"Kamu marah sama aku?" Bara menggeleng mana mungkin dia bisa marah dengan wanita di depannya. Dia sudah memilih, jika dia tidak ingin tinggal bersama dengan Bara. Lalu untuk apa juga Bara marah pada Tiffany. "Bara..,"
"Hmm, aku nggak marah." jawabnya cuek sambil mengaduk-aduk makanannya, tanpa ada niatan untuk memakannya.
Padahal Tiffany memasaknya penuh dengan kasih sayang dan tenaga. Rasanya juga tidak begitu buruk, masih bisa dimakan walaupun sedikit keasinan. Tapi kan kalau di campur sambal kecap juga tidak terasa asinnya.
"Kalau nggak marah, kenapa nggak dimanan? Nggak enak masakan aku?" kata Tiffany.
Bara kembali menggeleng, bukan perkara masakannya yang tidak enak. Tapi karena suasana hatinya yang tidak enak. Dia menginginkan Tiffany tinggal satu rumah dengannya disini. Sedangkan wanita itu malah menolaknya, dan tidak ingin tinggal bersama dengan Bara.
Menyadari sikap pria itu berubah membuat Tiffany menyadarinya. Dia juga tidak bisa berbuat apa-apa untuk saat ini. Maksud Tiffany, dia hanya ingin Bara bersabar sebentar atas hal ini. Dia akan mencari cara untuk membujuk Bapak Leon agar mengizinkan dia tinggal bersama dengan Bara. Kan Tiffany juga harus memikirkan cara dan alasannya. Tidak asal jeplak, yang nantinya akan membahayakan Tiffany dan juga Bara.
Wanita itu memilih diam, lebih baik dia makan dulu sambil memikirkan cara. Jika dengan perut kosong seperti ini, masa bisa Tiffany berpikir dengan jernih. Yang aa pikirannya akan terasa gelap dan kosong, dia tidak bisa berkonsentrasi penuh.
Selama makan, sesekali Tiffany menatap Bara yang seolah nafsu makan pria itu telah bilang. Tapi sesekali juga Tiffany melirik Bara, yang melahap makanan itu dengan rasa terpaksa. Tiffany yang jengkel dengan hal itu langsung membanting sendoknya. Terlihat sangat tidak sopan, apalagi Bara ini termasuk orang kelas atas.
"Kenapa dibanting?" ucap Bara bingung. Dia juga sampai meletakkan sendoknya dan menatap Tiffany bingung.
Wanita itu tiba-tiba saja melempar sendoknya ke atas piringnya. Untung saja sendoknya tidak melayang sampai di piring Bara. Padahal kalau dilihat mereka juga baik-baik saja, tanpa ada niatan untuk bertengkar.
"Nggak papa, kaget aja Bapak Leon nelpon. Kamu makan aja dulu."
Bara diam, hingga dia menatap Tiffany yang pergi begitu saja dari hadapannya. "Tiffany…,"
Wanita itu menghentikan langkahnya saat namanya dipanggil. Jika pria itu sudah memanggil Tiffany dengan nama, itu tandanya dia sudah mulai serius.
Pria itu berdiri dari duduknya dan langsung menghampiri Tiffany. Berdiri di depan wanita itu yang meremas ponselnya.
"Papa kamu bilang apa?" ucap Bars memicing.
Tiffany gelagapan, pasalnya bukan Leon yang menelponnya tapi Mikhael. Walaupun tidak ada hubungan apapun, tapi Tiffany juga tidak ingin menambah suasana hati Bara semakin buruk.
Dering ponsel Tiffany kembali berbunyi. Bara yang gemas segera merampas ponsel itu dan menatap id call di layar ponsel. Lalu menunjukkan pada Tiffany, agar wanita itu bisa membacanya dengan jelas.
"Mike bukan Leon." ucapnya tegas dan mengembalikan ponselnya pada Tiffany.
Tiffany menghentikan Bara yang hendak pergi. Pria itu sudah salah paham dengan apa yang dia lihat. Wanita itu mencoba menyakinkan Bara, jika dia tidak memiliki hubungan apapun dengan Mike. Mereka hanya berteman selama kuliah, dan Tiffany ada proyek yang harus diselesaikan dengan Mike.
"Jadi tau ini alasan kamu. Kenapa nggak mau tinggal sama aku." Bara mencoba untuk pergi, tapi Tiffany terus menahannya.
"Apa sih!! Jangan sangkut pautkan ini sama masalah kita ya!!"
"Kalau nggak gitu terus apa? Ternyata udah punya cowok lain. Pantes di lupakan."
Tiffany menggeleng dia tidak melupakan Bara sedikitpun. Tiffany hanya ada projek kepenulisan dengan Mike. Karena setiap cover yang menjadi cerita Tiffany, dia memesannya pada Mike. Dan ini juga tidak ada urusannya dengan masalah tinggal bersama dengan Bara. Dia juga sedang memikirkan cara untuk bicara pada Bapak Leon. Mencari alasan untuk Bapak Leon, agar mengizinkan Tiffany tinggal bersama dengan Bara.
"Yakin? Kamu bilang gitu nggak cuma bikin aku seneng doang kan?" alis Bara terangkat satu, dia pun menatap Tiffany tidak percaya. Secepat itu wanita di depannya berubah pikiran?
Tiffany mengangguk, "Aku tau kamu marah sama aku, karena aku nggak mau tinggal sama kamu. Tapi aku juga tahu, jika kesempatan kedua tidak akan datang untuk kedua kalinya. Nggak tau endingnya kayak apa, tapi aku akan berusaha sebisa mungkin." jelas Tiffany.
Bara menatap Tiffany tertegun. Dia pun segera menarik tangan wanita itu dan langsung memeluknya. Tentu saja hal itu, langsung membuat Tiffany membalas pelukan itu.
"Aku pengen minta tolong sama kamu. Tapi janji kamu harus tolongin aku." ucap Bara mengecup kening Tiffany.
"Apa?"
"Tolong tetap di samping aku, di sisi aku, tepat menemnai aku sampai kapanpun. Dan tolong jangan tinggalin aku."
Dengan pipi bersemu merah Tiffany mengeratkan pelukannya pada Bara. "Iya nanti aku tolongin."
-Love (not) Blind-
Tiffany meremas tangannya saat turun dari mobil Bara. Dia pun langsung masuk ke dalam rumahnya, dan melihat satu motor besar yang terparkir indah di halaman rumah. Motor siapa lagi jika bukan motor Mikhael. Masih mending rumah Tiffany memiliki gerbang hitam dengan motif ada kayunya. Jadi bara tidak akan tahu jika Mikhael datang ke rumahnya. Atau tidak, pria itu pasti akan marah besar dengan Tiffany. Cukup pesan dari Mikhael saja yang membuat mood Bara buruk, kalau yang ini jangan.
Terlalu kasar membuka pintu rumah, tak sengaja Tiffany malah menabrak Asih yang berada di balik pintu rumah ini. Mengakibatkan Tiffany dan juga Asih jatuh bersama.
"Astaga Mbak Asih..," pekik Tiffany kaget. Belum lagi teh hangat menumpahi baju Tiffany.
"Non Tiffany buka pintunya kasar banget. Jatuh kan jadinya." omel Asih.
Kebanyakan asisten yang takut sama majikan. Tapi beda cerita kalau sama Asih, selama Tiffany salah ya harus disalahkan tidak boleh tidak. Dan berhubung tadi itu salah Tiffany, karena terlalu kasar membuka pintu dan menyebabkan teh yang dibawa Asih pun tumpah.
"Makanya hati-hati Tif, buka pintu keburu banget. Mau kemana?" ucap Leon dan menghampiri Tiffany.
Melihat hal itu Mikhael membantu Tiffany bangkit dari jatuhnya. Mengambil buku dan juga satu kantong plastik yang masih panas.
"Mending mandi dulu deh, semutnya keburu datang." kata Mikhael.
"Iya Tif, mandi sana. Sama kamu juga mandi sana Asih, biar Mbok Darmi saja yang beresin."
Asih maupun Tiffany mengangguk, dan memilih pergi ke kamar mereka masing-masing. Tiffany segera membersihkan tubuhnya, yang bau teh manis.
Sekitar tiga puluh menit Tiffany baru saja selesai mandi. Dia mengambil ponselnya dan menatap pesan masuk dari Bara. Dia hanya memberitahu pada Tiffany, jika Bara baru saja selesai di apartemennya. Dan Bara juga meninggalkan beberapa uang di tas Tiffany dan juga kunci apartemen. Tentu saja wanita itu langsung membuka tas ransel mini nya dan melihat isinya. Dan benar saja ada banyak uang di dalam tas nya, dan juga kartu platinum.
Tiffany memutuskan untuk menelpon Bara. Sebelum sambungan ponsel itu terhubung, pintu kamar ini diketuk dengan kencang. Langsung saja Tiffany menutup ponselnya, ketika Leon muncul di balik pintunya.
"Papa…, bikin kaget!!" pekik Tiffany mengusap dadanya.
"Kamu lama, Mikhael udah nunggu kamu di bawah. Ayo turun, jangan main hape aja." omel Leon.
Tiffany mengangguk kecil, dan meminta Leon untuk turun lebih dulu. Dan barulah dia yang turun setelah mengirim pesan pada Bara. Meminta pria itu untuk menjelaskan, kenapa menaruh kartu platinum di dalam tas Tiffany. Bukannya tidak butuh, tapi itu bukanlah hak Tiffany sebelum dia menjadi istri Bara.
-Love (not) Blind-