*Membaca Al-Qur'an lebih utama*
Keesokan paginya, Nabila segara bangun dan bergegas untuk kembali pulang ke rumahnya. Ia dengan tergesa-gesa keluar dari kamar, dan menemukan ibunya Dito sedang memasak di dapur.
"Pagi, Tante. Ada yang bisa dibantu?"
"Eh, kamu sudah bangun? Gimana tidurnya, nyenyak?"
Nabila hanya tersenyum sambil meringis pelan. Ia menatap penampilannya yang masih menggunakan gamis brokat yang ia gunakan di pesta bisa semalam. Akh! Mengingat kejadian kemarin, Nabila rasanya ingin menangis. Andrian yang berbuat kasar kepadanya, sangat tidak pernah ia pikirkan sebelumnya.
"Nabila, jangan kebanyakan melamun."
Nabila langsung tersentak kaget, mendengar suara yang berasal dari arah samping kirinya. Dito dengan penampilan yang sudah rapi, kemeja batik, celana bahan berwarna hitam terlihat sangat berkarisma dan tampan.
Nabila langsung menggeleng pelan, pikirannya sudah ngawur.
"Sholat subuh ku terlewat, gak malu dengan Akbar yang mencoba membangunkan mu?" Sindiran halus itu membuat Nabila menunduk. Terlebih lagi ketik Akbar bocah cilik yang berada di sebelahnya menatap dirinya dengan pandangan geli.
Ada apa dengan anak kecil itu? Kemarin malam sangat lengket dengannya, dan sekarang? Lihat saja senyumnya. Mengandung makna yang lain. Apa jangan-jangan akbra memiliki kepribadian ganda? Bisa saja iya.
"Tante bisulan? Kok gak duduk?"
Dito menahan tawa mendengar ucapan anaknya. Akh! Ternyata sang anak tidak kehilangan jati diri setelah semalam seperti lem dengan Nabila. Jati diri yang akan membuat Nabila sangat terkejut luar biasa.
Nabila dengan kikuk duduk berhadapan dengan Dito secara langsung. Ia hanya menatap piring kosong dihadapannya tanpa berani mengangkat kepala.
"Ayah, Tante itu kepalanya sakit yah?"
Dito menaikkan sebelah alisnya, meminta pertanyaan yang lebih rinci.
"Maksud Akbar itu, Tante Nabila nunduk terus, memang kepalanya sakit kalau ngeliat kita?"
"Coba tanya sendiri."
Akbar melihat ke arah Nabila dengan teliti. "Tante," panggilnya yang membuat Nabila mengangkat kepalanya sejenak.
"Tante sakit kepala?"
Nabila menggeleng, dirinya bukan sakit kepala, tapi malu kepada Dito, karena sudah besar tapi masih sulit dibangunkan sholat subuh.
Tak mendapatkan jawaban dari Nabila, membuat Akbar urung menanyakan banyak hal, ia kembali fokus dengan menyantap sarapannya di temani oleh keheningan. Hingga saat sang nenek duduk di sebelahnya, barulah terdengar celotehan Akbar yang sangat banyak, sampai-sampai menguat Nabila meringis pelan.
" Itu mulut udah kayak petasan Betawi, nyerocos terus." Batin Nabila.
Dito memperhatikan Nabila yang melihat Akbar . "Kenapa?" Tanya Dito tiba-tiba. Nabila hanya menggeleng, lalu melanjutkan kembali sarapannya.
Setelah sarapan, Dito menawarkan sebuah tumpangan, namun ditolak secara halus oleh Nabila, bagaimana nanti tanggapan Abinya jika melihat dirinya pulang di antar oleh seorang laki-laki, yang ada bisa habis dirinya nanti.
Dengan menggunakan ojek online, Nabila sampai di depan rumah dengan selamat, di garasi masih tampak mobil Abi dan abangnya yang belum berangkat kerja. Ia segera masuk ke dalam rumah, sebelum langkahnya berhenti ketika mendengar pembicaraan yang ada di meja makan.
"Bi, gak nunggu Nabila pulang dulu? Baru kita berangkat."
"Ngapain nunggu anak sialan itu, lihat aja! Dia tidak pulang ke rumah dan malah menginap di rumah sahabatnya tanpa seizin saya."
"Tapikan Nabila adik aku, Bi. Masa gak diajak ke lamaran Abang sendiri."
Deg!
Tubuh Nabila menegang kaku, ada rasa senang di dalam hatinya, namun juga rasa sakit, karena momen sesakral ini, dirinya tidak diberitahu sebagai anggota keluarga terdekat, malah sepupunya yang berada di Tangerang tau, dan hadir saat ini.
"Kenapa Nabila gak dikasih tau?" Sentak Nabila membuat beberapa orang yang ada di meja makan itu melihat ke arah dirinya dengan tajam .
Semua orang yang berada di meja makan itu menggunakan baju batik keluarga, dirinya tertawa miris ketika dengan gampangnya sang Abang memberikan baju keluarga untuk orang lain, sedangkan dirinya yang notabennya satu ayah, satu ibu. Sama sekali tidak mengetahui perihal ini.
"Buat apa kamu tau? Tidak ada untungnya juga. Yang ada malah rugi."
Mata Nabila memanas dan bulir air mata itu jatuh dengan mulut yang terkunci diam, Nabila hanya memasang Andrian dengan kecewa. Abangnya akan memulai kehidupan baru, tanpa sepengetahuan dirinya. Hahaha memang siapa dirinya ini? Hanya anak pembawa sial.
Nabila tersenyum lirih memandang Andrian. "Semoga lancar sampai hari H, Bang." Nabila langsung berlalu dari hadapan mereka semua, masuk ke dalam kamarnya dengan langkah tergesa.
Sesampainya di kamar, Nabila langsung mengunci pintu itu, dan menangis terisak di balik pintu. Tubuhnya luruh ke lantai, mengapa nasibnya semenyedihkan ini? Siapa yang ingin membuat ibunya sendiri tiada? Tidak ada. Jika boleh memilih, lebih baik dirinya yang tiada dari pada sang ummi, karena dirinya hidup juga sama Sajam tidak mendatangkan kehidupan yang layak.
Nabila masih terisak pilu, sambil memukul-mukul dadanya yang terasa sangat sesak, dan isakan itu membuat seseorang yang berdiri di depan pintu ikut menangis dalam diam.
Andrian berniat mengantarkan baju gamis yang sudah ia jahitkan dengan ukuran sesuai baju gamis yang ia ambil dari lemari sang adik. Ia sengaja melakukan ini secara diam-diam, karena tau sang Abi akan menolaknya mentah-mentah. Bahkan yang mendesain gamis Nabila adalah dirinya sendiri.
Sebuah gamis berwarna navi, lengkap dengan payyet yang berada di pinggul dan juga tangan bajunya. Namun begitu ia sampai di depan pintu kamar sang adik. Suara tangisan pilu terdengar sangat menyesakkan dadanya, belum lagi luka perban yang ada di pelipis sang adik, menambah ruang penyesalan dalam hati Andrian.
Tok! Tok! Tok!
Dengan memberanikan diri, Andrian mengetuk pintu kamar adiknya, cukup lama agar pintu itu terbuka, ia segera menghapus sisa air matanya begitu melihat sang adik muncul dari balik pintu.
"Kenapa, Bang?" Tanya Nabila dengan suara yang dibuat sering mungkin.
Tanpa banyak kata, Andrian memberikan paper bag yang berisi baju gamis keluarga untuk sang adik. Raut wajah Nabila langsung beruang sumringah. Nabila bahkan tidak bisa menyembunyikan senyumannya. Yang membuat hati Andrian menghangat seketika, hal sederhana yang sebenarnya bisa mereka berikan setiap hari, namun adiknya merasa seperti mendapatkan hadiah bernilai triliunan rupiah.
"Makasih, Bang. Nabila siap-siap bentar, jangan ditinggal."
Andrian mengangguk, lalu berlalu menuju ruang keluarga tempat keluarganya berada. Ia akan menunggu sang adik bersiap-siap, dan pergi bersama ke acara lamaran.
"Ayo, Andrian. Nanti kena macet, jadi telat," ucap Abinya dengan tegas. Sontak Andrian gelagapan, dirinya ingin mengatakan jika Nabila sedang bersiap-siap, namun takut jika keluarganya ini malah akan semakin berang dan marah terhadap Nabila karena memperlambat mereka.
"Ayo, kamu nunggu apa lagi?" Tanya bibik yang merupakan adik dari umminya.
Andrian sekali lagi menatap ruangnya yang dekat dengan kamar Nabila, namun sampai beberapa menit, adiknya itu tidak memperlihatkan batang hidungnya, dengan pasrah, pada akhirnya ia menuruti sang Abi untuk segera berangkat.
Nabila yang bersiap secara terburu-buru, keluar dari dalam kamarnya dan menuju ruang keluarga, namun ia sama sekali tidak mendapati satu orang pun keluarga di sana. Apa dirinya sudah ditinggal?
Nabila langsung berlari keluar rumah, dan melihat mobil sang ayah dan beberapa mobil yang tadinya Nabila pikir milik tetangga telah pergi, dari tempatnya berdiri ia dapat melihat Andrian yang menatap ke arahnya.
Air mata Nabila kembali menetes, hatinya terasa lebih sakit sekarang. Rasanya percuma saja perjuangan dan rasa senangnya tadi. Dengan menahan tangis, Nabila kembali masuk ke rumah dan melepaskan hijabnya.
Ia melihat jam dinding yang masih menunjukkan pukul 8 pagi, dan pukul 12 siang nanti ,ia baru ada jam masuk, apakah dirinya harus datang ke kampus secepat ini? Tapi di rumah pun malah menambah beban kesedihannya, sedangkan kalau di kampus, Niswah juga dalam masa cuti pernikahan.
Nabila berganti pakaian, dengan menggunakan gamis motif Monalisa berwarna biru muda, Nabila berangkat ke kampus dengan menggunakan ojek online, karena motornya masih berada di rumah Niswah kemarin.
Dirinya sampai di pelataran kampus 30 menit kemudian, beberapa mahasiswa terlihat memilki kesibukan yang berbeda-beda. Nabila memutuskan untuk berjalan menuju gedung perpustakaan, ia akan membaca beberapa buku mengenai tata boga.
Ternyata perpustakaan juga sedang dalam kondisi ramai, Nabila menyusuri rak-rak buku yang biasanya terdapat buku resep berjejer. Hingga akhirnya ia dapat menemukan buku-buku yang membahas aneka resep kue kering.
"Kue nastar," ucap seseorang dari arah belakang Nabila, membuat gadis itu terlonjak kaget. Nabila mendelik kaget begitu menyadari kehadiran makhluk astral yang ada di perpustakaan ini secara tiba-tiba.
"Ngapain mas di sini?"
Rian mengangkat alisnya songong. "Like like saya lah, ini tempat umum, kenapa kamu yang ribet?"
Nabila semakin tidak mengerti dengan tingkah laki-laki yang berada di sebelahnya sekarang. Tanpa memperdulikan Rian, Nabila kembali membaca buku yang menarik baginya.
Rian berdecak kesal, bisa-bisanya makhluk setampan dirinya dicuekin oleh kurcaci? Cih... Harusnya kan Nabila senang dihampiri pangeran.
"Heh, kurcaci, kemarin hilang ke mana?" Rian ingat, kemarin Nabila sama sekali tidak terlihat di mana pun setelah beradu mulut dengannya.
Nabila menatap Rian dengan penuh tanya, kemarin? Kemarin yang mana maksudnya? Oh! Nabila sekarang tau, CK! Ternyata iblis satu ini mencari dirinya.
"Kenapa emang?"
"Gak ada sih, mana tau diculik kan? Siapa yang tau? Eh, tapi mana ada yang mau ngulik kurcaci, gak ada untungnya." Rian terbahak setelah mengucapkan itu. Lalu pergi meninggalkan Nabila yang kekesalannya sudah di atas rata-rata.
Kenapa hari ini ia merasa sangat sial sekali? Astaga. Bahkan sangking kesalnya, ia sudah terisak di depan tak buku, dan dilihat banyak mahasiswa lainnya. Nabila langsung berjalan kelaut dari perpustakaan, dan menuju taman kampus. Untung saja di sana terlihat sepi.
Di sana Nabila terisak pelan, masalah di rumah, ditambah dengan Rian yang membuat dirinya kesal setengah mati. Menambah beban bagi pikiran Nabila yang menang sedang semrawut.
Nabila memandang seisi taman dalam diamnya, dengan air mata yang menetes, ia mencoba mencari ketenangan dengan menikmati semilir angin yang menerpa wajahnya.
Sedang apa keluarganya? Mungkin sekarang mereka sudah sampai di kediaman calon Andrian dan Sedang melakukan prosesi lamaran. Nabila mengelap air matanya dengan pelan, lalu menatap ke depan, tepat di lapangan yang sangat luas. Hingga panggilan seseorang membuat Nabila mengalihkan pandangannya.
Ia sangat terkejut melihat orang yang ada di depannya, yang menggunakan batik dan juga celana bahan hitam.
"Abang," ucap Nabila lirih.
Yah, orang itu adalah Andrian, yang datang menjemput sang adik untuk turut serta dalam prosesi lamarannya. Bahkan ia dengan cepat memutar arah mobilnya menuju rumah, namun begitu sampai di rumah sama sekali tidak ada siapapun, bahkan gamis yang ia berikan untuk Nabila tergelatak di ranjang.
Andrian ingin menelpon sang adik, namun ia sadar bahwa dirinya tidak memiliki nomor ponsel Nabila. Segitu parah ternyata hubungan dirinya dengan sang adik, sampai-sampai nomor ponselnya saja ia tidak punya.
Beruntung Andrian bertemu dengan rombongan ibu-ibu kompleks yang sedang pulang dari lari pagi. Ia langsung diberitahu bahwa adiknya menggunakan ojek seperti hendak ke kampus. Dan di sinilah Andrian berada, di kampus adiknya dengan bertanya ke setiap mahasiswa yang ia temui apakah melihat dan mengenal sosok Nabila Ananda.
Bersyukur ia bertemu dengan seorang pria yang memakai kemeja kotak berwarna biru dan menunjukkan jika adiknya itu berada di dalam perpustakaan. Namun belum sempat ia naik ke lantai dua, ia melihat adiknya keluar dengan mata yang berair.
Andrian berjalan mengikuti Nabila. Hingga ia menunggu sejenak, memperhatikan sang adik yang tengah melamun sembari menangis. Ada sejuta panah yang menusuk tepat di dadanya, sehingga menimbulkan rasa sakit yang tidak terkira begitu melihat Nabila menangis sendirian.
Ia yang seharusnya menjadi bahu untuk sang adik, nyatanya menjadi pohon berduri yang secara tidak langsung membuat luka yang susah sembuh.
Hingga sekarang, Nabila memandang dirinya dengan heran. Mungkin adiknya itu terkejut begitu melihat dirinya hadir secara tiba-tiba.
"Ayo cepat, waktunya udah mepet."
Nabila terkesiap, mendengar nada dingin, namun penuh dengan perhatian. Melihat Nabila yang tidak bergerak sama sekali, Andrian langsung menarik tangan adiknya dan membawa Nabila menuju parkiran mobil, sebelum ponselnya berdering nyaring.
"Udah, Yang. Udah ketemu, senangkan kamu, aku bawa Nabila?"
Deg!
Jati Nabila seperti tertitikam oleh anak panah, ternyata Andrian menjemputnya karena paksaan sang calon istri, bukan karena keinginannya sendiri. Nabila segera melepaskan cekakan tangan itu. Lalu menatap tajam Andrian.
"Aku gak butuh belas kasihan, kalau Abang mau lamaran, silahkan. Nabila juga gak terlalu penting buat ada di sana, jangan buat Nabila merasa seolah-olah sangat berharga buat keluarga, nyatanya Abang ke sini karena perintah dari calon Abang." Setelah mengucapkan itu, Nabila pergi meninggalkan Andrian yang terdiam membisu, terlebih lagi tatapan tajam yang penuh dengan luka dan linangan air mata itu menatapnya.
"Bukan gitu, Dek." Lirih Andrian pelan, sambil menatap Nabila yang sudah berlalu meninggalkannya sendiri. Tanpa mereka sadari ada seseorang yang melihat semua dari awal sampai akhir. Orang itu memandang miris gadis yang sudah menjauh dari taman.
"Gadis yang malang," ucapnya dengan senyum miris. Kehidupan dunia sepertinya tidak adil bagi seorang Nabila, si kurcaci.