|| Chapter-10 ||

1071 Words
Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Dimana waktunya Tiffany harus segera pulang. Tidak hanya Leon yang terus saja menelponnya tapi juga dengan Jessica. Mereka saling bersahutan satu sama lain untuk menelpon Tiffany. Bara yang melihat Tiffany beberes pun mendesah kecewa. Dia tidak ingin wanitanya pulang begitu saja. Kalau bisa Bara malah menginginkan Tiffany untuk menginap di rumahnya hanya semalam saja. "Besok kamu langsung dapat berita duka dari aku." dengus Tiffany. Bagaimana bisa Bara berbicara seperti itu, tanpa memikirkan hidup Tiffany kali ini. "Bapak Leon nggak sejahat itu kali, Bee." Bee adalah panggilan sayang Bara untuk Tiffany. Karena menurut Bara, wanita itu terlihat sangat manis seperti madu saat tersenyum. Itu sebabnya dia memanggil Tiffany dengan sebutan Bee. Sedangkan Tiffany sendiri sejak dulu suka memanggil Bara dengan sebutan Baboo. Kalau sekarang, entahlah dia masih mau memanggil Bara dengan sebutan itu atau tidak. "Ya tapi nanti Bapak Leon nyariin, anak perempuannya nggak pulang. Padahal udah malem." Bara mengalah dan membiarkan Tiffany untuk pulang. Tapi baru juga sampai di depan rumah kaca ini, Tiffany kembali masuk dan menemui Bara kembali. "Kenapa balik lagi Bee?" tanya Bara heran. Mata Tiffany mengerjap beberapa kali, "Itu aku pulang naik apaan? Kan nggak ada taksi. Dan taksi juga nggak mungkin mau masuk hutan sini. Dipikir Mbak Kunti nanti yang pesen." Bara terkikik kecil, meraih kunci mobilnya dan menarik tangan Tiffany dengan lembut. "Yaudah aku anterin pulang Bee." Tiffany langsung bersorak gembira dan langsung masuk ke dalam mobil Bara. Lagian kapan lagi sih bisa pulang bareng Bara kayak gini. Wanita itu jadi ingat, saat Bara dan juga Tiffany berkencan untuk pertama kalinya. Dulu Bara tidak membawa mobil mewah seperti ini. Dia hanya mengenakan motor bebek, atau tidak motor moge yang besar dan Tiffany tidak akan bisa naik maupun turun. Duduk anteng di samping Bara, Tiffany sempat lupa untuk bertanya rumah siapakah tadi yang berada di tengah hutan. Apalagi rumah ini berwarna gelap, dimana dindingnya yang terbuat dari kaca membuat Tiffany merinding seketika. Bagaimana tidak merinding, jika dari dalam saja Tiffany bisa melihat beyapa gelapnya hutan itu, dan hanya ada lampu kuning di sepanjang jalan gelap. Hanya itu saja tidak lebih. Itu kalau ada dedemit lewat juga bakalan kelihatan banget. Belum lagi itu kaca warna putih, dan gorden juga tidak semua tertutup. Maling bisa masuk kapanpun dengan cara memecahkan kaca itu. Dan mengambil banyak barang, pulang-pulang udah jadi milyader. Bara cekikikan, "Itu kaca tebal kali Bee. Maling nggak mungkin bisa masuk." "Siapa tau aja kan, ada maling masuk ke rumah itu. Lagian yang bangun juga aneh, bangun rumah kok di tengah hutan." Bara tertawa kecil, dia pun menjelaskan jika rumah itu adalah milik Bara. Dulu dia membangunkannya karena, ayahnya ada proyek villa yang akan di bangun di depan villa milik Bara. Karena dia ingin satu Villa dengan nuansa hitam seperti apa yang Bara inginkan. Membutuhkan waktu dua tahun untuk membangun villanya. Belum lagi interiornya kudu khusus dipesan oleh Bara. Karena jika salah pun, Bara bisa saja membakar villa itu dalam hitungan jam. Dulu Bara berpikir jika kunci villa itu ketinggalan di rumahnya. Karena yang satu dia berikan pada salah satu pegawai rumahnya. Untuk setiap hari membersihkan villanya. Jika suatu saat nanti Bara pulang, dia ingin tidur di Villa miliknya. Dan nyatanya kuncinya malah terbawa Bara sampai di negara tetangga. "Penggila warna hitam ya begitu, temannya setan." ucap Tiffany. Bukannya marah, Bara malah mengangkat tangannya dan mengacak rambut Tiffany hingga berantakan, sambil menghentikan mobilnya. "Sudah sampai. Masih mau ngambek Bee?" kata Bara. Tiffany menoleh dan menepis tangan Bara. "Nggak mau mampir ketemu Papa dulu?" Bara diam sejenak menatap Tiffany dan juga rumah ini dengan bergantian. Lalu menggelengkan kepalanya cepat, ini bukan saatnya dan bukan waktunya, untuk berkenalan dengan Leon. Menyadari hanya mendapatkan penolakan dari Bara. Tiffany tersenyum kecewa, padahal hubungan mereka sudah berlangsung selama tujuh tahun. Tapi tak sekalipun Bara mau menemui Leon. Begitu juga dengan Bara, yang tak memperkenalkan Tiffany pada kekuarga atau bahkan teman Bara. Tiffany tidak masalah akan hal itu, dia maklum karena Bara sebagai tokoh publik. Tapi mau berapa lama lagi gitu loh, Bara sanggup menyembunyikan hubungan ini. Kalaupun Bara di luar negeri, itu tidak masalah. Mereka tidak akan bertemu, jarang mengirim pesan pula. Tapi sekarang prianitu sudah kembali, dan mungkin untuk pergi ke kampus saja Tiffany tidak memiliki waktu. "Aku turun dulu Boo. Kamu cepet pulang, istirahat oke." "Iya Bee. Kamu juga." Bara menarik tengkuk leher Tiffany dan mengecup kening, pipi kiri dan kanan, lalu pindah ke hidung dan janggut. Setelah itu memeluk Tiffany sebentar, sebelum wanita itu benar-benar turun dari mobilnya. Melambaikan tangan pada Bara, dan membuat pria itu langsung meninggalkan Tiffany di depan rumahnya. Bara segera kembali ke dorm. Tidak mungkin dia kembali ke Villa yang jelas akan memakan banyak waktu. Jason akan datang jam sebelas malam, untuk melihat siapa yang belum ada di dorm. Jangan sampai dia itu ngomel terus hanya karena Bara tidak ada di dorm. Menginjak pedal gas mobilnya, hanya membutuhkan waktu sepuluh menit Bara pun sampai di dorm. Dia pun segera mengganti bajunya dengan baju santai. Lalu duduk santai di samping Gavin yang sibuk bermain games. Tentang Games. Bara jadi ingat sore tadi, saat bersama dengan Tiffany. Bara mengajari wanita itu untuk bermain games. Agar nanti ketika Bara gabut atau bosan, dia bisa bermain games bersama dengan Tiffany. Tapi tetap saja Bara harus ekstra sabar menghadapi wanita spesies Tiffany. "Lo dari mana jam segini baru pulang? Lo kan tau Jason mau datang." kata Gavin melirik Bara sejenak. "Pergi bentar gue ke rumah Emak." Gavin tahu jika ini adalah kota kelahiran Bara. Tapi dia tidak yakin kika Bara pulang ke rumah emaknya. Jika tadi saja emaknya datang ke dorm hanya ingin bertemu dengan Bara. "Yakin lo?" kata Gavin memastikan. "Yakin lah, kenapa emang?" "Pasalnya, siang tadi Emak lo kesini, dan nyariin lo. Sekarang lo bilang kalau lo habis dari rumah emak lo? Sebenarnya Emak lo ada berapa sih, Bar?" Mendengar hal itu Bara tertawa kecil. Jelas saja Emaknya cuma ada satu. Tapi kan ini beda cerita, Emak yang dimaksud Bara kan Emak yang nantinya akan menjadi Emak dari anak-anak nya. "Kemal…," cibir Bara. "Kemal?" beo Gavin dan menatap Bara bingung. "Bukannya urusan lo sama Kemal udah selesai ya?" "Maksud gue, kemal itu kepo maksimal." jelas Bara geregetan sendiri kalau musuh Gavin. "Siapa yang kepo maksimal?" Astaga naga, Bara hanya mampu mengusap dadanya perlahan dan menatap Gavin dengan serius. "Lo yang kemal. Kepo maksimal!!" serunya dan berlalu meninggalkan Gavin dengan sejuta pemikirannya. Anak itu harus dikasih asupan umpatan buat mentalnya kuat. To Be Continued
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD