Bab 7 : Nabila dan kesedihannya

1297 Words
*Membaca Al-Qur'an lebih utama* Nabila masih menggerutu pelan, memang sependek apasih dirinya? sampai si Izrail dan iblis memanggilnya kurcaci, padahal jika dilihat tingginya sudah pas, 158cm. Kurang tinggi apalagi dirinya? Nabila berjalan menuju tempat keluarga Niswah berada, namun ia berhenti tiba-tiba ketika melihat ada sebuah kaca di sudut ruangan yang berdiri memanjang, langsung saja Nabila mematut dirinya di cermin, sambil mengukur tubuhnya dengan jengkalan tangan. "Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tu-..." Nabila langsung berhenti menghitung, dan berbalik untuk melihat siapa gerangan yang sedang menahan tawa di belakangnya, seketika ia menjerit sangat keras. "AHHHHHH...... Emmph-" Mulut Nabila langsung ditutup dengan sebuah tangan yang Nabila sendiri sudah hapal baunya. Bau-bau orang yang sering menistakan orang lain. Mata Nabila melotot tajam melihat laki-laki yang tengah cengengesan tanpa rasa bersalah telah membekap mulutnya tanpa perasaan. Langsung saja Nabila menepuk tangan laki-laki itu yang menutup mulutnya dengan kuat. "Mas, mau bunuh saya, yah?" Laki-laki itu seakan tersadar dengan tindakannya, langsung saja melepaskan tangannya dari mulut gadis mungil bernama Nabila ini. "Yah gak dong, kalau kamu mati, mana ada lagi kurcaci di dunia ini." Nabila mendengus pelan, kenapa Rian ada di mana-mana? Apa jangan-jangan Rian ini mata-mata yang dikirim Abinya? Ah, tidak mungkin, Rian saja tidak kenal Abinya, tapi bisa jadi sih, segala praduga berseliweran dipikiran Nabila, membuat ia tanpa sadar mengangguk dan menggeleng. Rian yang melihat itu malah bergidik ngeri, gadis ini sedang kerasukan, mungkin. Tingkahnya sangat aneh, tadi terlihat sangat marah, lalu tiba-tiba geleng dan mengangguk tanpa sebab. Rian menatap sekeliling mereka, mereka berada di pojok ruangan dan tidak terlalu banyak orang yang memperhatikan keduanya, semakin menambah kesan mistis dirinya terhadap Nabila. "Kamu, sehat?" Nabila mengerutkan dahinya, apa menurut Rian ia sedang sakit atau bagaimana? "Mas lihat, saya sehat atau tidak?" "Saya lihat sih, kamunya lagi sakit, sakit jiwa lebih tepatnya." Nabila yang mendengar itu, langsung melayangkan kepalan tangannya ke arah wajah Rian. Pembalasan setimpal dengan rasa kesalnya akibat ulah laki-laki yang tidak laku ini. Dasar titisan iblis! Rian yang menerima pukulan dari tangan mungil Nabila, mengeluh kesakitan, gadis kurcaci itu meskipun terlihat mungil ternyata tenaganya setara dengan kuli, kecil-kecil Samson juga ternyata. Dengan sadar Nabila berjalan cepat untuk menghindari amukan Rian, ia bahkan tanpa sadar berada di depan Abi dan Abangnya, sang Abi menatapnya dengan aura dingin tak tersentuh, sedangkan abangnya hanya menatap ia dalam diam. "Eh, assalamualaikum, Abi," ucap Nabila secara spontan, ia mengulurkan tangan hendak mencium tangan Abinya, akan tetapi, sang Abi sama sekali tidak merespon, bahkan dengan sadis Abinya tidak menerima ukuran tangan Nabila, seakan-akan tangan Nabila mengandung rabies. Mata Nabila memanas melihat respon sang Abi yang tetap sama, mau di keramaian ataupun ketika mereka sedang berdua. Nabila melihat tangannya dengan sendu, lalu menarik itu kembali, hingga pandangannya jatuh kepada mata Andrian yang berkaca-kaca melihat kejadian di hadapannya. Andrian sering melihat ini, terbiasa malah. Namun tetap saja ia bisa merasakan kesakitan Nabila, yang bahkan sangat tidak pantas untuk disalahkan atas peristiwa di masa lalu. Kemiripan wajah ummi dan segala tingkah Nabila yang mencerminkan Ummi-nya dulu, menciptakan rasa sakit dihatinya ketika melihat mata yang sama persis dengan dirinya itu menangis dalam diam. Nabila menarik tangannya kembali, dalam hati ia merutuki tindakannya, bagaimana bisa ia lupa? Abinya adalah satu-satunya sosok ayah yang sama sekali tidak Sudi menyentuh putri kandungnya sendiri, jika ditanya, apakah ia tidak merindukan sosok ayah? Jelas ia merindukan sosok itu, tapi apa yang bisa ia perbuat? Laki-laki paruh baya yang di hadapannya saat ini, hanya menganggap ia sebagai seorang pembunuh, seharusnya ia cukup tau diri telah di perbolehkan tinggal di rumah yang megah. "Ma-maf, Abi." Andrian yang tidak tahan melihat semua itu pun, langsung meninggalkan dua orang yang sedang menahan kesedihan. Ia mengusap kedua matanya yang tiba-tiba saja mengeluarkan air mata, semakin ia hapus maka semakin deras pula air mata yang keluar. Berulang kali ia melihat kejadian serupa, tapi hatinya tetap aja tidak kuat dan merasa sakit, ia beridiri di teman belakang kediaman Niswah, keadaan yang cukup sepi membuat ia dengan leluasa menangis senggugukan, batinnya ikut tersiksa melihat sang adik tidak bisa merasakan kasih sayang sama sekali. Apa pantas ia membenci Nabila? Salah apa gadis mungil itu? Sejauh ini Nabila sudah cukup kuat menghadapi segala permasalahannya sendiri, bahkan ia sudah mengetahui bahwa Nabila harus banting tulang untuk memenuhi kebutuhannya, dan apa yang ia lakukan untuk adiknya itu? Tidak ada, ia hanya melihat, bukan membantu. Ia sudah gagal menjadi seorang Abang dan anak, ia malu jika suatu saat di akhirat kelak, berjumpa dengan sang Ummi, ia tidak punya muka. "Hiks.... Astagfirullah, ya Allah. Kenapa sakit sekali, hiks..." Tangisan Andrian nyatanya dapat di dengar oleh dua orang yang menatapnya dengan pandangan berbeda, yang satu dengan raut bingung dan juga kasian, sedangkan yang satu lagi sudah menangis dalam diam. Dito, orang yang melihatnya dengan raut heran itu adalah Anandito, ia melihat semua pertengkaran antara keluarga itu dua kali, tapi kali ini ia tidak hanya melihat laki-laki paruh baya yang ia yakini sebagai ayah dari mahasiswi nya, Nabila. Ia tidak bermaksud menguping pembicaraan keluarga tersebut, ia hanya melihat tindakan ayah Nabila yang acuh terhadap keberadaan sang anak, lalu seorang laki-laki memilih pergi dan berakhir menangis seperti ini, sebenarnya ada apa dengan Nabila? Ia ingin melangkah menemui laki-laki tersebut, sebelum sebuah tangan mungil mengentikan langkahnya, ia menatap pemilik tangan tersebut, dan alangkah kagetnya ia melihat Nabila yang menatapnya dengan linangan air mata. "Saya mohon, jangan ke sana, Pak." "Nabila, please tell me, what happen?" Nabila menggeleng pelan sambil terisak, tatapannya menuju laki-laki yang menangis tadi. "Saya tidak bisa bercerita, pak. Tapi bisakah bapak, anggap tidak melihat semua ini?" "Bagaimana bisa? Jelas saya sudah melihat semua dua kali, dan otomatis otak saya akan mengingatnya terus." Nabila mengangguk, ia tau, dosennya ini tidak mungkin bisa melupakan apa yang sudah ia lihat tadi dan kemarin, tapi ia tidak ingin ada orang yang tau permasalahan keluarganya selain orang yang ia percaya, dan dosennya ini bahkan sudah melihat secara langsung sebanyak dua kali. "Pak, saya mohon jangan berbicara pada siapapun masalah ini, biar ini menjadi urusan saya dengan keluarga saya, bapak orang asing, jadi saya tidak bisa membuat orang asing tau akan hal ini." "Yaudah, buat saya tidak lagi menjadi orang asing bagimu, Nabila." Nabila terdiam, apa maksud dosennya ini? Bagaimana cara membuat pria ini menjadi tidak orang asing baginya? "Mak-maksudnya, Pak?" "Yah, buat saya bagian keluarga kamu." What? Gila, dosennya ini sudah tidak waras, Nabila menggeleng pelan sambil tersenyum miris. "Pak, sadar gak? Bapak begini karena bapak penasaran dan hanya ingin tau, bukan karena memang ingin membantu." Setelah mengucapkan itu Nabila langsung berlari menghampiri Andrian yang masih menangis terisak. Sedangkan Dito membenarkan apa yang di ucapkan oleh Nabila, sepertinya ia hanya ingin tau, bukan ingin membantu, tapi entah mengapa, mendengar ucapan Nabila dadanya ikut merasakan sakit. Ia berbalik badan mengikuti kepergian Nabila dan melihat pemandangan yang membuat darah nya berdesir seketika dan amarahnya langsung naik. Disana, Nabila terlihat menyentuh keningnya yang berdarah akibat terkantuk besi pagar rumah Niswah, dan semua itu ulah dari laki-laki yang menangis tadi, langsung saja Dito berlari ke arah Nabila yang sudah menangis sambil terduduk memegang kepalanya yang mengucurkan darah dengan keras. "Tunggu pembalasan saya," ucap Dito dengan suara rendah sarat akan kemarahan. Ia ingin menghajar laki-laki ini, tapi situasi sangat tidak tepat, ia langsung mengangkat tubuh lemah Nabila yang sudah terkena darah dimana-mana. Andrian sendiri hanya menatap tanah yang terdapat bercak tetesan darah dari Nabila, ia langsung terduduk sambil memukulkan tangannya ke pagar itu dengan brutal. "Andrian anak baik, harus jaga adik kalau sudah lahir, yah. Janji sama Ummi." Ucapan sang Ummi ketika mengandung Nabila menjadi tamparan bagi Andrian, ia tidak bisa menjalankan amanah sang ibu, ia malah melukai adik yang seharusnya ia jaga. Ia Abang yang tidak bejus.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD