Tiffany menundukkan kepalanya saat Leon menatapnya begitu mengerikan. Pria itu mendapat informasi dari satpamnya, jika Tiffany semalam pulang larut malam. Dan melewati pintu samping. Dan lebih parahnya lagi, Tiffany pulang bersama dengan mobil mewah berwarna hitam. Dan lebih parahnya lagi satpam itu tidak tahu nomor plat mobil itu berapa.
Semalam, karena terlalu asyik bersama dengan Bara. Tiffany sampai lupa jika hari sudah mulai gelap, bahkan bisa dibilang larut malam. Bara memulangkan Tiffany tepat jam dua dini hari. Dan anehnya, bagaimana bisa Leon tahu jika Tiffany baru saja pulang. Padahal wanita itu masuk ke dalam rumahnya, lewat pintu belakang. Dan Tiffany juga yakin kalau pintu belakang tidak ada CCTV, seperti pintu depan.
"Lagian kamu jam segitu baru pulang. Kamu kemana aja? Pergi sama siapa? Nggak biasanya loh, kampus kamu kan pulang jam empat sore." ucap Leon.
"Tapi kemarin dosennya terlambat, pulang jam lima sore." jelas Tiffany ragu.
Kalau dosennya terlambat, dan pulang jam lima sore. Terus selama empat belas jam Tiffany kemana saja? Tidak mungkin juga kan wanita itu tidur di kampusnya, dan pulang dini hari? Belum lagi satpam rumah bilang, jika Tiffany pulang tidak sendirian. Dia diantar dengan mobil mewah berwarna hitam. Entah mobil siapa, tapi Leon yakin jika itu bukanlah mobil Jessica.
Tiffany membuka bibirnya ingin berkata. Tapi notif ponselnya membuat Tiffany tersenyum. Siapa lagi jika bukan Bara. Dia menginginkan Tiffany datang ke apartemennya, entah apartemen yang mana lagi Tiffany juga tidak tahu. Jika beberapa hari yang lalu Tiffany datang ke villa hitam, dan mengatakan pada Bara jika dia takut disana saat malam hari. Sekarang Bara malah meminta Tiffany untuk pergi ke apartemennya
"Papa…," panggil Tiffany dengan suara lucunya. Leon hanya menatapnya, tanpa mau mengeluarkan suaranya. "Pengen seblak." ujarnya.
Helaan nafas berat keluar dari bibir Leon. Pria tua itu memilih duduk di samping Tiffany yang melirik Leon dengan ekor matanya. Anak perempuannya memang sudah dewasa, tapi bagi Leon dia tetaplah putri kecilnya yang selalu ingin dia jaga. Tiffany belum cukup umur jika harus bergaul dengan temannya yang tahu dunia luar. Sedangkan wanita itu, terlalu polos dan lugu untuk dunia malam.
"Papa.., maaf..," rengek Tiffany.
Leon yang tak tahan pun langsung mengangguk. Dan meminta Tiffany untuk tidak mengulanginya lagi. Dia bisa bilang pada Leon atau pada asisten rumah tangga ini, jika Tiffany menginginkan sesuatu. Tidak perlu pergi sendiri sampai pulang tengah malam. Mungkin bagi yang lain biasa karena anak muda. Tapi bagi Leon, ini buka lah hal baik. Tiffany tipe orang yang suka sekali di rumah, jarang keluar jika bukan dengan Jessica. Dan kemarin saat Leon menelpon Jessica, nyatanya wanita itu sama sekali tidak bersama dengan Tiffany.
"Kamu boleh pergi. Kamu boleh main, Papa nggak pernah melarang kamu untuk pergi. Tapi kamu bisa kan bilang sama Papa, kemana kamu pergi dan dengan siapa kamu pergi?" ucap Leon mengusap pipi Tiffany.
Wanita itu ingin. Ingin sekali berkata jika dia pergi bersama dengan kekasihnya, yang bernama Bara. Kekasihnya yang tujuh tahun ini menemaninya. Ingin sekali Tiffany berkata seperti itu. Tapi sayangnya, Tiffany tidak bisa. Dis tidak bisa mengatakan hal itu pada Leon. Dan pada akhirnya wanita itu hanya mampu mengangguk kepalanya, dan memohon maaf dalam hati. Jika dia tidak bisa berkata jujur tentang pria yang dia sembunyikan selama tujuh tahun ini. Suatu saat nanti Tiffany akan memberitahu Leon tentang siapa Bara.
"Yaudah pergi sana beli seblak. Jangan lama-lama, kalau pengen pergi lagi kabarin Papa."
Tiffany tersenyum gembira, dia bahkan seperti anak kecil yang bahagia saat kedua orang tuanya membelinya mainan. Dengan cepat dan tidak mau Bara menunggu lama. Tiffany segera mengganti bajunya, dan juga mempersiapkan dirinya untuk bertemu dengan Bara.
Melihat kebahagian Tiffany, Leon tak berdaya dan meminta beberapa orang yang selalu menjaga Tiffany dari kejauhan. Untuk tidak lagi mengikuti Tiffany, mungkin ini sudah saatnya Leon tahu pria mana yang mampu merenggut hati putri kecilnya. Yang nantinya akan menggantikan sosok Leon yang selalu menjaganya. Siapapun dia Leon akan menerimanya, asalkan mampu membuat Tiffany bahagia.
"Pah..,Tiffany berangkat ya…, d**a Papah." pamit Tiffany dan mengecup pipi Leon, barulah dia pergi.
****
Menatap gedung di depannya Tiffany sedikit ragu. Ini benar atau tidak, sedangkan di satpam di depan gedung juga seolah tengah menatap Tiffany dengan menilai. Kalau masalah beli gedung ini ya tentu saja Tiffany tidak mampu. Dia bukanlah orang kaya pada umumnya, yang memiliki banyak rumah, perusahaan dan properti lainnya. Dia hanyalah manusia biasa, dengan ekonomi yang tidak begitu besar. Leon bekerja di salah satu perusahaan properti bagian manager. Jadi tidak mungkin jika Tiffany mampu membeli gedung ini.
"Nona Tiffany?" itu bukan sebuah panggilan. Melainkan sebuah pertanyaan, yang dimana menyakinkan jika wanita itu adalah Tiffany.
"Ya, saya Tiffany. Ada apa ya." bukannya apa, Tiffany juga merasa takut jika hari berhadapan dengan dua orang bertubuh kekar ini. Kalau lagi atau apa juga bakalan kalah. Kakinya yang panjang saja, sekali melangkah mampu menangkap Tiffany. Otot lengannya membuat Tiffany merinding. "Kalian siapa?" ujarnya kembali.
Salah satu diantara mereka mendengar, dan membisikkan sesuatu pada Tiffany. Dan membuat Tiffany langsung menganggukkan kepalanya kecil. Walaupun takut dibohongi tapi kalau masuk ke gedung ini, Tiffany bisa berteriak kan? Dan tidak mungkin gedung setinggi ini tidak ada penghuninya.
Dengan rasa takut yang luar biasa, Tiffany pun masuk ke lift. Dia berdiri di paling pojok lift dan dibalik punggung lebar dua orang ini. Ini memang tempat paling sulit bagi Tiffany untuk kabur. Tapi karena pria itu mencantumkan nama Bara, membuat Tiffany berpikir dua kali jika dia tidak mengikuti pria itu.
Angka menunjukkan lantai dua puluh lima. Dimana pintu lift inipun terbuka. Dan kali ini dua orang itu meminta Tiffany untuk jalan lebih dulu. Mungkin karena mereka tahu jika Tiffany orangnya penakut, makanya Tiffany y diminta untuk jalan lebih dulu.
"Nona, kamar nomor 2520." ucapnya.
Alis Tiffany mengernyit dia bahkan sampai menghentikan langkahnya. Lalu menoleh ke belakang dan menatap dua pria itu dengan heran.
"Kalian nggak lagi jual aku kan? Mengatasnamakan Bara Cavero?" tuduh Tiffany, menatap dua orang itu dengan tajam.
Dia pria itu saling pandang, lalu menggeleng. Mana mungkin dia berani menjual Tiffany. Yang ada bukannya hidup, kepala dan leher dua pria itu akan terpecah belah.
"Yakin?" kata Tiffany menyakinkan. Hingga membuat dua pria itu mengangguk.
Tiffany mencoba mempercayainya. Jika sampai dua orang itu berbohong, dan mengatasnamakan Bara, jangan salahkan Tiffany kalau dua orang itu akan masuk ke dalam masalah besar. Lagian dia itu main-main sama Tiffany, yang notabet kekasih Bara Cavero. Kekasih yang tak pernah di publish sama sekali sama kekasihnya.
Berhenti di depan pintu dengan angka 2520, Tiffany menatap angka itu dengan heran. Dua puluh adalah angka lahirnya, dan mungkin angka dua lima adalah angka lantai ini. Wanita itu menatap gagang pintu apartemen ini, yang memiliki pintu smart lock. Sidik jari, atau mungkin angka yang harus dimasukkan. Tangannya terulur untuk menekan enam digit angka di smart lock. Tidak mungkin dia menggunakan sidik jari atau mungkin card unlocking. Dan pintu itu pun terbuka lebar.
"Loh.., eh.., kok bisa!!" pekiknya kaget.
To Be Continued