*Membaca Al-Qur'an lebih utama*
"Aku gak butuh belas kasihan, kalau Abang mau lamaran, silahkan. Nabila juga gak terlalu penting buat ada di sana, jangan buat Nabila merasa seolah-olah sangat berharga buat keluarga, nyatanya Abang ke sini karena perintah dari calon Abang." Setelah mengucapkan itu, Nabila pergi meninggalkan Andrian yang terdiam membisu, terlebih lagi tatapan tajam yang penuh dengan luka dan linangan air mata itu menatapnya.
"Bukan gitu, Dek." Lirih Andrian pelan sambil menatap Nabila yang sudah berlalu meninggalkannya sendiri. Tanpa mereka sadari ada seseorang yang melihat semua dari awal sampai akhir. Orang itu memandang miris gadis yang sudah menjauh dari taman.
"Gadis yang malang," ucapnya dengan senyum miris. Kehidupan dunia sepertinya tidak adil bagi seorang Nabila, si kurcaci.
Dito Alaska. Lagi-lagi harus menyaksikan kemirisan hidup seorang Nabila, sudah ketiga kalinya ia melihat kejadian sadis yang menimpa mahasiswi nya itu. Entah kebetulan, atau sebuah takdir yang nantinya akan mengikat dirinya dengan Nabila, namun yang pasti, untuk saat ini ia tidak akan peduli, ia lebih memilih untuk melihat dan memperhatikan saja, jika memang sudah keterlaluan, baru ia yang akan membantu sendiri.
Andrian berlalu dari taman tanpa mengejar adiknya, Nabila. Ternyata benar apa yang dikatakan Nabila, ia menjemput sang adik bukan karena keinginannya, melainkan desakan kekasihnya dan juga rasa bersalah yang hanya sedikit. Sehingga ketika Nabila memutuskan untuk tidak ikut, ia sama sekali tidak ada niatnya untuk menjemput adiknya kembali.
Andrian masuk ke dalam mobil, menatap kembali gedung kampus Nabila yang baru sekali ini ia datangi, kampus adiknya termasuk kampus ternama, oleh karena itu, biaya yang dihabiskan juga lumayan banyak. Pantas saja Abi nya sering mengeluh lelah membayar uang kuliah Nabila.
Meninggalkan pelataran kampus, Andrian menelpon kekasihnya kembali.
"Nabila gak jadi ikut," ujarnya begitu panggilan tersebut diangkat. Tak ada jawaban dari seberang, membuat Andriana melihat ponselnya masih tersambung atau tidak.
Nyatanya telpon itu masih tersambung, namun kekasihnya diam membisu, hingga Andrian kembali melontarkan kalimat yang sama, barulah panggilan itu terputus secara sepihak, entah karena jaringan, ataupun hal lainnya. Yang jelas Andrian harus bisa secepatnya sampai rumah sang kekasih sebelum Abinya curiga, dan ngamuk kepadanya, terlebih kepada Nabila.
Berbeda dengan Andrian, Nabila sendiri memilih duduk di kursi yang tersedia di koridor depan kelas yang akan ia masuki nanti. Menatap ke sekiling yang terlihat memperhatikan nya secara diam-diam. Bagaimana tidak menjadi pusat perhatian? Nabila terisak sambil sesekali menyeka air matanya.
Jika saja saat ini ada Niswah, mungkin dirinya tidak akan berakhir semenyedihkan ini. Niswah akan selalu tau bagaimana caranya menenangkan hatinya yang sedang kacau seperti ini.
"Cicicuit.... Eneng yang lagi nangis di atas kursi panjang, lihat saya dong." Sontak Nabila mencari asal suara tersebut, hingga ia bisa melihat ada Rian yang berdiri di ujung lorong dengan wajah yang tersenyum geli ke arahnya.
"Nangis aja kurcaci. Kenapa sih?"
Nabila tak menjawab, baginya tak ada yang perlu tau masalah keluarganya, kecuali satu orang, yang secara kebetulan tau. Yaitu Dito. Dosen Izrailnya.
"Woy! Ditanya malah bengong. Udah ngopi belum? Ngopi pa ngopi." Nabila tetap diam, ia sangat malas meladeni tingkah Rian yang bikin naik darah.
Rian tidak kehabisan akal, dengan cepat ia menarik kerah baju Nabila seolah-olah pria itu adalah kucing.
"Dari pada melongo di sini kayak anak ayam kehilangan induk. Mending temeni saya makan." Nabila memberontak tidak mau. Yang benar saja, ia bahkan tidak terlalu dekat dengan iblis yang sedang menariknya ini.
"Heh, ini namanya pemaksaan. Kena pasal ini."
"Pasal apa? Pasal berlapis? Udah diem, tinggal nurut aja apa susahnya."
Nabila pada akhirnya hanya pasrah ditarik dengan tidak manusiawi oleh Rian. Sampai-sampai perhatian beberapa orang mahasiswa yang mereka lewati tertuju padanya. Nabila hanya meringis malu, sedangkan Rian yang sudah tidak punya rasa malu merasa enjoy aja.
Rian langsung duduk sesampainya di kantin, begitu pula dengan Nabila yang raut wajahnya terlihat sangat kesal. Sedang menekuk dan menatap Rian dengan sinis.
Rian terkekeh melihat wajah Nabila. "Gak usah sok cemberut, btw mata kamu kenapa? Kok bengkak, baru nangis yah?"
Nabila langsung gelagapan, ia dengan cepat menggelang menyangkal pertanyaan dari Rian.
"Mana ada saya nangis, situ ngarang." Rian hanya mengangguk mengiyakan, padahal tanpa diberitahu juga ia dapat mengerti alasan mata bengkak itu. Memang dasarnya Rian yang tidak perduli dan tidak mau tau masalah Nabila.
Nabila menatap sekeliling kantin yang terlihat tidak terlalu ramai. Beberapa mahasiswa memilih untuk ke pandopo kampus yang lebih sejuk dengan pohon-pohon besar yang berjejer.
Hingga matanya melihat ke arah Rian yang dengan asyik menyantap sotonya. Rian termasuk tampan, bibir mungil menambah kesan imut pada wajah itu, tak lupa mata yang jika tertawa tidak akan terlihat. Mungkin Rian memiliki garis keturunan cina.
"Jangan lihat-lihat, nanti suka kan gawat."
Nabila langsung gelagapan, sial! Dia ketahuan tengah menatap iblis di depannya.
"Mimpi saya bisa suka sama mas." Jawab Nabila dengan ketus. Rian langsung melihat ke arah kurcaci di depannya. Lalu tiba-tiba berdiri dan menggebrak meja.
"SAYA SUMPAHI KAMU JADI CINTA SAMA SAYA. DUARR.... DUARR... GEDUBRAK!"
"Nah, hayo tuh udah saya sumpahi, sampe keluar tuh petir-petirnya. Siap-siap aja kamu klepek-klepek sama saya."
Nabila melongo, begitu juga dengan tingkah absurd dari Rian, lihatlah, bahkan mereka telah menjadi pusat perhatian akibat sumpah laki-laki itu, beberapa mahasiswa bahkan sengaja memvideo kejadian tadi. Dan lihat, respon Rian malah terlihat senang dan girang. Seolah-olah dirinya menjadi artis dadakan.
Nabila yang kadung malu menatap tajam Rian yang masih asyik memberikan dadah dan juga kiss bye kepada mahasiswi yang terlihat menjadi fans dadakan seorang Rian.
"Ini nih, kalau pasien rumah sakit jiwa, dilepaskan. " Batin Nabila masih terus memperhatikan tingkah Rian.
"Cepetan makan, saya ada jam mata kuliah."
Rian yang tadinya menyapa penggemar, langsung kicep begitu mendengar suara dingin dari kurcaci di depannya. Lihat saja, mata Nabila yang belo itu, bertambah besar ketika dirinya melotot tajam. Rian sampai bergidik ngeri jika seumpamanya mata itu keluar karena sangking melotonya si kurcaci.
Berbeda dengan Nabila. Andrian sendiri sudah sampai di kediaman kekasihnya. Ia mendapatkan pelototan tajam dari sang Abi yang sudah sampai duluan.
"Assalamualaikum, mohon maaf saya telat, kejebak macet." Andrian mencoba memberikan alasan secara tidak langsung, tanpa perlu ditanya. Namun Abinya bukan sosok bodoh yang tidak mengetahui dari mana sang putra, di jalan tadi sama sekali tidak ada macet.
Abi menatap Andrian dengan tajam, yang membuat pemuda itu gugup setengah mati.
"Waalaikumsalam, gak papa nak Andrian, silahkan duduk."
Andrian duduk di samping sang Abi dalam diam. Sesekali ia menatap ke arah Abinya secara diam-diam. Dan melihat rahang laki-laki paruh baya itu mengetat, tanda sedang dalam emosi. Ia berharap Nabila tidak dalam masalah sekarang, karena ia tahu, jika Abi nya mengetahui dirinya dari mana.
"Baiklah, bisa kita mulai?" Tanya seseorang yang mereka tunjuk sebagai MC. Semua pihak mengangguk. Andrian sudah bersiap meski hatinya sedang tidak karuan, pikirannya juga bercabang ke arah sang adik yang tidak bisa hadir kali ini. Ia rasanya ingin menangis keras, dan memohon ampun di pangkuan sang ummi karena tidak benua menjadi seorang kakak seperti yang telah ia janjikan.
"Saya, Andrian ananda. Dengan restu orang tua dan ridho Allah SWT. Saya bermaksud untuk melamar Yola Anggraini kepada bapak dan ibu sekalian selaku orang tua dan juga keluarga yang menemani Yola. "
Beberapa jam kemudian, semua prosesi lamaran telah selesai, dan penentuan tanggal pernikahan juga telah di musyawarah kan. Andrian dan Yola akan melangsungkan pernikahan telat sebulan lagi, yang berarti tanggal 2 bulan Agustus.
Setelah prosesi lamaran, Yola menarik tangan Andrian ke arah taman belakang rumahnya.
"Mas bilang Nabil ikut? Terus sekarang ke aman anaknya?" Tanya Yola dengan wajah yang serius. Ia tidak ingin memulai kehidupan bersama laki-laki yang tidak bisa menerima takdir. Lagian, jika kelak ia memiliki anak, dan ketika melahirkan ia meregang nyawa. Bukan tidak mungkin jika Andrian membenci anak mereka, seperti yang laki-laki dan Abinya lakukan terhadap Nabila, si gadis manis yang harus memikul banyak derita.
"Tadi dia kelihatan seneng, tapi pas aku nelpon kamu, dia berubah pikiran dan pergi gitu aja."
Yola terdiam sejenak. Kemala setelah Andrian menelponnya, calon adik iparnya itu memutuskan untuk tidak jadi ikut?
"Apa mungkin Nabila fikir mas jemput dia karena Yola yah?"
Andrian mengiyakan dalam hati, namun menggeleng adalah jawabannya. Ia tidak ingin membuat suasana hati calon istrinya jelek.
"Gak tahu, yaudah biarin ajalah. Toh nanti kalau pernikahan pasti dia aku ajak," ujar Andrian mengentengkan permasalahan Nabila.
"Aku bukan cuma mau buat Nabila datang. Permasalah gak sesimpel itu. Kamu pikir, dengan aku terima kamu gini, pikiran aku udah tenang? Kamu salah! Ada rasa takut yang setiap hari datang ke aku. Takut kalau anak aku akan ngalamin hal yang sama kayak yang Nabila alami. Kami pikir siapa yang mau kehilangan sosok ibu? Gak ada! Tapi itu udah jadi takdir ummi, dan gak seharusnya kamu benci Nabila yang tidak tau apa-apa. Kamu bisa merasakan kasih sayang ummi selama 6 tahun, lah Nabila? Sedari lahir ia hanya merasakan kasih sayang seorang pembantu."
Yola langsung meninggalkan Andrian di taman belakang rumah. Ia membiarkan calon suaminya itu merenungi semua yang terjadi, pada awalnya ia tidak mengetahui permasalahan ini, namun ketika ia tak sengaja ingin mampir ke rumah Andrian, ia melihat Nabila yang sedang dicaci maki oleh Abi nya. Rasa amarahnya begitu naik ketika melihat Andrian hanya berdiri di tangga memandang tubuh Nabila yang terus dipukuli.
Sedari itu ia mencari tahu semua permasalahan yang ada di keluarga calon suaminya. Dan boom! Alangkah terkejutnya ia, begitu menerima kenyataan yang menurutnya sangat tidak masuk akal. Membenci anak sendiri karena sang istri meninggal ketika melahirkan sang anak? Bukankah ini pemikiran dangkal.
Ia sempat ingin mengakhiri hubungan dirinya dengan Andrian, jika dipikir-pikir, bukan tidak mungkin Andrian akan berlaku sama seperti Abinya, karena buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Dirinya sempat menghilang selama satu bulan, tanpa kabar dan enggan jika ditemui oleh Andrian. Hingga pada akhirnya, Andrian berniat melamar dirinya secara resmi.
Ingin rasanya menolak, namun melihat kehidupan Nabila, ia sudah berjanji membuat gadis manis itu bisa merasakan yang namanya dicintai keluarga sendiri, dan ia harus menjadi bagian keluarga itu. Dengan tidak lain, Yola menerima lamaran Andrian karena Nabila. Bukan karena cinta terhadap Andrian.
Terlihat Andrian masuk kembali ke dalam rumah, Yola tidak perduli, ia asyik makan dengan tenang di meja yang telah di sediakan. Beberapa tamu juga makan seperti dirinya.
"Yang, jangan marah lah. " Bujuk Andrian kepada Yola yang terlihat sama sekali tidak peduli.
"Yang, ya kali baru lamaran langsung berantem."
Yola meletakkan sendok makannya, lalu menatap Andrian dengan sendu.
"Kamu tau, Mas? Ada ketakutan dalam diri aku buat Nerima kamu. "
Andrian merasa terkejut, ia melihat ke arah Yola dengan intens dan menyadari jika mata calon istrinya itu sudah berkaca-kaca ingin menangis.
"Aku takut, anak aku bernasib sama dengan Nabila. Dicampakkan, dihina, bahkan dipukuli. Ada sekalipun Nabila membalas? Enggak. Aku tau dia tertekan, sangat-sangat tertekan, jangan lupakan aku seorang psikolog. Aku bisa mengerti ada tekanan di dalam diri Nabila yang ia bingung mau menyampaikan ke mana."
Andrian diam, ia tidak tau harus menanggapi seperti apa.
"Nabila itu tidak salah apa-apa. Yang terjadi pada ummi itu sudah takdir ummi. Kenapa kalian tidak mengerti juga? Aku tau kalian kehilangan, tapi Nabila juga sama dengan kalian. Pikirkan ini baik-baik mas. Jika kamu tetap gak bisa memperlakukan Nabila dengan baik, lebih baik kita batalkan rencana pernikahan kita. "
Andrian terkejut, begitu gampang Yola mengatakan untuk mengakhiri hubungan mereka. Apakah gadis ini sadar apa yang telah ia ucapkan?
"Maksud kamu apa? Jangan main-main," seru Andrian dengan pelan, namun penuh penekanan.
"Kamu pikirkan baik-baik. Coba untuk terima takdir dan keberadaan Nabila sebagai pengganti Ummi. "
Yola pergi menemui keluarga nya yang lain, sedangkan Andrian masih duduk termenung menatap ke arah Abinya yang terlihat tertawa bahagia, sebenarnya, ada bongkahan kecewa yang berada di dalam hatinya. Namun ia tutup dengan rapat karena ia berpemikiran sama dengan sang Abi. Ia saat itu masih berumur 6 tahun, namun harus merasakan yang namanya kehilangan kasih sayang seorang ibu.
Jiwa kecilnya merasa terguncang, yang ia punya hanya Abi. Maka demi mendapatkan kasih sayang Abinya, Andrian ikut membenci sang adik sedari adiknya berumur 2 bulan. Dan memang benar, dengan membenci sang adik. Ia bisa mendapatkan kasih sayang yang melimpah dari Abinya. Egois memang, dan ia mengiyakan itu, kalau dengan membenci Nabila ia bisa mendapatkan kasih sayang Abinya secara utuh, kenapa tidak? pada saat itu jiwa kecilnya sampai ia remaja masih memikirkan kebahagiaan buat dirinya sendiri.
Namun sekarang, ia semakin mengerti, bahwa bahagia itu bukan tentang harta semata. Ia juga butuh sosok yang menjadi penyemangat ya di rumah. Dan dengan melihat Nabila pulang dalam keadaan baik-baik saja, sudah berhasil menjadi penyemangat untuknya.