*Membaca Al-Qur'an lebih utama*
Nabila menghampiri Andrian yang tampak sedang menangis pilu, ia tau, jauh didalam lubuk hati sang Abang, masih ada cinta dan kasih sayang untuknya.
"Bang Adrian," panggil Nabila pelan.
Andrian langsung mendongak, dan menatap mata yang mengingatkannya dengan sang Ummi, mata yang memancarkan ketulusan, keteduhan dan kelembutan, mata yang membuat ia merasakan sebuah kehangatan. Dan mata ini justru membawa rasa sakit dihatinya.
"Ngapain kamu?" tanya Andrian dengan suara ketusnya
"Nabila rindu, Bang." Nabila langsung memeluk Andrian dengan erat, membuat Andrian membatu dalam sekejap, hingga kesadarannya kembali, dengan tiba-tiba ia menyentak kan tubuh Nabila dengan kuat, sampai Nabila menabrak pagar rumah yang tepat di belakangnya.
Pelipis Nabila robek ketika menghantam ujung besi pagar, mengakibatkan darah keluar dengan deras, ia menatap nanar Adrian yang terdiam membisu melihatnya memegang luka.
"Nabila sekarang baru sadar, Abang Nabila adalah seorang manusia berhati iblis, Nabila salah apa sama Abang? Kalau boleh memilih lebih baik Nabila yang pergi bukan ummi."
Andrian membeku, raut wajahnya berubah menjadi sayu, ia tidak menyangka dorongannya sekuat itu sampai membuat Nabila terluka seperti ini.
Darah Nabila terus keluar, ia hendak berdiri, namun tubuhnya terasa lemas sekali, sampai sebuah tangan merangkulnya dengan erat, ia melihat orang itu terlebih dahulu, lalu tak lama kesadarannya menghilang.
"Tunggu pembalasan saya," ucap Dito yang membuat Andrian membeku seketika.
Disepanjang jalan, Andrian mencoba menyadarkan Nabila, ia mulai kalut ketika pendarahan di pelipis Nabila sama sekali tidak bisa berhenti, apalagi wajah Nabila semakin memucat, segala pikiran burukpun menghampirinya.
25 menit kemudain, Dito berhasil membawa Nabila ke rumah sakit terdekat, ia langsung saja menggendong Nabila dan meneriaki petugas rumah sakit, sampai akhirnya Nabila di bawa menuju ruang perawatan.
Ia bingung, siapa yang harus ia telpon, tidak mungkin Hafidz dan istrinya, yang ada acara akan berantakan nanti, tadi saja ia harus lewat pintu belakang membawa Nabila.
"Gadis kerdil, nasibmu buruk sekali." Batinnya.
Ia menatap sendu darah yang berada di baju batiknya, bau anyir darah tidak lagi ia hiraukan, ia hanya berfikir, bagaimana bisa seorang ayah dan Abang menyakiti anak dan adiknya dengan tega seperti ini, ia mungkin tidak tau permasalahan sebenarnya, tapi sangat di sayangkan tindakan keduanya.
Ceklek!
Suara pintu terbuka, membuat Dito langsung berlari kearah sang dokter.
"Keluarga pasien?"
Dito terdiam sebentar, ia bingung harus menjawab apa, bagaimanapun ia bukan keluarga Nabila, tapi jika ia jawab bukan, malah akan terlihat lucu nantinya.
"Iya, saya keluarganya, dok."
"Ampuni aku Tuhan," batinnya.
"Begini, pasien dalam kondisi baik, hanya ada luka robek di pelipisnya cukup dalam, dan sudah kami tangani, untuk perawatannya mungkin bisa mengganti perban sehari sekali. "
Dito berucap syukur mendengar penjelasan sang dokter, karena melihat banyaknya darah Nabila yang keluar, membuatnya takut bahwa gadis mungil itu mengalami luka serius.
"Alhamdulillah, terimakasih, Dok."
Dokter tersebut hanya tersenyum, lalu meninggalkan Dito sendiri di lorong rumah sakit yang kebetulan sedang sepi.
Ia langsung masuk kedalam ruangan Nabila, dan melihat tubuh mungil itu terbujur lemah di ranjang rumah sakit. Berulang kali ia mencoba memahami apa yang terjadi, namun berulang kali pula logikanya menolak semua tindakan Abang Nabila.
Mendorong gadis itu sangat kuat? Sungguh gila.
Ia menatap gadis yang masih bekum sadar itu, wajah yang pucat, bibir mungil, dan perban di kepalanya membuat ia sangat merasa miris, mengapa gadis seceria ini harus merasakan hal seperti ini?
Drttt... Drtttt... Drtttt...
Ponsel Dito berdering dengan nyaring, ia melihat nama yang tertera pada panggilan tersebut.
"Halo, sayang."
"Mas, jadi pulang?" sahut di seberang sana.
"Alhamdulillah... Jadi kok, tapi agak telat yah."
Setelah menerima telpon itu, Dito kembali melihat ke arah Nabila, ia baru tersadar, jika gadis di hadapannya ini memiliki bulu mata yang sangat lentik, dan juga bibir yang mungil. Definisi berbie hidup.
"Eungh...." Mata itu perlahan terbuka dan menatap sekelilingnya.
Dito langsung siap siaga ketika melihat mata itu mencari sesuatu.
"Ada apa, Nabila?"
Nabila tersentak kaget, ia baru tersadar ketika mendengar suara berat dari laki-laki di hadapannya.
"Pak Dito? Kenapa bisa disini?"
"Kamu lupa? Saya yang membawa kamu kesini."
Nabila terlihat berfikir sejenak, ia baru teringat rangkaian kejadian yang membuat ia harus terbaring seperti ini.
"Maaf, saya merepotkan, Pak," ucap Nabila penuh penyesalan.
"Ya, sangat merepotkan, kamu kecil-kecil begini, berat juga ternyata." Dito terkekeh ketika melihat semburat merah dari kedua pipi Nabila, ia tidak munafik, Nabila memang memiliki bobot tubuh yang berat, bahkan tadi ia kewalahan untuk mengangkat tubuh yang ia pikir ringan.
"Su-suruh siapa menggendong saya."
"Terus? Tidak mungkin saya tarik kamu, kan? "
"Ya, gak digeret juga, saya manusia bukan barang, Pak."
"Saya gak ada bilang kamu barang."
Nabila langsung terdiam, berdebat dengan malaikat Izrail hanya buang tenaga menurutnya dan itu pekerjaan yang sia-sia. Karena Tuhan tidak suka hamba nya melakukan sia-sia, bagus ia diam dan tidak menanggapi celotehan dosen menyebalkan.
"Nabila, saya harus segera pulang, ada yang menunggu saya di rumah. "
"Akh, maaf yah pak, saya jadi merepotkan bapak, dan membuat istri bapak menunggu lama."
Dito tertegun sebentar, sebelum ia terkekeh pelan dan seolah ada yang lucu dari ucapan mahasiswa nya di depan ini.
"Saya tidak mungkin meninggalkan kamu sendirian, bagaimana jika kamu ikut pulang bersama saya? "
Nabila tampak berfikir, pulang? memang mau pergi kemana dia? Ke rumah Abinya? Ini sudah hampir tengah malam.
"Tapi, apa boleh, Pak? Istri bapak tidak marah."
Entah sadar atau tidak, yang jelas, Nabila dapat melihat raut wajah Dito ketika ia mengucapkan kata 'istri' .
"Emm... Tidak apa-apa." Jawaban dari Dito membuat Nabila tanpa sadar merasa lega, setidaknya ia memiliki rumah untuk pulang sekarang
Dengan hati-hati, Nabila turun dari brankar dan mengikuti langkah Dito, setelah ini mungkin ia akan mengubah sebutan untuk dosennya ini, sepertinya malaikat Ridwan terlihat keren, penjaga surga.
"Bukan cuma badan kamu aja yang kerdil, langkah kamu juga lebih lambat dari siput dan kura-kura. "
Kan, kan! Apa Nabila bilang, dosennya ini tidak mungkin bisa sebaik malaikat penjaga surga, lebih mirip iblis. Sangat menyebalkan.
"Sabar atuh pak, saya kan masih sakit."
"Yang sakit itu kepala kamu, bukan kaki kamu, atau otak kamu mengalami gangguan sampai kami jadi bodoh begini? Tapi sepertinya kamu memang bodoh sih."
Ingin rasanya Nabila menghantam kepala dengan rambut tertata rapi itu menggunakan sepatu hak yang ia tenteng di tangan kanannya. Ia tidak sanggup menggunakan high heels. Dito langsung tertawa ngakak melihat tingkah absurd dari Nabila, memakai baju panjang, make up luntur, lalu menenteng high heels dengan kaki 'nyeker'
"Kamu seperti orang jalanan, sangat cocok saya tinggal di lampu merah di pertigaan sana."
"Astagfirullah, kejam sekali bapak. Tidak berperikemanusiaan," ucap Nabila mendramatis, lagi dan lagi Dito tertawa terpingkal-pingkal, seeortibga Nabila samban cocok menjadi pelawak.
Mereka sampai di parkiran rumah sakit, dengan langkah terseok-seok Nabila menaiki mobil Dito. Sepanjang perjalanan hanya diisi dengan kalimat-kalimat mengejek Dito yang di tujukan untuk Nabila.
Sedangkan Nabila hanya bisa memupuk kesabarannya yang kian menipis, andai ia tidak ingat jika laki-laki yang sedang mengemudi di sampingnya adalah malaikat penolongnya, sudah ia jadikan rengginang dosennya ini.
Tidak terasa selama 35 menit, akhirnya mereka sampai di sebuah perkarangan rumah yang cukup besar, rumah yang ia yakini sebagai kediaman Dito, ia segera turun dari dalam mobil ketika melihat Dito telah menunggunya di luar.
Ia sedikit takut melihat ekspresi istri dari dosennya ini, mungkinkah marah karena membuat Dito harus pulang terlambat? Atau melemparnya dan mengusirnya secara sadis?.
Sangking asiknya ia berfikir respon istri Dito, sampai ia tidak sadar sudah berada di depan pintu utama dengan Dito yang membukanya secara langsung.
Kehadirannya disambut hangat oleh seorang anak laki-laki yang langsung memeluk Dito, dibelakang anak itu terdapat seorang wanita yang terlihat sangat menawan, meski ia agak terkejut ketika menyadari wanita itu emm... Sedikit tua.
"Ayah...." Suara lengkingan anak kecil menjadi backsound yang membuat ia tersenyum singkat seketika.
Ia baru sadar jika Dito adalah seorang ayahable, duh Gusti, tolong ingatkan hamba dia suami orang.
"Ayah, ini siapa?" Pertanyaan bocah itu mampu membuat atensi seorang Nabila terpusat pada wajah polos itu.
"Hai, assalamualaikum. Siapa namanya?"
Anak itu tampak malu-malu, ia bahkan bersembunyi di balik leher dosennya ini.
"Ditanya Tante itu siapa namanya." Anak laki-laki itu terlihat menatapnya dengan wajah yang bersemu merah.
"Akbar." Singkat, padat dan jelas. Namun Nabila memahami itu, mereka baru bertemu sekali, sudah pasti anak seusianya merasa asing.
"Akbar yah? bagus namanya seperti orangnya, bagus."
"No!! .." teriak anak itu membuat Nabila sedikit terkejut, apa ia salah bicara, anak laki-laki tersebut terlihat sangat marah, tapi apa yang salah dari ucapannya?.
"Akbar, nama Abang itu Akbar, bukan Bagus."
Nabila sontak langsung tertawa ngakak, ada-ada saja pemikiran anak ini, ternyata salah tanggap. Ia pikir bagus itu hanya untuk nama orang.
Melihat Nabila yang menertawakan nya, mata Akbar langsung berkaca-kaca. Membuat Nabila yang melihatnya kalang kabut seketika.
"Huwaaa.... Tante nya jahat hiks.... Akbar tidak suka. "
"Eh, bukan begitu, sayang, Tante tidak bermaksud begitu."
Nabila langsung mengambil alih Akbar dari gendongan sang ayah. Mereka berdua tanpa sadar sudah seperti keluarga yang bahagia. Membuat perempuan yang berada di ujung tangga sana cemberut dan merasa terasingkan.
"Ekhem."
Deheman itu menjual Nabila yang sedang menenangkan Akbar meringis seketika, bagaimana ia lupa jika di rumah ini juga ada istri dari dosen Izrail.
"Ma-maaf, Bu." Mendengar ucapan Nabila yang terbata, sontak ia tertawa dengan keras bahkan sampai membuat Akbar yang menangis kencang melihatnya dengan pandangan penuh tanya.
"Lucu sekali, Dito ajak dia masuk yah."
Dito terlihat mengangguk, lalu membawa Nabila masuk ke ruang tamu. Nabila seperti mengedarkan pandangannya, mencari sosok wanita yang ia yakini sebagai istri dari seorang Dito.
"Kamu cari apa?"
"Emm... Cari istri bapak."
Akbar tampak mendongak kearahnya. Lalu berucap sesuatu yang membuat tubuh Nabila menegang seketika.
"Istri ayah itu ibu Akbar kan? Ibu udah ada di surga, kan ayah?"
"Iya, sayang." Jawaban Dito akhirnya mampu membuat kesadaran Nabila kembali. Ia seakam merasa menjadi bodoh saat ini.
Ia baru tau jika Dito, dosen Izrail nya adalah seorang duda. Catat DUDA.
ASTAGFIRULLAH, DUDA MENGGODA IMAN.