|| Chapter-12 ||

1100 Words
Tiffany tersenyum kecil dan mengambil kaktus yang ada di tangan Bara. Lalu menyimpannya di atas meja, dekat dengan jagung rebus. "Jadi ini yang ketiga kalinya kamu beli?" tanya Tiffany menatap Bara. Pria itu mengangguk dan menjewer telinganya, tanda jika dia merasa bersalah dan meminta maaf pada Tiffany. "Pengen ngamuk sih, tapi lihat wajah kamu yang melas nggak tega." ujarnya dengan bibir mengerucut. Bara tertawa kecil, "Yaudah jangan marah. Aku nggak tau apa yang terjadi. Aku sudah berusaha untuk membuat bunganya tetap hidup. Tapi tetap saja kaktus nya mati." jelas Bara kembali. Memangnya sejak kapan Bara menanam pohon bisa hidup? Tiffany bahkan masih ingat saat Bara mengajaknya menanam daun mint. Nyatanya bunga itu juga mati setelah dua hari. Beda lagi dengan Tiffany, apapun yang ditanam selalu saja hidup sampai berbuah. "Emang susah sih kalau merawat kaktus. Soalnya salah dikit aja pohonnya langsung mati." "Berarti kaktus nya yang salah, bukan aku." Tiffany terkekeh sejenak sebelum kembali melahap makanan yang ada di depannya. Tak lupa juga memberitahu Leon jika dia pulang terlambat. Tidak hanya itu Bara juga meminta Tiffany, untuk menjelaskan kaktus dulu pernah ditanam bersama dengan Bara. Dan nyatanya kaktus Tiffany tumbuh sehat dan besar. "Padahal itu kaktus udah kayak hubungan kita. Janji kita waktu aku harus pergi. Tapi aku nggak bisa jagain kaktus nya dengan baik." Tiffany tidak masalah, toh, sekarang Bara juga sudah memiliki kaktus lagi yang baru saja dibeli. Cuma bagian potnya masih sama seperti punya Tiffany. Ada inisial T dan juga B, masing-masing memiliki satu pohon kaktus. Wajar juga kalau kaktusnya mati. Toh, setahu Tiffany pria macam Bara pasti tidak bisa merawatnya dengan baik. Sedangkan kaktus memiliki rawatan yang cukup membuat pemiliknya pusing. Bara mengusulkan jika lebih baik mereka memelihara bonsai, sepertinya tidak begitu ribet seperti kaktus. "Kalau nggak bisa perhatian sama bonsainya ya mati. Apalagi kena tangan ajaib kamu itu, wasallam udah." Pria itu memajukan bibirnya kesal. Dia sudah mau menghasut Tiffany, dan mengajaknya untuk memelihara Bonsai. Tapi yang ada tetap saja mati adalah jawaban valid dari Tiffany. Akhirnya pria itu menarik Tiffany masuk ke dalam pelukannya. Mengusap lembut puncak kepalanya dan mengecup keningnya. Sesayang ini loh Bara sama Tiffany, sampai-sampai Bara tidak ingin merusak Tiffany sedikitpun. Selama pacaran dulu dan masih sering bertemu, Bara paling anti jika harus mencium bibir Tiffany. Paling dia akan mencium kening, kedua pipi Tiffany, janggut, hidung. Dan yang lebih parahnya, Bara akan mencium leher Tiffany. Hanya mencium tidak meninggalkan jejak apapun. Karena Bara benar-benar menjaga dan menghargai Tiffany selama ini. Jika dia ingin, Bara pasti menyewa w**************n untuk memuaskan nafsunya. Atau pacar settingannya selama ini. Karena udara bukit yang dingin membuat jagung rebus yang dibuat Bara pun menjadi dingin. Dia melepas pelukan itu dan meminta Tiffany buru-buru menghabiskan jagung rebusnya. "Ini kalau ada kopi enak kali ya. Persiapan mu kurang matang." wanita itu sejak tadi memang mencari kafein yang selama ini membantu dirinya untuk berhalusinasi. Sedangkan Bara malah tidak menyiapkan kafein s**u untuk Tiffany di hawa yang dingin ini. "Setau aku, kamu nggak suka kafein deh. Makan bakso sama aku aja minumnya teh dingin gula dikit. Lah, ini kenapa malah cari kafein sih?" kata Bara aneh. Tiffany terkekeh. Dia lupa memberitahu Bara jika saat ini Tiffany memiliki kesibukan yang menghasilkan banyak uang. Dia sekarang sudah menjadi penulis platform online yang ada, dengan gaji dollar. Itu sebabnya Tiffany sekarang menyukai kafein s**u. Berkat kafein itu, halu Tiffany jadi lancar tanpa gangguan. Dan jika wanita itu merasa pusing, maka Tiffany akan meminum kafein s**u untuk mengusir rasa pusingnya. "Kalau nggak ya makan seblak." ucap Tiffany. Bara manggut-manggut, "Tapi jangan sampai kecanduan ya. Boleh minum, asal jangan sering. Nanti kena lambung." "Aduh.., perhatiannya pacar orang." kekeh Tiffany, sambil menikmati jagung rebusnya. "Nanti kalau di ambil orang beneran nangis!!" pria itu menaik turunkan alisnya. Dan membuat Tiffany langsung menatapnya. Bukannya selama Bara tidak ada di samping Tiffany, pria itu sudah pernah dimiliki wanita lain selain Tiffany? Lalu untuk apa Tiffany harus menangis kembali? Jika dulu, awalan Tiffany mendengar hal itu dia pasti akan menangis meratapi nasibnya. Tapi sekarang tidak, Tiffany sudah terbiasa dengan sifat dan berita Bara selama ini. "Nggak lah!! Aku nggak akan nangis kayak dulu lagi. Soalnya, aku udah belajar dari kamu. Caranya mengikhlaskan tanpa melibatkan perasaan." Bara tertegun dengan ucapan Tiffany, sampai dia pun menatap wanita itu penuh arti. "Maksudnya?" "Bara, ada saatnya dimana aku harus beristirahat sejenak dalam hubungan asmara. Mungkin saat ini aku sedang berjuang, memperjuangkan apa yang seharusnya menjadi milikku. Tapi aku juga membutuhkan waktu mengistirahatkan hatiku, karena masalah cinta." **** "Bara fokus!!" Jason berteriak kencang saat mendengar not balok yang Bara ketuk salah. Bara sampai mengerjapkan kedua bola matanya, saat sadar dengan teriakan Jason. Bisa dilihat semua anak langsung menatap Bara yang menghela nafasnya berat. "Quarter Note bukan Eight Not. Lo mikirin apa sih?" Bara menggeleng dia sendiri juga tidak tahu apa yang menjadi beban pikirannya. Tapi setelah bertemu dengan Tiffany, dan mendengar ucapan wanita itu. Bara memang sedikit terpengaruh dengan ucapannya. Dia bahkan berpikir jika Tiffany akan mengakhiri hubungan mereka suatu saat nanti. "Gue laper, istirahat dulu bisa?" "Yaudah kita istirahat dulu." Bara melempar stik drum nya ke sembarang arah. Peduli setan jika stik itu akan patah atau rusak, nyatanya dia benar-benar tidak peduli dengan hal itu. Duduk di sofa single dan menikmati sekaleng bir. Arkana pun duduk di samping Bara dan mengambil cemilan yang ada. Masih untung Jason yang memiliki sifat nyebelin itu, selalu menyiapkan segala makanan saat mereka latihan. Sejujurnya dia itu baik, cuman, Bara tidak suka dengan aturan pria stres itu. "Kenapa sih lo? Tumben banget nggak fokus. Nggak ada yang muasin? Negara lo ini." ucapnya. Bara menggeleng, "Gue laper aja." Mendengar kata laper Elang hanya mampu tersenyum kecil. Itu adalah sebuah kode jika Bara sedang dalam mood buruk. Sambil menikmati cemilan dan juga makanan yang lain. Bara masih sempat-sempatnya mengirim pesan pada Tiffany untuk menemuinya nanti di apartemen. Jika dulu dia membawa Tiffany ke villa, sekarang tidak lagi. Lagian kekasihnya itu takut, dan mengira Bara adalah pengikut sehat. Karena pria itu lebih suka warna gelap dibanding warna terang. Berbeda jauh dengan Tiffany, yang menyukai warna merah dan juga kuning. Tapi sayangnya, baju yang dibelikan Bara dulu dan katanya oleh-oleh untuk Tiffany. Semuanya berwarna hitam, hanya ada satu warna putih dan itu pun kaos polos tanpa corak. Ngeselin nggak sih!! "Semenjak pulang, dia kayaknya banyak galau terus mendadak happy sendiri. Buktinya habis bilang laper langsung senyum nggak jelas. Gue heran deh Bar, gue takutnya lo lagi menjelang gila." sahut Gavin. Bara meliriknya sejenak. "Ayo latihan lagi." ajaknya dan bangkit dari duduknya. Mencari stik drumnya dan tersenyum lebar. Tentu saja hal itu membuat Gavin dan Arkana heran. Tapi tidak untuk Elang. To Be Continued
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD