I love all the way I feel so much
I get carried away
I love to love I just wanna stay
Bara menghentikan lagunya saat sebuah tangan mungil merebut gitar hitamnya. Alis pria itu terangkat sebelah menatap wanita di depannya. Sejak tadi, wanita itu meminta Bara segera tidur. Tapi karena Bara yang bandel, dan lebih suka bermain gitar sudah hampir satu jam lamanya. Melupakan jadwal tidurnya.
"Ayo tidur. Katanya dari semalam belum tidur. Ini sudah satu jam ya kamu main gitar." omelnya.
Hah, selama di Amerika inilah yang dirindukan Bara. Omelan Tiffany yang entah kenapa menjadi moodbooster Bara selama ini. Bahkan alarm ponsel Bara saja, juga omelan Tiffany yang meminta Bara untuk segera bangun. Ralat, voice note Tiffany.
"Pacar!! Jangan galak-galak, aku takut beneran loh." kekehnya.
"Kalau nggak galak, kamu nggak akan nurut. Ayo tidur dulu, aku nggak mau kamu sakit."
"I love you."
Tiffany cekikikan dan langsung menarik tangan Bara. Meminta pria itu untuk segera tidur. Jika bangun nanti Tiffany akan memasakan malam spesial untuk Bara. Ini nih, yang membuat Bara menatapnya aneh. Dia tahu betul jika Tiffany tidak bisa memasak sama sekali. Dan kali ini dia bilang, jika dia akan memasak makanan untuk Bara?
Pria itu ingin protes, tapi Tiffany terburu mendorong Bara untuk segera masuk ke kamarnya, dan meminta Bara segera tidur. Jika tidak, pria itu pasti akan sakit. Sudah makannya tidak teratur, tidurnya pun juga teratur. Mengejar impian itu memang perlu, tapi kita juga tahu porsi tubuh kita seperti apa. Tidak semua tubuh bisa dipaksa untuk mengejar semua impian yang kita inginkan. Kadang kala tubuh ini juga membutuhkan tempat untuk bersandar dengan nyaman.
Memikirkan hal itu Tiffany tersenyum kecut. Dia pun kembali ke sofa apartemen unik dan menyalakan televisi. Tidak ada yang menarik selain kartun. Untuk mengusir rasa bosannya, Tiffany memilih membuka balkon apartemen ini dan menghirup udara segar dari laut.
Ada pohon kaktus lagi disini dan juga ada bonsai pula. Tiffany langsung memasukan dua pohon itu ke dalam apartemen. Bisa mati lagi kalau terlalu terkena sinar matahari. Tak lupa juga Tiffany menyirami bunga itu dengan telaten, dan meletakkan di tempat yang aman dan Bara bisa menjangkaunya.
"Ini aku ngapain ya?" gumam Tiffany mengacak rambutnya sendiri. "Lihat Bara, ah, tidur atau nggak. Itu anak kan suka bikin emosi." ujarnya.
Wanita itu memutuskan untuk masuk ke dalam kamar Bara. Hanya untuk melihat apakah Bara tidur atau tidak. Saat dia membuka gagang pintu kamar ini, Tiffany memang melihat Bara yang tengkurap di atas tempat tidurnya dengan mata yang terpejam.
Tidanny mendekat, untuk memastikan jika Bara benar-benar tidur sungguhan. Menggoyangkan telapak tangannya di depan wajah Bara membuat Tiffany tersenyum. Dia bahkan sampai mengabadikan banyak foto Bara saat pria itu tidur.
Hal sekecil ini saja bisa membuat Tiffany cekikikan.
Bara yang menang belum terlelap sebelumnya ikut tersenyum. Seketika itu juga dia membalik badannya, dan menarik Tiffany hingga terjatuh di sampingnya.
Tentu saja Tiffany langsung memekik kaget. Dia bahkan sampai melempar ponselnya ke sembarang arah. Dan memukul lengan kekar Bara dengan kesal.
"Tuh, kan bohong. Nggak tidur beneran." ucap Tiffany dengan wajah merajutnya.
Bara tersenyum, dia pun memiringkan tubuhnya, dan menyangga kepalanya dengan tangannya. Menatap Tiffany yang cemberut di hadapannya dengan lucu. Bahkan sangking lucunya, Bara sampai menoel beberapa kali hidung Tiffany hingga sang empu marah.
"Aku bukan bohong. Tadi emang mau tidur, tapi denger kamu cekikikan kan aku langsung bangun." jelas Bara mengusap pipi Tiffany.
Tiffany bergumam dan menatap Bara tidak percaya. "Jadi aku ganggu tidur kamu?"
"Nggak sayang. Kamu nggak ganggu kok."
Tiffany meminta Bara untuk kembali tidur. Lagian dia datang hanya untuk melihat Bara tidur sungguhan atau tidak. Dan Tiffany juga tidak tahu, jika cekikikan ya tadi mampu mengganggu Bara.
Ketika Tiffany ingin pergi, Bara langsung menahannya membuat wanita itu kembali tidur di sampingnya.
"Disini saja. Aku pengen tidur, dalam posisi meluk kamu." ucap Bara dengan nada lirih.
"Tapi---"
"Kamu nggak perlu takut. Aku nggak akan apa-apain kamu kok." sela Bara menyakinkan.
Tiffany menelan salivanya sedikit kasar. Bukannya dia tidak percaya dengan ucapan Bara. Dia percaya, jika Bara tidak akan berbuat senonoh padanya. Tapi masalahnya, ini jantung Tiffany mendadak berdebar lebih kencang. Padahal dia sudah makan banyak, dan menjauhi aliran listrik. Dia juga tidak minum obat sebelum makan.
Dan Tiffany masih berpikir, hal apa yang membuat jantungnya berdebar seperti ini?
-Love (not) Blind-
Sambil bersiul gembira Tiffany berakhir di dapur apartemen Bara. Karena dia bangun lebih dulu, saat tidur bersama dengan Bara. Tiffany memutuskan untuk belanja kebutuhan dapur Bara. Tentunya dia harus mengucek tabungannya, karena apartemen ini tidak memiliki bahan makanan apapun. Dan uang Tiffany habis untuk membeli banyak bahan makanan.
Dan malam ini Tiffany memasak tumis daging kecap dan juga sayur sop. Ini terbilang kesukaan Bara dulunya, jika sekarang entahlah Tiffany juga tidak tahu. Banyak perubahan dalam diri Bara yang dimana Tiffany saja merasa tidak mengenal pria itu. Tapi ya sudah, tidak masalah. Kisah ini hanya sementara, dan Tiffany juga tidak tahu akhirnya seperti apa.
Terlalu asyik memotong banyak sayuran, Tiffany sampai tak sadar jika Bara sudah berdiri di belakangnya. Pria itu tersenyum kecil, dan langsung memeluk wanita itu dari arah belakang.
Perlakuan Bara mampu membuat Tiffany tersingkat kaget. Untung saja pisau yang ada di tangannya, tidak sampai melukai tangan kirinya.
"Astaga Bara.., kaget tau." pekik Tiffany. Pria itu tidak menjawab, melainkan memeluk tubuh ringin Tiffany dengan erat. Sekolah tiada hari untuk esok. "Kamu kok udah bangun. Aku aja masaknya belum selesai." ujarnya.
Bara mengecup leher Tiffany beberapa kali dan berkata, "Guling aku nggak ada. Makanya aku bangun. Coba kalau gulingnya masih ada, bangun besok pagi juga nggak masalah."
Tiffany terkekeh kecil dan melanjutkan acara masaknya, sambil dipeluk oleh Bara. Wanita itu meminta Bara untuk melepas pelukannya. Tapi yang ada bulannya di lepas Bara malah mengeratkan pelukannya, dan mengikuti setiap pergerakan Tiffany.
"Bara.., lepasin dulu. Masih mau masak, kamu mau apartemen kamu meledak gara-gara aku?"
Tentu saja Bara tidak ingin. Tapi dia juga tidak ingin Tiffany meninggalkannya kembali. Walaupun itu hanya masak. Sela Bara masih berada di Ibukota, dia ingin menghabisi waktu bersama dengan Tiffany. Tanpa melakukan hal apapun juga tidak masalah, yang penting Bara sama Tiffany. Mengingat tujuh tahun terakhir ini Bara bahkan tidak mampu membuat wanita itu bahagia. Dia hanya mampu memberi luka batin saja untuk Tiffany.
"Bee, tinggal sama aku ya selama aku di Ibukota, mau?"
Aktivitas Tiffany berhenti, dia pun menatap Bara dengan tatapan lembutnya. Tinggal bersama dengan Bara sama saja mencari penyakit untuk Tiffany. Dia tidak mungkin meninggalkan Bapak Leon dengan sejuta alasan. Sejujurnya Tiffany juga mau, tapi Tiffany tidak bisa.
"Maaf ya Boo, tapi aku nggak bisa," tolak Tiffany secara halus. Dia pun mematikan kompornya dan menghampiri Bara. "Kita nggak bisa tinggal dalam satu rumah, kalau kita nggak ada ikatan apapun. Tapi, aku akan nemenin kamu selama kamu di sini. Kamu tenang aja, aku pasti ngurus kamu kok." ujarnya.
Bara menepis tangan Tiffany, "Kamu tau kan selalu tujuh tahun aku nggak bisa kasih kamu apa-apan. Aku nggak minta aneh-aneh kok, selain kamu tinggal disini bareng aku. Bukan masalah mengurus aku atau tidak. Aku cuma pengen ngabisin waktu aku selama disini sama kamu. Itu aja, nggak lebih."
Tiffany tahu, dia juga ingin tinggal bersama dengan Bara selama pria itu ada disini. Tapi Tiffany sadar jika hal itu tidak akan mungkin. Wanita itu tidak akan tinggal bersama dengan Bara, jika tidak memiliki ikatan apapun. Kecuali, jika Bara mau mengenalkan diri pada Leon, atau mungkin Bara mau mengenalkan Tiffany pada keluarganya, mungkin saja Tiffany bisa tinggal bersama dengan Bara.
Bara menggeleng, "Belum saatnya kamu kenal keluarga aku. Dan belum saatnya juga aku kenal keluarga kamu." katanya begitu tenang dan menggenggam tangan Tiffany. "Aku mohon sekali saja, kamu tinggal disini bareng aku." ujarnya dan membuat Tiffany diam.
-Love (not) Blind-