bc

Unstable Ambition

book_age16+
295
FOLLOW
1K
READ
friends to lovers
goodgirl
powerful
student
drama
comedy
sweet
ambitious
highschool
school
like
intro-logo
Blurb

Usia 17 tahun bisa dikatakan adalah usia yang menyenangkan. Memiliki banyak tenaga, waktu dan yang pasti ambisi. Andara Puspita kini sedang di usia ini, usia 17 tahun. Usia di mana ia memiliki banyak motivasi dan ambisi untuk menjadi yang terbaik, menjadi orang baik yang disayang orang banyak, dan menjadi pusat perhatian banyak orang.

Ambisi menjadi pemimpin adalah harapan Andara, namun semua itu gagal di langkah pertama pada hari pertama ia kelas 11. Ia gagal menjadi ketua kelas karena kalah dalam penghitungan suara. Romeo Cakra yang menjadi ketua kelas kala itu mendadak jadi orang yang paling dibenci Andara. Karena prinsipnya bagi siapapun yang menghalangi langkahnya, itu adalah musuhnya. Apalagi

Kini hari-hari Andara diisi oleh ambisi dan rasa benci pada teman sekelasnya, Romeo, yang juga sekaligus manusia paling rese sedunia.

Lalu bagaimana kelanjutan kisah masa muda Andara? Akankah ia harus memenuhi ambisinya untuk jadi pemimpin? Atau membenci Romeo seumur hidup?

chap-preview
Free preview
Andara: Kutukan Baru
Hari ini hari Senin, hari pertama masuk sebagai kelas 11. Setelah liburan selama hampir sebulan. Kelas pagi ini ramai, mereka temu kangen dengan teman-teman gengnya. Ohya, kelas kami, yang sekarang menjadi kelas XI IPA 3 tidak dipecah ataupun diacak ulang. SMA BHAKTI PRAJA memang tidak pernah memecah murid setahun sekali. Jadi, selama tiga tahun, gue akan bertemu wajah-wajah mereka. Gue di kelas nggak terlalu suka banyak omong, tapi juga nggak terlalu penutup. Gue biasa-biasa aja. Tapi nggak seperti Maura yang cerewet dan nggak seperti Keke yang terlalu penutup. Gue Andara Puspita, salah satu murid yang cukup dikenal oleh warga sekolah. Mayoritas guru mengenal gue, sebagai siswa yang pintar dibidang akademik maupun non akademik. Pak Ade, selaku guru Bimbingan Konseling pun juga geleng-geleng melihat tak ada satupun poin pelanggaran yang gue dapatkan. Ya! Gue salah satu siswa teladan dan banggaan sekolah ini. Sombongnya sih gitu. “Yo, lo liat adik-adik kelas nggak. Wuiih, mantap-mantap!” terdengar percakapan riuh di bagian sudut belakang. Itu kawasan milik laki-laki. Terlihat beberapa teman cowok di kelas gue sedang berbicara yang seperti mereka biasa bicarakan. Ya, hal-hal yang menjijikkan. Kalian tahu sendiri lah gimana bahasannya. Di sana, terdapat Haikal, cowok yang mengucapkan kalimat tadi. Dia sejak masuk tadi, masih sibuk membicarakan siswi kelas sepuluh yang baru masuk pertama hari ini. Teman-temannya, seperti Rohman, Fauzan, dan Romeo menyimak dengan takzim di depannya. Sesekali menimpali dengan kalimat yang jorok juga. Rohman, cowok di kelas gue yang memiliki paras cukup tampan, tapi tidak ada manusia yang sempurna, Rohman bagi gue cowok yang aneh. Dia memiliki hobby yang bagi gue baru kali ini dimiliki, yaitu selalu makam nugget dicelupkan kopi. Fauzan, tidak terlalu menarik sih. Dia seperti anak bawang di kelompok mereka. Dia hanya murid cowok di kelas seperti biasa. Tapi ini, Romeo. Panjangnya Romeo Cakra Adiwara. Sepertinya sah-sah saja jika laki-laki berbicara dan bercanda soal cewek yang ehem-ehem dan melakukan hal yang nakal. Tapi, sebagai ketua kelas, kelakuannya sama sekali tidak bisa mencerminkan jiwa pemimpin. Gue benci dia! Banget! Sejak kelas 10, dia tidak pernah amanah dalam menjalankan tugasnya sebagai ketua kelas. Dia tidak tertib mengumpulkan buku, dan tidak bisa berperilaku yang baik. Gue juga benci ketika guru sedang berhalangan masuk, gue diperintah-perintah suruh menulis soal di papan tulis, beserta jawabannya. Gue benci apapun yang berhubungan dengan dia. Semoga nanti setelah reorganisasi kelas akan melengserkan dia dari jabatannya. Dan gue harap, gue yang akan menjadi ketua kelas tahun ini. Terlihat dari ke-famous-an gue, dan kepintaran gue yang lebih tinggi dari dia. Toh, dalam segi sikap dan perilaku, gue lebih memiliki jiwa kepemimpinan. Jadi memang gue layak untuk maju kan. “Selamat pagi, anak-anak!” Terlihat, perempuan masuk ke dalam kelas. Itu Bu Indah, Guru Bahasa Inggris yang katanya akan menjadi wali kelas kami, menggantikan Pak Oktawan yang dimutasi. Ketika Bu Indah masuk, semua siswa berhamburan menuju bangku masing-masing. Gue yang sejak tadi duduk di bangku, hanya menata duduk lebih tegak. Biasanya hari pertama masuk selalu diisi oleh wali kelas masing-masing kelas. Mereka masuk untuk memberikan informasi-informasi seputar satu semester ke depan dan biasanya ada reorganisasi, hal yang gue tunggu-tunggu sejak penerimaan hasil ulangan semester satu bulan yang lalu. “Oke, seperti biasa. Akan dilakukannya reorganisasi. Saya minta sebutkan lima kandidat kemudian saya tulis di papan tulis, selanjutnya voting.” Bu Indah sudah berdiri di samping papan tulis, membawa spidol hitam yang aromanya sudah menyerbak. Gue tersenyum. Ini waktunya. Ketika Bu Indah mengatakan hal itu, kelas mendadak heboh. Banyak nama yang disebutkan asal-asalan. Apalagi kubu cewek yang cempreng. Tapi tidak masalah, nama gue terdengar paling keras sehingga Bu Indah mendengarnya. Tertulis nama gue di nomor satu. Gue memang bisa diandalkan. “Bimo! Bimo!” Nama kedua disebutkan. Gue menoleh ke arah Bimo. Ya, Bimo memang bukan orang yang bisa diremehkan, nilai akademik praktik Penjasorkes memang bagus, ditambah badannya yang bagus dan kulitnya yang coklat. Membuat cewek jatuh cinta pada dia. “Vionaa!!” Nama selanjutnya, cewek berotak encer disebutkan oleh mayoritas suara laki-laki. Viona adalah pacar Bimo dan Viona adalah juara kelas di sini. Dia berhati sabar, karena mau mengajari siapapun tanpa jengkel karena melunjaknya. Sepertinya selain kepintaran, Viona juga jadi rival gue di pemilihan ketua kelas. Terdapat 4 kandidat yang harus dipilih. Sudah terisi tiga dan masih kosong satu. Gue penasaran, siapa saingan gue berikutnya. Gue harap sih bukan Romeo. Tapi, kayaknya teman-teman gue udah kapok memilih dia. Siapa sih yang mau dipimpin sama orang yang malas dan tidak punya integritas. “Baik, masih satu lagi siapa?” Bu Indah bersuara. Setelah itu, dengan teriakan super duper lantang, terdengar suara. “ROMEO CAKRAA!!!” Gue menoleh ke arah suara, tepatnya berada di samping gue. Teman sebangku gue, Elisa. Gue menatap Elisa, dan menautkan alis mengapa dia menyebutkan nama orang yang gue benci. Tatapan sinis gue tidak membuat Elisa takut, ia hanya nyengir. Sedang Bu Indah malah menulis nama Romeo di kandidat nomor empat. Tapi, siapa peduli, Romeo mungkin hanya pemanis untuk tambahan daftar kandidat. Gue tetaplah menjadi nomor satu, gue tetap dipilih dengan suara terbanyak. Tunggu saja. Penghitungan suara tiba, seluruh siswa dipersilahkan menulis nama kandidat di secarik kertas kemudian dikumpulkan. Selama penghitungan, ada hal yang membuat gue deg-degan. Hasil suara gue kejar-kejaran sama Romeo. Gue nggak mau dia jadi ketua kelas lagi. NGGAK MAU!! “Setelah melihat perhitungan suara, Romeo Cakra resmi menjadi ketua kelas kalian. Selamat Romeo, semoga bisa menjalankan tugas dengan baik.” Gue menutup wajah, tidak terima dengan kenyataan yang terjadi di depan gue. Ini tidak mungkin! Ini mimpi buruk, kenapa harus Romeo?! Dan kalian tahu kenyataan buruk lain selain dia jadi ketua kelas? Ya! Gue jadi wakil ketua kelas. Tuhan!! Mengapa harus seperti ini???? ●●● “Eliisaaa... gue pengen mati aja.Gue nggak mau ya kalau harus dekat-dekat sama Romeo terus.” Gue pagi ini merengek di kantin. Bersama Elisa teman sebangku gue yang membuat satu kenyataan buruk gue. Ya! Kalau bukan gara-gara dia, Romeo enggak bakal jadi kandidat, dan dia juga enggak bakal jadi ketua kelas. Harusnya itu gue! Gue yang harusnya jadi ketua kelas. Ah gue jadi males sekolah. “Ih, Romeo kan nggak seburuk itu, kenapa harus dibenci banget sih,” Elisa datang dari arah dapur kantin, membawa dua mangkok bakso pangsit. Elisa ini teman gue, bagaimanapun, dia tetap baik. Tapi tetep aja nyebelin. “Gue bukannya benci, cuma gue nggak sreg sama tingkahnya tuh. Mau jadi apa kelas dipimpin sama dia.” Gue mengeluarkan pendapat gue, memang kenyataannya begitu. Mau menyakitkan apapun itu kenyataan memang harus diterima. Andai saja saat ini Romeo mendengar gue. Kantin pagi ini tidak terlalu ramai, hanya beberapa siswa yang datang ke sini. Apalagi siswa kelas sepuluh masih enggan jajan karena adanya kakak kelas. Jadi gue leluasa merengek di depan Elisa soal pemilihan ketua kelas. Tapi ketika mangkok sudah ada di depan mata, gue melahap bakso itu dengan lahap. Kesedihan ini membuat gue lapar, ditambah gue nggak sarapan pagi tadi. “Lagian, lo ngapain sih And, pengen banget jadi ketua kelas? Jadi ketua kelas kan capek disuruh-suruh terus.” Ucapan Elisa membuat gue berhenti makan dan menatap dia. Oke, Elisa bilang gitu karena dia tidak mengerti rasanya sensasi jadi pemimpin. Yang dia tahu hanya yang penting enak. Yang penting selesai. Gue diam, tidak menimpali sedikit pun perkataannya. Lebih baik makan bakso kesayangan. Elisa juga tidak mengatakan apa-apa setelah gue memilih diam, dia memang orang yang fleksibel, itulah yang membuat dia tetap jadi teman baik gue. Kini hanya terdengar suara riuh dari meja sekitar kami, membicarakan hal yang tak penting. Gue memakan bakso dengan lahap, biasanya obat gue sebel, gondok, dan patah hati adalah makan, ya apapun makanan, asal itu enak. “Assalamualaikum partner!” tanpa permisi, tanpa adanya hujan, gerimis bakan tanpa adanya pelangi, pokoknya tiba-tiba ada seseorang yang merangkul gue. Tanpa sopan santun, cowok lagi. Gue menoleh, dan lo tahu siapa cowok kurang ajar itu? Ya! Dia Romeo Cakra! Dia adalah orang yang gue benci yang gue bahas sejak tadi. Dan, tunggu? Apa dia bilang? Partner? Sejak kapan gue dan dia tergabung dalam satu jaringan? Satu komplotan? Dikata gue mafia apa. Gue membuang tangan najis milik dia, mungkin setelah ini gue akan membasuh tubuh gue dengan kembang tujuh rupa selama tujuh hari tujuh malam. “Lo apa-apaan sih?!” Romeo masih tersenyum ke gue, dengan wajah sok gantengnya, gue benci wajah itu. “Kalau ada orang salam itu dijawab ya.” “Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.” jawab gue lengkap, namun dengan ekspresi datar. Kalau bukan salam itu wajib nggak akan gue sahutin dia. “Hai, Elisa,” kini dia menyapa Elisa yang berada di depan gue. “Hai juga, Yo.” jawab Elisa ramah. Elisa nggak support banget sih, malah welcome banget sama Romeo. “Lo ngapain sih di sini.” tambah gue ketus. Sebel juga lihat mukanya yang sejak tadi senyum-senyum. Seakan mengejek gue yang menerima kesialan tau nggak. “Memangnya nggak boleh menyapa partner baru gue?” Stop. Partner? Gue kini mengingatnya, hal buruk itu! Ya, dia kan ketua kelas, dan gue wakil ketua kelas. Rasanya ingin hilang ingatan saja deh. “Akhirnya, satu kelas peka juga. Setelah satu tahun gue bersama Agus yang tidak bisa diandalkan, kini gue malah mendapatkan wakil baru. Cewek pinter, dan cantik kayak lo. Ckckckck, mimpi apa gue semalem.” Romeo berkicau, gue sibuk makan bakso. Membiarkan dia berbicara sendiri. “And?” Gue berdehem, masih mengunyah bulatan bakso terakhir. Mengabaikan Romeo yang ada di samping gue. “Lo kok nggak dengerin gue sih?” Dengerin lo? Yakali, memangnya penting. Gue pun bangkit dari bangku, mengajak Elisa yang sejak tadi diam di depan gue. Sialan banget sih Elisa, sok-sokan sibuk makan bakso sambil senyum-senyum. Seakan meledek gue yang lagi diganggu. Kami melenggang cukup jauh. “Hey! Anda! Lo kok ninggalin gue sih?” Bodo amat. Nama gue bukan Anda! “Andaaaa…” dia mengejar gue, gue semakin melangkah lebih cepat, menarik tangan Elisa yang mulai merintih sakit tapi juga senyum-senyum. Sialan memang. ●●● Pelajaran hari ini selesai, tidak begitu efektif, lebih sering jam kosong. Malah beberapa anak cowok sekolah ini pada nongkrong di kantin belakang untuk merokok. Pukul 15.17, kelas sudah bubar empat puluh lima menit yang lalu. Gue, tidak langsung pulang, karena sore ini ada orientasi Ekstrakurikuler Paskibra di sekolah. Di lapangan belakang yang serba guna, gue bersama rekan-rekan gue memberi arahan dan informasi soal ekstra ini. Ekstra Paskibra adalah salah satu ekstra favorit di sekolah ini, ditambah ekstra ini selalu mengharumkan nama dengan banyak memboyong piala di parade atau lomba-lomba sejenisnya. Tahun lalu, ketika gue masih kelas 10, gue juga ikut lomba parade menjadi pleton perwakilan sekolah ini, dan memenangkan 2 kejuaraan sekaligus. Juara 1 Yel-yel terbaik, dan Juara 1 Peserta Terkreatif. Dan itu, membuat nama gue harum sekejap, banyak siswa yang mengenal gue. Kak Elawati selaku ketua organisasi terlihat menjelaskan sedikit sejarah organisasi ini dan kejuaraan yang telah diraih di tahun-tahun lalu. Gue, berdiri di belakang barisan siswa kelas sepuluh yang kurang lebih berjumlah 100 siswa. Menyimak Kak Elawati memberikan arahan. “And, minggu depan kamu yang isi materi ya, temanya tentang kepemimpinan dan motivasi.” Kak Ela yang sudah memberi arahan kini menepuk pundak gue. Gue tersenyum malu-malu. Siapa yang menyangka gue langsung ditunjuk Kak Ela untuk menjadi pengisi materi. “Siap deh kak.” jawab gue dengan hormat. “Tanpa disiapkan pun, Andara juga sudah siap,” goda Kak Reno, sama-sama senior di Paskibra. Tidak butuh waktu lama, kegiatan sore ini diselesaikan. Sore ini, setidaknya sedikit menyenangkan untuk hari Senin yang dimulai dengan hal menyebalkan. Ah, mengingatnya hanya buat gue makin gila. ●●●

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

(Bukan) Pemeran Utama

read
19.6K
bc

DENTA

read
17.2K
bc

Byantara-Aysha Kalau Cinta Bilang Saja!

read
285.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
191.9K
bc

Head Over Heels

read
16.0K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
207.9K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook