Bab 14 : Statistik Mood Dito

1974 Words
*Membaca Al-Qur'an lebih utama* Andrian pulang ke rumah dengan wajah yang tertekuk, pikirannya sangat semrawut ketika mengingat perihal Yola yang menuntutnya untuk melakukan hal baik kepada Nabila dan mulai menyayangi adiknya itu. Demi tuhan ia sayang dengan Nabila, namun setelah bertahun-tahun membenci gadis itu, tidak bisa serta merta langsung menunjukkan kasih sayangnya, yang ada Nabila salah paham lagi. Wajah Andrian yang tertekuk, membuat Abinya melihat Andrian dengan heran. "Kenapa, An?" Andrian melihat ke arah Abinya lalu menggeleng pelan. "Gak papa, Bi. Andrian masuk dulu." Ia berlalu dari hadapan Abinya dan masuk ke dalam kamar, mendudukkan diri di atas ranjang sembari berfikir bagaimana caranya mendekatkan diri ke Nabila, yang notabennya sudah ia jauhi selama bertahun-tahun, jangankan mendekati, berbicara saja tidak pernah, dan kemarin adalah kedua kalinya berbincang dengan sang adik, selain di pernikahan Hafidz, anak dari rekan kerja sang Abi. Sangking lelahnya berfikir, Andrian merasa sangat ngantuk dan pada akhirnya tertidur dengan masih mengenakan baju batik dan celana bahan yang tadi ia kenakan saat prosesi lamaran. Sedangkan di lain tempat, Nabila yang masih menemani Rian makan hanya bisa berpasrah diri dan mencoba bodo amat dengan pandangan geli seluruh mahasiswa yang ada di kantin kampus. Sebenarnya ia sedikit heran, kenapa Rian bisa ada di sini? Apakah Rian mahasiswa juga? Tapi melihat dari penampilannya, sepertinya pemuda ini bukan seorang mahasiswa. "Kenapa lihat-lihat? Udah mulai naksir?" Pertanyaan itu membuat Nabila memutar kedua bola matanya malas. Selain gila dan tidak punya malu, ada satu kelebihan yang dimiliki Rian di samping banyaknya kekurangan. Yaitu rasa percaya diri. Rian memiliki kepercayaan diri yang over dosis, sehingga membuat orang lain yang mual dan mengalami gejalanya. "Om, tau tidak? Ada satu hal yang om punya dan itu adalah kelebihan om." Rian mendelik, sebenarnya ia sedikit tidak rela mendengar panggilan gadis kurcaci yang memanggilnya dengan sebutan om. Hell! Dirinya tidak setua itu untuk dipanggil oom. "Apa?" Jawab Rian ketus. Nabila menyunggingkan senyuman miringnya. "Om itu kelebihan dalam hal percaya diri, sampe kayak orang gila jatuhnya." Anjim! Kurcaci satu ini ternyata sangat pedas jika berujar. Tubuh saja yang kecil, tapi kulit menampung banyak cabai ternyata. "Bisa aja kurcaci. Percaya diri itu penting dimiliki." "Penting sih, om. Tapi dalam kapasitas yang pas, bukan berlebihan. Sudahlah, di sini sama om bikin kewarasan saya berkurang satu kilogram." Nabila langsung berlalu dari hadapan Rian, 10 menit lagi kelas nya akan dimulai, jika ia terus bersama dengan pemuda gila itu, sudah pasti dirinya akan telat, paling tidak ketika masuk ke kelas dirinya berubah menjadi manusia kurang waras. Beberapa menit kemudian, Nabila masuk ke dalam kelas yang sudah diisi beberapa mahasiswa lainnya. Dengan langkah pelan ia menuju kursi yang biasanya selalu ia duduki, meski di perkuliahan tidak ada yang namanya kursi diatur itu milik siapa, namun kebanyakan beberapa temannya akan menetap di satu kursi selama berada di kelas tersebut. Nabila menatap sebelah kursinya yang kosong, biasanya ada Niswah yang akan duduk di sana, namun kali ini gadis yang telah menjabat sebagai istri seorang dosen itu tengah menikmati masa-masanya menjadi pengantin baru. Hingga tak lama, seorang dosen yang penuh wibawa masuk ke dalam kelas yang secara spontan langsung diam membisu, bahkan aura yang tadinya terasa sejuk, kini terasa mencekam sekali. Apalagi ketika dosen tersebut membuka buku absen dan memanggil satu persatu mahasiswa. Sampai pada saat nama Nabila terpanggil membuat Nabila tersentak kaget. "Nabila Ananda." "Ha-hadir, Pak," jawab Nabila gugup. Dosen tersebut menatap Nabila intens, membuat gadis itu salah tingkah seketika. Tak lama, dosen yang ia juluki sebagai dosen Izrail itu selesai absen. Lalu berdiri dengan spidol di tangannya, dan menuliskan besar-besar judul pembahasan yang membuat Nabila mual seketika. STATISTIK Oke, baik! Mari kita mulai kegilaan ini, terlebih dosen yang membawakannya bikin puyeng seketika. "Siapa yang bisa jelasin, apa itu statistika? Dan statistik?" Nabila melongo, bukannya itu dua hal yang sama? Atau memang dirinya yang tidak tau itu hal yang berbeda, astaga, kenapa dirinya harus bertemu dengan angka-angka lagi sih, padahal ia sudah memilih jurusan pendidikan agama Islam yang ia kira tidak akan pernah bertemu dengan angka. "Gak ada yang bisa?" Tanya Dito lagi, seluruh ruangan mendadak hening, beberapa mahasiswa terlihat menunduk dan menghindari diri dari tatapan tajam Dito Alaska. "Oke, saya tunjuk satu orang, berikan pengertian yang kalian ketahui." Begitu Dito mengatakan ini, para mahasiswa langsung membuka ponsel yang diletakkan di bawah meja dan searching. "Nabila Ananda." Astagfirullahal adzim! Kenapa malaikat Izrail yang berkamuflase menjadi manusia ini memanggilnya, membuat jantung dirinya serasa copot seketika. "Yah, Pak." "Coba jelaskan, apa itu statistika dan statistik?" "Emm ... A-anu, pak. Statistika adalah ilmu pengetahuan tentang mengumpulkan, menyusun, menyajikan, menganalisis/mengolah, dan menyimpulkan data menjadi informasi. Sedangkan statistik itu merupakan kegiatan mengumpulkan data, menganalisis, menyajikan, mengolah data, lalu menyimpulkan." "Baik, silahkan duduk. Jawaban dari saudari Niswah sudah benar, tapi saya membuka opsi lain lagi, silahkan berpendapat. Akbar." Pemuda yang dipanggil Akbar langsung berdiri. "Menurut saya statistika dengan statistik sama, sama-sama berhubungan dengan data. " Dito berjalan ke kursi paling belakang, telat di samping Nabila yang sudah duduk dengan kaku, sambil membawa pen proyektor. "Saya jelaskan, statistika itu cabang ilmunya, ingat! Cabang ilmunya. Sama seperti Ilmu pengetahuan alam itu ada cabang ilmu nya seperti biologi. Nah statistika ini cabang ilmu. Sedangkan statistik ini adalah data yang yang akan dibahas dan diambil kesimpulannya. Paham semua? Atau ada pertanyaan?" Semua mahasiswa terdiam, sana sekali tidak ada yang mengeluarkan suara, menguat Dito mendengus tidak suka. "Saya sangat tidak suka dengan kondisi kelas yang pasif. Terlebih lagi ada suara bisik-bisik yang saya dengar." Suasana kelas menjadi lebih mencekam, aura dari seorang Dito yang terkenal killer membuat beberapa mahasiswa mengkerut takut, sedangkan mahasiswa lain bersikap bodo amat. "Kalian dengar saya tidak? " Suara Dito menggelegar, membuat Nabila tanpa sadar terkejut dan akhirnya terjungkal ke belakang. BRAK! Seluruh pandangan mahasiswa melihat ke arah Nabila dengan geli, ada yang berusaha menahan tawanya, ada juga mahasiswa yang secara terang-terangan tertawa dengan keras, membuat Dito tanpa sadar juga menahan tawanya melihat wajah Nabila yang meringis dan memerah malu. Dengan menahan tawa dan berusaha bersikap tenang serta tegas, Dito menghampiri Nabila yang masih terduduk dengan wajah yang ditutup kedua tangannya. "Nabila, kamu kenapa?" Nabila enggan menjawab, dirinya masih sangat malu sekali, meskipun ia mengenal dekat orang-orang yang berada di kelasnya, tetap saja rasanya sangat memalukan. "Nabila, hey." Dito berusaha membuat Nabila mendongakkan kepalanya. Namun bukannya melihat ke arah Dito, bahu Nabila malah bergetar dan disusul Isak tangis yang terdengar di penjuru kelas. "Hiks. . Hiks... " Dito sontak saja terkejut, dirinya dengan panik mencoba mengangkat Nabila, takut-takut jika Nabila merasa kesakitan sampai menangis seperti ini. "Nabila, mana yang sakit? Seperti anak kecil saja, jatuh sendiri, malah nangis." Sontak ucapan Dito menambah kegelian di dalam kelas, tangis Nabila pun semakin kuat dan membuat lelaki itu kewalahan. "Kenapa makin kuat nangisnya?" "Hiks... Bapak buat saya malu." Dito melongo, dan kawan sekelas Nabila semakin tertawa keras melihat kekonyolan Nabila dan dosen Izrail. "Kapan saya buat kamu malu? Rasanya tadi saya hanya menyampaikan materi." "Hiks... Hiks.. yah bapak buat saya jantungan, sampai jatuh begini." Sudah cukup, Dito tidak bisa lagi menahan tawanya, dia terkekeh geli membuat beberapa mahasiswi yang melihatnya tertegun. Nabila juga ikut terdiam menatap Dito dengan wajah sembab, ingus yang meler, dan mata yang melotot kaget. Bisa juga Izrail tertawa? Dito yang menyadari dirinya menjadi pusat perhatian, seketika langsung menghentikan tawanya dan kembali memasang wajah garang. Ia menatap ke arah Nabila yang masih memandanginya dalam diam dengan wajah yang super absurd. Namun bukannya jijik, Dito malah memberikan tisu yang ia ambil dari atas meja mahasiswi di sampingnya ke arah Nabila. "Hapus itu ingus kamu, merusak suasana saja." Setelahnya Dito pergi kembali ke meja nya dan menunggu Nabila yang masih merapikan penampilannya. "Kembali fokus. Syifa, jelaskan kembali yang tadi saya jelaskan." "Yang mana, Pak? Yang masalah hapus menghapus." Sontak satu kelas kembali tertawa, bahkan Nabila ikut tertawa sembari mengelap hidungnya, ketika mendengar pertanyaan polos dari mahasiswi seperti Syifa. Dito memijat pelipisnya pelan, kenapa mahasiswa nya tidak ada satupun yang waras? "DIAM SEMUA!" Dalam sekejap, ruang kelas itu langsung terasa sunyi seperti tidak ada penghuni, Nabila yang ingin mengeluarkan cairan di hidungnya tidak jadi, malah tisunya menggantung dan ia genggam dengan erat agar tidak menimbulkan suara ketika diterpa angin. Hell! Tisu seringan itu memangnya berbunyi saat diterpa angin? Akh, biarkan saja. Mencari aman dari singa yang kelaparan lebih baik dari pada menyerahkan diri secara cuma-cuma, dan berhasil kehilangan nyawa seluruhnya. "Kalian itu mahasiswa, sudah maha, berarti di atas siswa lagi. Tingkahnya jangan melebihi anak TK, bikin malu. Kamu lagi Nabila! Kalau tidak suka dengan mata kuliah saya, silahkan keluar! Dari pada buat tingkah yang buat kelas ricuh seketika." Nabila tertunduk diam, ia sama sekali tidak berani melihat ke kanan dan kiri, saat ini dirinya lah yang jadi tersangka utama. Dan sang Izrail di depan sudah siap mencabut nyawanya yang tinggal 1 itu. Astaga! Nabila baru sadar. Apakah ia harus mengikuti saran Dito kemarin? Makan makanan kucing, mana tau nyawanya ada sembilan. "Tingkahmu itu bikin muak, bikin muntah, silahkan keluar! CEPAT!" Nabila tersentak kaget mendengar bentakan Dito, matanya sudah memanas, terlebih mendengar usiran yang dilayangkan Dito kepadanya. "KAMU DENGAR SAYA? KELUAR!" Nabila membereskan buku-bukunya, lalu keluar dari dalam kelas sambil terisak dalam diam, begitu sampai di depan pintu kelas, suara Dito membuat Nabila menegang dan semakin menangis. "Oh, yah! Selama mata kuliah saya, jangan harap kamu bisa masuk, nyawa kamu sudah habis. Jadi selamat mengulang." Nabila segera keluar dari ruangan itu dengan perasaan hancur, dibentak oleh keluarga sendiri mungkin sudah biasa baginya, namun kini ia dibentak oleh orang asing yang merangkap sebagai dosennya, seperti cambuk bagi Nabila, menimbulkan luka di tempat tersendiri. Dirinya tidak bisa membayangkan, jika harus mengukur waktu agar wisuda tepat waktu, apa yang akan dikatakan Abinya nanti? Pasti Abi nya akan sangat marah. Ya Tuhan, mengapa dirinya harus semengenaskan ini. Nabila mengusap air matanya pelan, sambil berjalan menuju kafe tempat nya bekerja, lebih baik ia memulai kerja lebih awal, toh habis ini tidak akan ada lagi mata kuliah. Statistik tapi serasa seperti mata kuliah penguji mental. Data gak dapet, yang ada malah derita. Dan kenapa pula mood dosennya itu tiba-tiba naik, tiba-tiba turun, udah kayak rollercoaster saja. Nabila terus berjalan masuk ke dalam cafe dan berniat mengambil waktu kerja lebih awal, namun temannya Rio melarang dirinya untuk bekerja di saat jati tengah bunda gulana, Al hasil ia memesan lemon tea dan duduk menghadap ke jendela. Berbeda dengan Nabila, selepas kepergian gadis itu, Dito langsung terduduk di kursinya, semua mahasiswa hanya bisa diam sembari menatap kepergian Nabila dengan miris. Dito sendiri tidak menyadari jika tingkahnya tadi seperti monster, padahal hanya kesalahan sedikit dan sebenarnya tidak begitu fatal, tapi kenapa ia bisa seemosi tadi? Apa terbawa perasaan karena tadi malam? Dito akui, mood nya sedang tidak bagus sedari tadi pagi, terlebih tadi malam ia terkenang bayang-bayang almarhumah istrinya. Membuat beban pikiran Dito dan emosinya berubah-ubah. Hingga Nabila, gadis yang tidak bersalah sama sekali harus menerima akibat dari luapan emosinya tersebut. Ada rasa sesal di hati Dito, mengingat gadis itu tidak memiliki kehidupan yang layak, ia bahkan mengetahui itu, tapi malah sekarang menambah luka baru. "Pertemuan kita cukupkan untuk sampai di sini, tugas akan saya kirim ke relator nanti dan kirim ke email saya. Saya akhiri pertemuan kali ini dengan Hamdallah. Alhamdulillah. assalamualaikum warahmatullahi wabarakatu" Dito berjalan dengan terburu-buru, sembari celingukan mencari keberadaan Nabila yang seolah lenyap setelah keluar dari ruangan. Ia meletakkan buku-bukunya di ruangan dosen, lalu ke parkiran untuk mengambil mobil dan menuju cafe tempat Nabila bekerja. Begitu sampai di cafe tersebut, ia dapat melihat Nabila yang duduk termenung di meja pengunjung lengkap dengan segelas lemon tes yang tersedia di hadapannya, Dito ingin menghampiri Nabila, sebelum seorang laki-laki yang memakai baju pegawai cafe menghampiri Nabila. Terlihat Nabila mengangguk dan semakin menangis histeris, tak lama Nabila memeluk laki-laki tersebut dengan erat sembari menangis, Dito sendiri hanya bisa melihat, dia tidak mungkin tiba-tiba ke sana, yang ada keadaan Nabila bertambah parah. "Sorry."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD