*Membaca Al-Qur'an lebih utama*
Suasana haru menyelimuti rumah Niswah saat ini, ijab Qabul telah selesai, dan sahabat satu-satunya itu sudah sah menyandang status sebagai seorang istri.
Nabila langsung menuju kamar tempat Niswah dirias, dengan mengenakan gamis brokat merah maroon, Nabila membuka pintu kamar tersebut. Dan menatap Niswah yang terlihat sangat berbeda hari ini, make up yang sederhana, namun sangat elegan ketika di padukan dengan kebaya putih yang melekat di tubuh Niswah.
Nabila berdecak kagum melihatnya, apa nanti ketika ia akan menikah, ia akan secantik ini?
"Ayo, Niswah. Mereka sudah menunggu," ucap kak Icha istri dari Naufal.
Nabila pun menggandeng lengan Niswah, mereka menghampiri para undangan dan juga Hafidz yang sudah melihat ke arah Niswah tanpa berkutik, ia ingin tertawa terbahak-bahak, melihat raut wajah dosennya yang terkenal dengan wajah 'Adem' untuk dilihat, dan juga kesan terkesan kalem, sekarang terlihat sangat konyol dengan mata yang membola terkejut. Sampai-sampai, pemuda yang ia tau adalah sahabat dari Hafidz mengejeknya sambil tertawa lepas, eh! Ngomong-ngomong, sahabat Hafidz kan ada dua, nah! Sahabat yang seperti iblis ke mana?
Nabila melihat seluruh ruangan, hingga tatapannya berhenti di satu titik, mata tajam yang melihatnya dengan sorot teduh,
Ia kenal dengan laki-laki itu, seorang yang sangat berharga dalam hidupnya, seorang yang ia yakini akan jadi pahlawannya suatu saat, meski ia tak tau, kapan saat itu tiba?
Mata itu masih sama, memiliki tatapan yang tajam, namun jika kita mengenalnya, maka kita akan melihat kasih sayang yang begitu besar terpancar dari kedua bola mata itu.
Andrian Ananda. Satu-satunya saudara yang ia punya, sosok Abang yang sayang terhadapnya, namun harus tertutupi oleh ego sang Abi, selama ini Andrian rutin mengirimkan uang bulanan, namun Nabila menolak itu semua karena sehari setelah Nabila menerima kiriman tersebut, maka keesokan harinya, sang Abi akan datang dan mengamuk dengan mengata-ngatai nya dengan perkataan kasar.
Laki-laki itu terlihat tampan, memakai batik berwarna coklat yang dipadukan dengan celana bahan berwarna hitam dan juga pantofel yang mengkilat. Andrian terlihat sangat gagah dan karismatik, seperti Abinya.
Nabila tersenyum, yang dibalas dengan lelehan air mata dari Andrian, ia rindu gadis itu, adik kecilnya yang dulu ia nantikan saat dalam kandungan sang ummi, jujur saja, kelahiran Nabila adalah satu hal yang sangat ia nantikan dan juga kedua orang tuanya, namun, pada saat sang ummi harus meregang nyawa karena mempertahankan Nabila, rasa marah itu tiba-tiba muncul, setiap ia melihat Nabila, maka pada saat itu ia akan melihat Ummi-nya kesakitan.
Langsung saja ia membuang muka, membuat Nabila yang semula tersenyum langsung tertunduk lesu, ia ingin merasakan kebahagiaan ketika memiliki saudara, terlebih lagi seorang Abang. Tapi harapan tinggal harapan, ia hanya gadis yang kelahirannya tidak diinginkan, dan sepatutnya ia menyadari, bahwa luka yang ia rasakan tak sedalam luka yang Andrian rasakan, Abangnya masih kecil waktu itu, dan karena dirinya, Andrian harus rela hidup tanpa kasih sayang dari sosok ummi.
"Nabil, jangan melamun, Nak."
Nabila langsung tersentak kaget, dan menatap nenek Niswah yang tengah mengelus lembut kepalanya.
"Ada apa?"
"Tidak ada, Nek."
Pandangan Nabila masih fokus ke sosok laki-laki yang memakai batik berwarna coklat yang sama dengan miliknya dulu, batik yang merupakan baju keluarga dan biasanya dipakai di saat ada kegiatan kumpul keluarga, menjadi simbol kekompakan dan keharmonisan keluarga tersebut, baju batik itu dibuat ketika ada dari adik Abi nya menikah, dan dengan paksaan pada akhirnya sang Abi juga memberikan baju itu untuknya, yang ia jahit menjadi sebuah gamis cantik, hanya saja miliknya sudah hangus terbakar akibat ulah dari laki-laki yang saat ini tengah ia hampiri.
Nabila berjalan ke arah laki-laki itu, dengan langkah takut-takut dan juga ragu, tapi ia sangat rindu dengannya.
"Assalamualaikum, Abang," ucap Nabila pelan.
Andrian tersentak kaget, melihat keberanian sang adik, ada rasa senang ketika gadis itu menyapanya seperti ini, ia terlalu segan untuk menyapa sang adik duluan karena ia sadar, ada banyak kesalahan yang telah ia perbuat kepada Nabila.
"Abang, bagaimana kabarnya?"
"Baik."
"Abang, sudah makan?"
"Bisa diam?" ucap Andrian ketus, raut wajah Nabila yang semula senang langsung redup seketika, sedangkan Andrian yang melihat itu ada rasa bersalah di dadanya, tapi ia harus berbuat demikian, di ujung sana, sang Abi menatapnya dengan pandangan tajam, dan mengarah ke Nabila, ia tidak ingin Nabila setelah ini menerima siksa dari Abinya.
"Kamu pergi sana, mengganggu."
Nabila langsung berdiri, dan duduk tepat di belakang laki-laki yang mengenakan batik berwarna hitam dan biru langit. Sejenak, ia seperti mengenal laki-laki ini, tapi ia lupa siapa.
Nabila menggeleng pelan, tidak penting siapapun laki-laki yang ada di hadapannya, matanya kini fokus ke arah Niswah yang sudah berada di samping suaminya, namun, lagi dan lagi, matanya hanya menitik fokuskan ke arah Andrian, yang tengah tersenyum lembut dengan seorang perempuan, itu mungkin kekasih abangnya, bahkan dirinya saja tidak tau jika abangnya memiliki kekasih, hati Nabila rasanya sangat teriris, kapan Andrian akan menatapnya seperti itu? menatap dirinya dengan penuh kasih sayang, kayaknya seorang Abang terhadap adiknya. Setitik air mata jatuh dengan Isak tangis yang lirih.
Sedangkan laki-laki yang ada di hadapan Nabila yang mengenakan baju batik berwarna hitam dengan aksen biru langit tertegun pelan, ia tau alasan wanita itu menangis, karena ia melihat semuanya dengan jelas tadi, raut wajah sumringah, lalu tiba-tiba berubah menjadi murung dan terakhir menjadi tangis seperti ini.
"Dasar cengeng!"
Nabila langsung tersentak dan mendongakkan kepalanya, betapa terkejutnya ia ketika melihat sosok dosen pencabut nyawa ada dihadapannya sekarang, dan melihat ia menangis, kesialan apalagi ini?
"Ba-bapak? Ngapain?"
"Menurutmu, saya sedang apa disini?"
Nabila terdiam, ia melihat sekeliling, seperti sedang mencari seseorang.
"Kamu sedang mencari siapa?"
"Istri, bapak."
"Menurutmu saya sudah menikah?"
"Ya tentu, bapak sudah tua begitu, ya kali belum nikah."
Dito langsung melotot tidak terima, apa-apaan gadis ini? Ia masih berumur 28 tahun, itu belum terlalu tua, kan?
"Saya belum nikah lagi." ucap Dito sinis.
Lagi? maksud kata lagi di sini sangat ambigu Nabila langsung menahan tawanya, bahkan wajah Nabila sudah memerah dengan mulut yang ia tutupi dengan tangan, begitu menyadari kekesalan yang sangat tampak dari wajah Dito.
"Ada apa? Kamu menertawakan saya?" tanya Dito dengan raut tersinggung, Nabila langsung menghentikan tawanya, situasi bahaya langsung merekam ke otaknya.
"Bu-bukan, Pak. Hanya saja, berarti bapak jomblo?"
"Tidak punya istri bukan berarti jomblo, kan?"
Nabila mengangguk, bisa saja, dosennya ini punya pacar, kekasih, tunangan, atau teman spesial lainnya. Dan jujur, kenapa Nabila terlalu mengurusi hal ini?
"Bapak, sudah seharusnya menikah, percuma wajah bapak lumayan seperti itu, kalau tidak dimanfaatkan."
"Dengan kata lain, kamu bilang saya ganteng?"
"Eh, mana ada? Fitnes aja bapak nih."
Dito terkekeh pelan, gadis di hadapannya ini sangat lucu, bukan nya tadi Nabila sendiri yang mengatakan bahwa ia memiliki wajah lumayan? Berarti ia bisa di bilang tampan, kan?
"Nyawa kamu tinggal satu," ucap Dito tiba-tiba, membuat Nabila yang semula melupakan masalah perkuliahan nya, jadi teringat kembali, ia langsung menatap sinis dosen pencabut nyawa di hadapannya, beberapa detik kemudian, pekikan lirih terdengar, seiring dengan jerit kesakitan Nabila yang menggenggam tangan kanannya.
Nabila secara spontan tadi langsung melayangkan tinjunya ke arah kepala belakang Dito yang kebetulan sedang menatap layar ponsel, alhasil, tangan Nabila terasa sangat sakit, setelah sukses mengahantam kepala bagian belakang Dito, Dito sendiri hanya meringis setelah tersentak kaget dengan aksi dari mahasiswi bar-bar nya yang satu ini.
"Aduh... Sakit banget, Abi. Tangan Nabila patah," ucap Nabila sambil menahan tangis, rasanya tangan Nabila seperti sudah putus, atau paling tidak tulangnya bergeser.
"Kamu, tidak kenapa-kenapa, kan?"
"Sakit tau ,pak. Itu kepala, batu atau batu karang di pinggir laut coba? Keras banget."
"Itu karma buat kamu, lagian di mana-mana kepala emang keras, gak ada yang lembek."
Nabila mendengus pelan, lalu matanya menatap sekeliling, beberapa tamu melihat ke arahnya dan Dito, bahkan ada yang terang-terangan menertawakannya.
Nabila langsung pura-pura menunduk, ketika melihat Rian yang memakai baju batik serupa dengan Lukman dan juga ia baru sadar, baju batik yang di gunakan Dito juga sama dengan yang digunakan Rian dan Lukman. Ah, bisa saja sama, pakZril kan teman akrab Hafidz di kampus.
Dito yang melihat tingkah absurd Nabila seperti sembunyi dari seseorang pun mengedarkan pandangannya, hingga ia tau alasan mengapa mahasiswi nya ini Sampai bersembunyi seperti ini.
"Rian," panggil Dito pelan.
Nabila yang mendengar itu, seketika membulat kan matanya, dosen Izrail mengenal iblis itu? Sejak kapan? Dan kenapa bisa? Nabila buru-buru menutupi wajahnya menggunakan ponselnya, hingga tepukan di bahu kanannya membuat ia meringis seketika.
"Eh, ada kurcaci, lagi nyari apa?"
"Hah?"
"Ck, itu kenapa nunduk-nunduk seperti cari sesuatu, ah, Mas Rian tau nih, kamu lagi cari uang, kan? Ngaku."
"Apaan? Dikira saya ini apa?"
" Kamu gak tau, kamu itu kan kurcaci? Masa gitu aja gak tau," jawab Rian seenaknya, membuat Nabila geram sekali. Sedangkan Dito yang melihat adu mulut antara Nabila dan Rian sangat terhibur, ia mengenal Rian beberapa hari lalu, saat Rian sering berkunjung ke ruangan Hafidz. Ia juga tau, Nabila sangat antipati dengan Rian yang sangat jail.
"Mas Rian tau, kamu itu lagi cari uang jatuh, mana tau pengunjung sini gak sengaja buang uangnya."
Dito kembali tertawa, bahkan kini ia sudah terbahak-bahak. Nabila yang melihat itu sangat kesal setengah mati, tangannya masih cenat cenut, tapi iblis dan Izrail ini malah membuatnya malu sekaligus.
"Nabila, coba nanti kamu pergi ke apotek, kalau tidak, kamu ke supermarket," ucap Dito lembut. Nabila langsung memasang wajah awas ketika mendengar intonasi suara Dito yang mencurigakan.
"Buat apa?" Tanya Nabila kecut.
"Kamu cari, obat peninggi badan sama penambah nyawa, mana tau kamu bisa tinggi sekaligus banyak nyawanya."
Suara ketawa Rian dan Dito saling bersahutan, membuat kedongkolan Nabila terhadap dua makhluk ini sudah di atas rata-rata. Mereka bahkan tidak peduli dengan tamu undangan yang memandang mereka berdua dengan raut keheranan.
"IYA! NABILA MAU BELI TIANG LISTRIK SAMA SAYUR KACANG PANJANG, BIAR GAK PERNAH PENDEK LAGI!"
Dito dan Rian semakin tertawa terbahak-bahak, astaga mengganggu gadis ini sangat menyenangkan juga.
" Akh, jangan lupa beli makanan kucing juga, mana tau bisa buat nyawa kamu ada sembilan."
Nabila yang kesal langsung menendang tulang kering dua laki-laki itu, membuat keduanya meringis kesakitan, lalu setelahnya Nabila berlari sambil tertawa puas, telah berhasil membalas semua perbuatan Dito dan Rian, meski sejujurnya ia masih ingin menghajar mereka berdua.
Andrian yang melihat kejadian itu dari awal, hanya bisa tersenyum miris, orang lain bahkan bisa membuat adiknya tertawa seperti itu, sedangan ia sebagai Abang? Tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan di depan matanya Nabila yang membutuhkan pertolongan ia malah abai.
Tapi jauh di dasar hatinya, ia merasa senang, Nabila masih bisa tersenyum dan tertawa lebar seperti ini.
"Tetap tersenyum, Nabil. Suatu saat Abang janji, bakal jadi alasan kamu ketawa seperti ini"