Setiap Perkataanku Adalah Perintah

1105 Words
"Informasi lengkap mengenai Nona Ariel Aruna sudah ada di meja Bapak." Pesan singkat yang dikirim Indra berhasil membuat sudut bibir Hazel terangkat ke atas dengan sempurna. Ia begitu tidak sabar ingin segera pergi ke kantor. Hingga beberapa kali, ia mengacaukan simpul dasinya. Ia terlihat seperti orang yang tidak pernah memasang dasi. Dan hal itu berkat Ariel yang selalu muncul di pikirannya. "Ternyata namanya Ariel, lucu juga," batin Hazel. Di koridor perusahaan, Hazel berjalan begitu terburu-buru. Ia tidak membalas satu pun sapaan dari karyawannya. Meskipun sejenak, ia tidak sabar ingin segera mengetahui informasi pribadi mengenai kehidupan seorang Ariel Aruna. w************n yang setelah pertemuan pertamanya membuat seorang Hazel Dewananda tidak berhenti memikirkannya. "Ini dia!" Hazel menyambar map coklat yang ada di meja. Kemudian, ia merebahkan tubuhnya di sofa. Ia mulai membuka map itu dan mulai membacanya. "Jadi dia seorang ibu tunggal. Pantas saja tidak ada rasa takut yang terpancar dari sorot matanya. Ternyata ada seseorang yang harus dia lindungi di belakangnya." Hazel tersenyum menyeringai karena menemukan kelemahan Ariel. "Tapi di usia yang ke berapa dia menikah? Bahkan di usianya yang ke dua puluh enam dia sudah memiliki seorang anak yang berusia enam tahun." Tidak ada hentinya Hazel bergumam ketika membaca informasi pribadi milik Ariel. Setelah mengetahui semua informasi mengenai kehidupan pribadi Ariel. Hazel memutuskan untuk pergi ke rumah wanita itu dan mulai melaksanakan rencananya. Sampai satu jam kemudian, sampailah Hazel di depan sebuah kontrakan kumuh. Ia bahkan sampai menutup hidungnya karena tidak tahan dengan bau busuk yang menyengat. "Berani-beraninya wanita miskin sepertinya mencari gara-gara denganku!" seru Hazel sebelum akhirnya melangkah ke depan dan mengetuk pintu. Dari luar, terdengar suara gelak tawa sepasang wanita dewasa dengan anak kecil. Tidak ingin berlama-lama, Hazel langsung mengetuk pintu yang tidak lama kemudian, pemilik rumah membukakan pintu. "Selamat pagi!" sapa Hazel. Dari dalam, Ariel langsung bangkit berdiri dan menghampiri Kara yang menawarkan diri untuk membuka pintu. Ia sangat mengenali suara berat dan dalam yang kini berada tepat di depan pintu rumahnya. Yah, ia sudah hafal suara Hazel. Karena dipertemuan pertama mereka. Hazel sudah meninggalkan kesan yang sangat buruk bagi wanita itu. Ariel bergegas menarik tangan putrinya dan menyembunyikannya di belakang tubuhnya. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Ariel dengan nada suara yang sedikit bergetar. Ia tidak tahu bagaimana cara Hazel bisa sampai ada di depan rumahnya. "Apa seperti ini caramu menyambut kedatangan tamu?" Terbit sebuah senyuman di wajah Hazel. Ia begitu tertarik melihat Ariel yang terlihat sangat ketakutan. Tidak seperti kemarin ketika di ruangannya. "Tapi kedatanganmu bukan seperti tamu. Karena kau bukan seseorang yang pantas disebut sebagai tamu," ketus Ariel. Ia tahu betul apa maksud kedatangan Hazel ke rumahnya setelah kejadian kemarin. "Izinkan aku masuk, jika keselamatan putrimu jauh lebih penting daripada egomu." Hazel mendekatkan wajahnya ke telinga Ariel. Kemudian ia berbisik dan mengancam jika ia tidak diizinkan untuk masuk ke dalam. Ariel menggertakkan giginya dengan mata terbelalak. Kemudian, ia mempersilahkan Hazel masuk ke dalam karena takut laki-laki itu akan berbuat nekat pada putrinya. Saat ini, Ariel duduk berhadapan dengan Hazel. Ia merangkul tubuh mungil putrinya, seakan-akan bahaya datang mengancam. "Sekarang jelaskan apa tujuanmu datang ke sini?" Ariel sudah tidak sabar ingin segera mengusir Hazel dari rumahnya. "Ehem-ehem!" Hazel menyentuh tenggorokannya yang terasa kering. Ia memberi kode pada Ariel agar memberinya sedikit air. "Sabar Ariel, sabar," batin Ariel sambil menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan kasar. "Sebentar!" ketus Ariel bangkit berdiri sambil memegang tangan putrinya dan mengambil segelas air. "Kara main di kamar dulu, yah. Biar bunda bicara dengan Om itu dulu." Ariel berbicara dengan suara lembutnya yang khas. Bahkan sampai membuat Hazel terkejut. Karena sejak pertemuan mereka, Ariel selalu bersikap kasar. "Iya, Bunda," balas Kara seraya melangkahkan kakinya menuju kamar. Kemudian, Ariel berjalan ke arah dapur untuk mengambil air minum. Karena jarak dapur hanya tiga meter saja dari ruang tamu, dalam sekejap ia kembali dan meletakkan gelas di meja sambil menghentakkannya. "Terima kasih," ujar Hazel. Laki-laki itu bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Ia benar-benar menikmati ekspresi wajah Ariel saat ini. Terlihat begitu menyenangkan melihat musuhnya tersudut ketakutan hanya dengan melihatnya. Sepertinya Kara benar-benar senjata yang ampuh bagi Hazel. "Aku ingin kau menjadi sekretarisku." Tanpa basa-basi, Hazel langsung meminta Ariel menjadi sekretarisnya, setelah meneguk segelas air. "Maaf, aku tidak bisa!" jawab Ariel tegas. Semenjak kejadian kemarin, ia bersumpah tidak akan menginjakkan kakinya lagi di DN Company. "Kau tidak bisa menolak. Jika aku ingin kau menjadi sekretarisku, maka kau harus menjadi sekretarisku." Tidak hanya tatapan matanya yang dingin, tapi suaranya pun terdengar sangat dingin. Setiap perkataan yang keluar dari mulut Hazel merupakan perintah. Siapapun orangnya, tidak peduli siapapun mereka. Tidak ada satu pun dari mereka yang bisa menolaknya. "Kenapa harus? Memangnya apa hakmu mengatur hidupku?" Tatapan mata Ariel dingin, bahkan melebihi dinginnya es yang ada di kutub utara. "Karena setiap perkataanku adalah perintah dan bukan sebuah permintaan. Jadi, kau harus menuruti perintahku. Tapi kau tenang saja, aku tidak akan menjadikanmu sebagai penghangat ranjangku. Karena w************n sepertimu tidak pantas untuk menikmati tubuhku." Sejak awal Hazel memang tidak pernah berniat menjadikan sekretarisnya partner tidur. Itu hanya alasan baginya untuk memberi para calon sekretaris ujian. Jika mereka lolos, maka ia akan menerimanya. Dan Ariel adalah satu-satunya calon yang lolos. Karena hanya ia satu-satunya calon yang menolak dengan tegas tawaran untuk menjadi partner tidur Hazel. "Cih! Wanita yang kau sebut murahan ini, tidak akan pernah sudi menikmati tubuhmu!" Ariel tersenyum sinis menatap Hazel jijik. "Baiklah. Akan kuingat ucapanmu itu. Jika sampai suatu saat nanti kau menginginkan tubuhku. Bahkan jika kau berlutut sekali pun, aku tidak akan membiarkanmu menyentuhku bahkan seujung kuku pun." "Jadi, mulai besok kau sudah harus bekerja sebagai sekretarisku," sambung Hazel memutuskan. Padahal Ariel sama sekali belum memberinya jawaban. "Aku bahkan belum menerima tawaranmu, tapi seenaknya saja kau memutuskan," protes Ariel. Bagaimana bisa ia bertemu dengan laki-laki tidak tahu malu seperti Hazel. "Sudah kukatakan sebelumnya, bahwa aku memerintahmu untuk menjadi sekretarisku bukan memintamu. Jika kau menolak, maka sebagai gantinya keselamatan putrimu akan terancam," ancam Hazel tersenyum menyeringai. Hazel tahu betul jawaban apa yang akan ia terima. Karena sebelum menginjakkan kakinya di kontrakan kumuh milik Ariel. Laki-laki itu sudah mengetahui kelemahan calon sekretarisnya itu. "Dasar b******n! Berani-beraninya kau mengancamku menggunakan Kara, anakku." Tangan Ariel kini sudah terkepal kuat dengan mata yang membola. Hampir saja ia mengangkat tangannya dan menampar pipi mulus Hazel. Jika ia tidak mengingat apa yang akan terjadi pada putrinya. "Hei! Siapa yang kau panggil b******n? Bukankah b******n ini yang akan memberimu pekerjaan. Aku tahu betul betapa kau menginginkan pekerjaan ini." "Besok pagi, datanglah ke ruanganku untuk menandatangani surat perjanjian kerja. Aku akan menunggumu sampai pukul sembilan pagi. Kalau kau tidak datang, maka kau akan tahu sendiri akibatnya," sambung Hazel bangkit berdiri dan keluar meninggalkan Ariel yang sedang mematung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD