari. Sejak bayi ia sudah minum s**u sampai dengan sekarang, dan parahnya lagi, pembantunya baru mengatakannya tadi pagi. Di kantor, Marlina sudah merasa gelisah, apalagi ketika pembantunya menelepon, jika anak.laki-lakinya yang tampan , menangis terus dari pagi. "Coba Bik, dikasih minum teh manis saja, barangkali dia mau!" pesan Marlina di telephon pada pembantunya di rumah. "Tidak mau minum Nyah. Daniel maunya minum s**u. Cepet pulang Nyah, beli s**u!" pembantunya malah menyuruh majikannya untuk membeli s**u. "Belum bisa pulang Bik, pekerjaanku banyak sekali hari ini. Coba diajak main ke luar saja Bik, biar dia gembira, lupa sama susunya." pesan Marlina kepada pembantunya. "Nanti sore sepulang kerja, kita belanja beli s**u ke mall ya Bik, sekalian belanja bulanan, sudah pada habis itu di dapur." sambung wanita itu lagi lewat ponselnya, dari lantai tiga kantornya, lalu wanita itu menutup ponselnya dan mulai bekerja lagi. Jam sudah menunjukkan jam empat sore, kebetulan hari ini bos nya sedang dinas luar ke luar kota, sehingga wanita itu merasa sedikit agak bebas untuk hari ini. Ia memutuskan untuk pulang lebih cepat. Marlina mengemasi tasnya. Barang-barang yang keluar dari tasnya, segera ia masukkan kembali ke dalam tasnya, seperti buku agenda, bolpoint dan segepok tisu basah. "Her, aku pulang dulu ya. Mau beli s**u buat Daniel." ujar wanita itu kepada seniornya, Heru, yang duduk di meja sampingnya. "Nggak nunggu sampai jam lima sore?" tanya Heru pada Marlina sambil menatap aneh. "Pumpung bos lagi nggak ada, Her. Aku mau beli s**u, itu anakku si bule nangis terus dari tadi pagi, gara-gara susunya habis." jawab Marlina sambil membereskan berkas-berkas di atas meja, menatanya kembali agar terlihat rapi. "Kenapa pembantumu tidak Kamu suruh beli s**u saja Mar? kan Kamu bisa konsen di kantor cari duit." Haru menimpali jawaban wanita itu. "Mana bisa pembantuku beli s**u, dia itu penakut, sudah berumur. Kalau pulang kampung saja mintanya dijemput keluarganya dari kampung." balas Marlina sambil berdiri, mengambil tas di atas neja dan bergegas pergi. "Sampai besok ya Her ..." ucap Marlina sambil menutup pintu ruangan kantornya kembali, agar AC yang ada di dalam kantor tetap terjaga kedinginannya. Sampai di rumah, Marlina menjumpai pembantunya sudah cantik, sudah mandi dan ber make up, sementara Daniel Ramilov juga sudah tampan seperti bapak bulenya, sedang di gendong di halaman depan. Turun dari mobil di garasi rumahnya, wanita itu langsung memburu anak laki-lakinya yang berumur delapan bulan, dan sedang lucu-lucunya. "Susunya abis ya sayang? maafin mama ya, nanti kita beli s**u, naik mobil ya?" ujar Marlina sambil mengambil anak laki- lakinya dalam gendongan pembantunya. Wanita itu menciumi pipi anaknya yang sudah berbau wangi minyak telon, mengelus rambutnya dengan lembut. "Sekarang mama mau mandi dulu, Daniel sama bibi dulu ya?" ujar Marlina sambil menyerahkan anak laki-lakinya ke pembantunya untuk digendong lagi. "Tak mandi dulu ya Bik ..." ujar wanita itu pada pembantunya, lalu Marlina bergegas masuk ke dalam rumah untuk mandi, dan membiarkan anak laki-laki bulenya dalam gendongan pembantunya. Seperempat jam sudah cukup bagi wanita itu untuk mandi dan berdandan. Ia memakai celana jeans dan kaos oblong warna putih yang kebesaran, sehingga terkesan sangat modis dan kelihatan masih sangat muda, untuk wanita yang usianya hampir setengah abad itu. Mengambil mobil, membawa dompet berisi uang, membawa pembantu dan anak laki-lakinya untuk berbelanja di sebuah mall yang besar. Marlina keluar dari jalan Anggur, lokasi rumahnya, langsung menuju ke jalan besar bernama Boulevard. Menjelang malam banyak kendaraan yang seolah baru muncul dari tidurnya. Tumpah ruah menjadi satu, mobil dan sepeda motor di jalanan, berbarengan dengan karyawan.pabrik yang sudah ganti shif pada jam lima sore, karyawan-karyawati yang baru off dari kantornya, orang-orang yang mulai mencari hiburan malam dengan pergi ke cafe atau discotik. Semua mencari kepentingannya sendiri-sendiri. Marlina menjalankan mobilnya dengan hati- hati, pelan dan tidak ingin ngebut. Ia masih waras, masih ingat, wanita itu mengajak dua orang nyawa di dalam mobilnya. Ia juga harus memastikan keselamatan dua orang nyawa dalam genggaman tangannya. Dari balik spion, wanita itu melihat sebuah mobil berwarna merah yang terus saja berada di spion kanannya. Marlina sudah merasakan, kalau mobil merah itu membuntutinya sejak dia keluar dari jalan Anggur. Sampai di jalan Bolevard pun, mobil itu masih berada di spion kanan mobilnya. Marlina sebenarnya penasaran dengan mobil warna mersh.itu. Siapakah orang yang mengendarainya? Kenapa mobil itu membuntutinya? Apa kepentingannya? Kekhawatirannya ia pendam sendiri di dalam hati. Wanita itu masih berpikiran waras, dan mungkin saja mobil merah itu hanya kebetulan saja, selalu berada di spion kanannya, pikir Marlina menenangkan diri. Dari jalan Boulevard, lurus tiga puluh menit, sampailah di sebuah mall. Begitu memasuki antrian dan menekan tombol karcis tanda masuk mall, mobil merah itu pun masih tetap berada di belakangnya. Wanita itu mulai curiga, jangan-jangan benar, apa yang ia khawatirkan. Wanita itu mulai cemas dan khawatir dengan keselamatan anak laki-laki bulenya dan pembantunya yang setia. Bagaimana kalau dia benar-benar ingin berbuat jahat kepada keluarganya? berbagai pikiran negatif tiba-tiba muncul di kepalanya. Aku harus melindungi anakku, dari gangguan apapun. Wanita itu takut sekali Daniel diculik. Ia adalah anak laki-laki yang sangat berharga melebihi apa pun di dunia ini. Marlina menghentikan mobilnya di tempat parkir. Dari kejauhan, wanita itu melihat mobil merah itu ikut-ikutan.parkir di tempat tidak jauh dari tempatnya parkir. Setelah menghentikan mobilnya, Marlina tidak langsung turun. Wanita itu memperhatikan mobil merah yang membuntutinya, dengan menengok ke belakang. "Bik ... diam di sini dulu, jaga Daniel, pegang kuat-kuat jangan sampai lepas, sepertinya kita telah di buntuti seseorang Bik." ujar Marlina menyuruh untuk stay di dalam mobil saja. Raut wajah pembantunya seketika menjadi berkerut ketakutan, mendengar perintah dari majikannya itu. "Emangnya, siapa yang membuntuti Nyah? " tanya pembantunya ketakutan. "Aku sedang mencari-cari orangnya Bik. Lihat ...dia keluar dari mobilnya." tunjuk wanita itu kepada pria yang baru turun dari mobil merah, lalu dengan langkah cepat pria itu menghampiri mobil Marlina. "Bik ... jaga Daniel!" belum selesai wanita itu merampungkan omongannya, tiba-tiba seorang pria memakai kaca mata hitam dan wajahnya memakai masker, menghampiri pintu mobil Marlina dari depan dan mengetuknya. " Out ...!" pria itu berteriak dengan kasar sambil berusaha untuk membuka pintu mobil Marlina. Dari dalam mobil, Marlina bisa melihat pria itu berkata dengan menggunakan bahasa Inggris. "Persetan ini orang!" teriak Marlina, lalu dengan sekali tarikan wanita itu membuka pintu mobilnya. Ia bersiap untuk menjadi tameng demi keselamatan anak laki-lakinya. Wanita itu turun dari mobil, dan bersiap untuk menghadapi seorang pria yang mengganggunya. "Marlina ... i know you are Marlina." pria yang berpostur tinggi, berwajah tampan dan berkulit kemerah-merahan itu berkata sambil membuka kaca mata hitam dan masker yang menutupi mulutnya. Rupanya dia adalah seorang bule, bule Rusia! "You know me, now? " tanya pria yang sekarang sudah berdiri di depan wanita itu, dengan penampilan tanpa kacamata dan masker, sehingga terlihatlah semua wajahnya. " MasyaAllah ....Kamu Ramil?" tanya wanita itu, setelah.mengetahui wajah dan postur tubuh pria yang sangat dikenalnya itu. "Mengapa Kamu membuntutiku? Ada apa?" tanya Marlina dengan intonasi kata yang lebih rendah setelah tahu, dengan siapa ia berbicara. "Aku ingin kembali kepadamu. Please ... Aku ingin melihat anakku. Di mana anakku sekarang?" ujar pria bule itu memohon dan meminta belas kasihan pada wanita yang ada di depannya. Orang-orang yang akan masuk ke mall, melihat keributan itu, mereka menghentikan langkahnya, untuk melihat perdebatan sengit antara wanita Indonesia dengan seorang pria bule. Pria itu tidak memedulikan orang-orang yang mulai berdatangan, menatap dan melihatnya dari jarak dekat, dengan tatapan yang sinis. I don't care! aku tidak peduli dengan mereka, biarkan mereka melihat aku menangis, memohon-mohon cinta, kepada seorang wanita di tempat ini. "Aku tulus mencintaimu, Marlina. Aku mencari semua hal tentangmu, sampai Aku tahu Kamu telah menjual rumahmu yang lama, dan pindah ke rumahmu yang baru, di Jalan Anggur. Aku tahu semua tentang Kamu. Please..." ujar pria itu dengan perkataan yang sudah mulai mengandung tangisan. Hati pria itu memang sangat.lembut, dan wanita itu tahu watak yang dimiliki oleh pria yang sekarang tengah berdiri di depannya. Bayangan suaminya yang meninggal secara mendadak, kembali lewat di depan matanya, seperti terbangun dari tidurnya, Marlina memutuskan untuk tetap menolak cinta tulus pria dari Rusia itu. " Aku tidak meminta Kamu terus mencintaiku Ramil. Aku sudah sangat berdosa kepada suamiku, aku sudah bertobat!" ujar Marlina dengan masih berdiri sambil mengucapkan kata-kata penyesalannya. "Suamiku meninggal karena Aku, Aku telah menyakiti hatinya. Aku tidak mau menyakiti untuk kedua kalinya. " seperti sangat terbawa emosi, wanita itu berkata sambil menangis dan segera menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ramil yang melihat Marlina menangis, dengan cepat pria itu memeluk Marlina. Tanpa sadar, Marlina menjatuhkan tubuhnya yang lemas kepada pria yang ada di depannya itu. Bagi wanita itu, peristiwa ini sangat mendadak. Ia belum siap untuk menjalani takdir seperti ini. Luka lama dan kesedihan yang masih belum usai, setelah kepergian suaminya, membuat Marlina belum siap untuk menerima cinta dari pria manapun. Melihat kejadian itu, pembantunya yang sejak lama menyaksikan kejadian itu, segera turun dari mobil sambil menggendong Daniel Ramilov. Wanita paruh baya itu, takut majikannya benar-benar diculik. Begitu turun dari mobil, Ramil yang sedang memeluk tubuh Marlina yang lemas, pandangannya langsung menangkap bocah kecil berumur delapan bulan, yang menurutnya itu adalah darah dagingnya. Tanpa sadar, pria itu melonggo, menyaksikan wajah putranya. Kulitnya putih kemerah-merahan seperti dirinya, rambutnya yang tipis berwarna coklat, matanya juga coklat. Lama ... pria itu terpaku melihat bocah kecil yang sedang digendong oleh seorang wanita paruh baya. " Oh my God ... inikah putraku?" dalam hati pria itu berbisik. "Maafkan papa ya sayang, yang tidak menemanimu saat kau lahir, putraku." sambungnya lagi di dalam hati dan mata pria itu mulai berkaca-kaca. Ternyata inilah, kenapa ia merasa tidak tenang selama ini dalam menjalankan kehidupnya, ternyata, bocah kecil inilah yang selalu menarik-narik hatinya, seperti maghnet, untuk terus mencari dan mencari ... dan merindukannya. Tak berpikir panjang lagi, pria itu langsung merangkul Daniel Ramilov sekaligus merangkul Marlina dengan erat. Pria itu tidak ingin melepaskan dua orang makhluk yang sangat manis, yang sangat disayanginya itu. Tak ingin melepaskan hal yang manis ini, pria itu berusaha untuk menggendong putranya dengan baik. Bocah bule itu sekarang sudah berada di tangan Ramil. Daniel Ramilov tidak menangis sedikitpun, terlihat hanya diam seperti kebingungan dalam gendongan seorang pria sebagai bapaknya, yang pertama kali menyentuh badannya. Marlina yang lemas, bertambah lemas ketika melihat bule Rusia itu menggendong anaknya. Wanita itu sudah memberikan kode kepada pembantunya, untuk tidak memberikan bocah bule itu kepada Ramil, tetapi kalah kuat dengan tenaga seorang pria, yang berusaha untuk memeluk dan menggendong darah dagingnya sendiri.. Bayangan Daniel Ramilov akan dibawa ke Rusia, semakin nyata. Marlina terhuyung-huyung, kepalanya terasa sangat sakit, seperti dihantam dengan batu besar. Matanya berkunang- kunang, semakin lama semakin nyata. Gambaran kehidupan beberapa tahun yang lalu, saat pertama kali ia mengenal Ramil, kembali menyadap semua ingatannya. *** RAINY *** Langit di luar terlihat gelap. Suasana tampak kelam karena sebentar lagi akan turun hujan. Angin bertiup kencang. Tiupan angin yang begitu keras, seperti akan terjadi badai besar. Hawa dingin menjalar ke seluruh tubuh sampai menembus tulang. Ya Tuhan ... Marlina berdoa di dalam hati, ketika ia melihat dari kaca jendela kamarnya, cuaca yang sedang tidak baik-baik saja. Smoga angin kencang ini tidak membawa bencana, doanya di dalam hati. Di luar, angin menggoyang-goyangkan pohon sampai rantingnya meliuk-liuk seperti seorang gadis yang sedang menari. Atap rumah seperti ada bunyi gemeretak, seperti genting yang pecah atau ada ranting atau daun-daun dari pohon yang terhempas angin, lalu jatuh menyentuh atap. Bulan ini sudah memasuki musim penghujan. Dibandingkan dengan musim kemarau, yang panas dan cuaca serba panas, baik di dalam rumah atau di luar rumah, wanita itu lebih menyukai musim penghujan. Wanita yang berumur tiga puluh tujuh tahun itu, sangat menyukai hujan. "Tuhan, aku minta, jangan ada angin kencang, karena aku melihat di beberapa negara Eropa, bulan lalu, terjadi banjir besar yang memporakporandakan berbagai kota-kota besar, baik itu di Amerika, dan Eropa. Lebih dasyat lagi adalah korban banjir di Cina, yang begitu parah, untuk tahun ini, karena banjir sudah meruntuhkan bendungan terbesar di Cina, yang mengakibatkan korban jiwa dan memporakporandakan wilayah kota. Listrik mati, dan akses terkunci. Please ... jangan ada badai angin lagi Ya Tuhan ..." doa wanita itu di dalam hati. Tidak berapa lama, dari jendela kamarnya, turunlah hujan. Hujan cukup besar dan wanita cantik itu, masih tetap duduk di teras depan rumah. Dia merasa senang, bisa melihat dan menikmati hujan yang turun sore ini. Bunga-bunga, di halaman depan, tampak basah diguyur hujan, pot gantung, bunga krokot warna-warni juga tersiram air hujan, tiada henti, dari genting rumah yang airnya mengucur ke bawah. Bau tanah karena hujan rasanya sedap sekali, wanita itu sangat menikmatinya. Marlina masih terus duduk di kursi teras, sambil menikmati suara hujan yang sexy, menurutnya. Derap hujan yang turun, berkejar-kejaran, seperti derap kuda yang sedang melakukan lomba pacuan kuda. Kadang terdengar seru dan kadang derap melambat. Bau tanah dari percikan air hujan, juga menyeruak, menyebarkan aroma harum di hidung, bagi siapa saja yang bisa merasakannya. Maklum, beberapa menit yang lalu, ruangan di dalam rumah terasa panas. Hal biasa yang terjadi, ketika hujan akan turun, cuaca akan terasa panas, Keringat bercucuran dan membekas di balik baju. Setelah itu, akan turun hujan. Marlina tidak menyia-nyiakan Moment yang bagus ini, Ia mengambil ponselnya yang sejak tadi hanya tergeletak saja di meja teras, dan langsung Cekrek ... ambil foto selfi untuk dirinya sendiri dengan hanya memakai daster rumahan dan wajah tanpa make up. Terlihat sangat natural. Marlina, wanita yang cantik, alisnya tebal dengan bibir yang manis. Wajah asli wanita Indonesia yang disukai pria bule. Hidung yang biasa saja, tidak mancung dan tidak pesek dengan kulit sawo matang yang juga disukai pria-pria berkulit putih. Di luar, hujan semakin sedikit, karena sudah tercurah banyak, beberapa jam yang lalu. Wanita cantik itu, tinggal menikmati udara yang sejuk dan dingin sehabis hujan. Sangat menyenangkan! Marlina berharap, temannya dari Rusia akan menyukainya dan memberikan komentar di status whatsaapnya. Ia ingat, pria bule itu sangat menyukai kulitnya yang sawo matang Tidak berapa lama, wajahnya yang natural terpampang di status Whatsaapnya. "Ejoying weekend after rainy here ... cold here." tulis wanita itu pada status whatshaapnya. posisi poto selfie-nya, dengan posisi wajah miring, yang terkihat hanya belahan wajah sebelah kanan, tanpa make up dan senyum tipis yang selalu ia tonjolkan di setiap foto-fotonys. Wanita itu berharap, Ramil akan mengomentari statusnya. . Tidak berapa lama kemudian, sebuah pesan singkat masuk ke dalam ponselnya., dan wanita itu sudah sudah menduganya, pasti itu Ramil dan pria itu akan mengomentari statusnya.. "Love your eyes ..." ujarnya, spontan memuji kecantikan wanita Indonesia. "And Cheeks." sambung pria itu lagi. Pria itu sangat menyukai mata Marlina yang cantik dan pipinya yang berwarna sawo matang, dan bukan pipi berwarna pink. Marlina langsung mengetikkan balasan chat, dengan jari-jarinya yang lentik, pada ponselnya. " Yang aku tunggu-tunggu telah datang. Pria itu mengomentari statusku." batin Marlina. Terkadang status Whatshaap memang bisa membuka mata bagi orang yang disayanginya. Seolah terbangun dari tidurnya. "Thank you my dear." balasan pesan, segera Marlina terbangkan ke london dalam sekejab, ya ... dalam sekejab pesan itu sudah sampai ke London. Ramil, sekarang sedang berada di London. Marlina ingin mengingatkan kepada kalian semuanya, bagaimana dia pertama kali berkenalan dengan pria bule itu. "Aku adalah bule hunter. Aku wanita Indonesia yang sangat menyukai bule pria. Aku suka sekali, sejak kecil, aku bercita-cita, ingin menikah dengan seorang bule, tetapi apa daya, jaman dulu, komunikasi dan kemajuan jaman tidak secepat dan semaju sekarang ini. Sekarang, hanya lewat genggaman tangan, seluruh dunia sudah bisa aku dapat dengan mudah." batinnya di dalam hati. "Ketika aku kecil, aku sudah suka dengan bule, kebetulan tetanggaku seorang pendiri pabrik gula di kota kecilku, menempati rumah, tidak jauh dari rumahku. Aku sering bermain ke rumahnya. ketertarikanku pada bule, dimulai dari sini ..." ssmbungnya lagi. " Aku sering membaca-baca majalah dan koran besar, di rumah bule tetanggaku itu. dulu, koran itu terasa besar sekali di tanganku, karena waktu itu, aku masih kelas tiga, atau kelas empat sekolah dasar, badanku kecil, sementara, koran yang aku pegang, hampir menutupi seluruh wajah dan dadaku, jadi aku menganggapnya sebagai koran besar. Walaupun aku tidak tahu apa artinya, karena koran-koran itu bertuliskan dengan menggunakan bahasa Inggris, tetapi aku sangat menyukai dan menikmatinya. Melihat orang-orang bule yang banyak terpampang di majalah besar itu, rumah-rumah yang cantik dan asri khas eropa dan pemandangan-pemandangan yang indah. Semua keindahan bule-bule itu, ada dalam majalah besar, dan aku sangat menyukainya, sampai-sampai aku meminjam majalah besar itu, aku bawa pulang, dan di rumah, aku bisa dengan cermat memandangi bule-bule yang ada di majalah besar itu dengan tenang, tanpa terburu-buru." batinnya terus nyerocos memperkenalkan dirinya, tidak sadar, hati wanita itu berkata-kata sendiri. " No make up ..." balas Marlina pada pria tampan itu. Wanita itu masih ingat percakapan kemarin, bersama bule london itu, kalau dia lebih suka fotonya, tanpa make up. Pria bule itu, Lebih suka yang natural. Marlina memberikan opsi pertanyaan kepada temannya itu, lebih suka melihat dia memakai make up or not? dan jawabnya, " No ..." Jadi sekarang, Marlina merasa lebih percaya diri, untuk mengambil beberapa foto tanpa make up. " Aku ingin menyenangkan teman baruku ini, from London." "Where are you now, Ramil? " tanya wanita itu pada pria itu, untuk menyambung pembicaraan, agar tidak terasa kaku. "As usual at work." jawab Ramil, dari benua yang jauhnya ribuan milles itu. "Sorry, for late reply." balasnya lagi. Dia merasa menjawab pesan Marlina terlalu lama, dan dia harus meminta maaf untuk hal yang tidak menyenangkan ini. Menurut Marlina, sikap seperti ini, bagi seorang pria, adalah type pria yang menghargai seorang wanita, dia meminta maaf untuk waktu yang kurang tepat membalas pesan, karena pria itu sedang bekerja. "I understand you very busy." jawab Marlina. Wanita itu harus segera mengakhiri obrolan ini, karena pria bule itu sedang bekerja. Tidak etis dia mengganggu dirinya yang sedang bekerja dan berada di kantor. "But although very busy, i hope your heart only for me ..." sambung wanita itu, sedikit bercanda pada pria itu. " Take care ..." ujarnya untuk mengakhiri secara halus, sebuah percakapan yang tidak terlalu penting. Itu adalah tips yang dilakukan Marlina, untuk menghargai dirinya sendiri dan menghargai orang lain, lawan bicaranya. "Karena dia sedang sibuk bekerja dan kamu bisa mengetahui, bagaimana pria-pria bule super sibuk dengan pekerjaannya, dan serius dalam bekerja, so don't distrub him."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD