Musik yang masih mengalun merdu membimbing Sarah untuk mengimbangi tarian yang di lakukan Calvin, begitu intens dan penuh makna dalam setiap langkahnya. Tatapan Calvin memberikan Sarah ketenangan dan kenyamanan yang luar biasa seakan Sarah bisa tenggelam dengan tenang di dalamnya.
Inikah perasaan Calvin yang belum pernah tersalurkan pada Sarah sepenuhnya? Sarah bisa merasakan semuanya dengan jelas meski hatinya masih berusaha menyangkal.
"Bagaimana menurutmu, apa aku pantas untuk berkencan denganmu sekarang?" Suara Calvin kembali terdengar, nadanya sangat lembut bagai membelainya.
"Kau memang pantas, Pak Wali Kota. Tapi setelah perjanjian ini berakhir, aku tidak akan menjamin apapun." Sarah menjawab, hatinya masih ragu akan perasaannya sendiri sehingga itulah yang keluar dari mulutnya.
"Orang bisa berubah kapan saja." Sarah menyahut kembali.
"Tapi aku tidak." Calvin segera menyela. "Sejak dulu aku tetap sama, kencan ini aku tawarkan tulus dari hatiku, kau mau percaya atau tidak, semua terserah padamu."
Seolah hawa panas meniup pipi Sarah, ia memerah, sedikit.
"Lihat, kau menggodaku lagi Pak Wali Kota!" Sarah berseru sangat pelan dan menahan bibirnya untuk tidak tertawa ataupun tersenyum.
Bagaimanapun, gombalan Calvin sangat menggelitik hatinya.
"Hentikan itu, apa bisa?" Suara Calvin terdengar resah, ritme tarian mereka masih sama, mengalun dengan mesra.
"Apa yang harus aku hentikan?" Sarah bertanya pelan dengan bingung atas pertanyaan Calvin.
Mereka saling berbisik satu sama lain sejak tadi, seolah takut ada yang mendengar ucapan mereka. Namun siapapun yang melihat kemesraan itu, pasti akan cemburu.
"Memanggilku Wali Kota atau Guru, kau bisa memanggilku Calvin atau mungkin sayang?" Calvin meraih pinggang Sarah lagi, bisikkannya kini tepat di belakang telinga Sarah.
Calvin menggoda Sarah lagi, gadis itu kini tidak dapat mengendalikan dirinya. Inilah yang ia takutkan, godaan Calvin dapat membuat Sarah lupa diri kapan saja.
Ia bisa melupakan tujuan hatinya, sudah lama ia menahan agar tidak pernah jatuh cinta pada gurunya sendiri, namun jika Calvin berterus terang seterusnya seperti ini, Sarah sudah menjamin dirinya akan goyah seketika.
Tapi Calvin terus menariknya agar merasakan hal itu, Sarah jatuh cinta. Ia tidak dapat menahannya lagi.
"Tidak mau." Sarah menolak, ia menggigit pelan bibir bawahnya kemudian berkata.
"Aku bisa jika hanya memanggilmu Calvin selama di sini, jika kau benar-benar tidak keberatan, karena menurutku itu kurang sopan."
Calvin mendorong Sarah pelan, menarik tangan gadis itu keatas, kemudian membuat Sarah berputar hingga akhirnya di tarik sampai hampir terjatuh dan Calvin menahannya.
Ia mempelajari dansa romansa ini dari buku novel yang selalu ia baca, ternyata berhasil dan mampu membuat dirinya sendiri hampir kehabisan nafas karena hidungnya yang di balik masker hampir bersentuhan dengan hidung Sarah.
"Sure." Calvin menarik Sarah lagi hingga mereka kembali ke posisi dansa yang semula.
"Tapi jika tidak sedang di depan umum, apa kau pernah memanggil Tuan Edmund dan Saga dengan nama depan mereka?" Calvin bertanya karena penasaran.
"Seringkali, karena mereka yang meminta."
"Lalu aku memintamu, tapi kenapa tidak mau dengan kata sayang?"
"Memangnya kau suamiku?" Sarah mendelik. "Panggilan itu tidak cocok untuk sekarang."
Tiba-tiba musik berhenti mengalun membuat seluruh tamu diam, lampu temaram berubah menjadi terang dan Saga sudah berdiri sembari memegang mic.
"Terima kasih untuk seluruh tamu undangan yang hadir pada acara malam ini, ini merupakan pembukaan untuk rangkaian acara sesungguhnya selama empat hari kedepan, besok kita semua akan mengunjungi beberapa tempat wisata gurun milik Sandfield yang baru saja selesai. Pertemuan ini diadakan untuk meningkatkan kerja sama antara kita semua sekaligus perayaanku." Saga menjelaskan, seluruh tamu bertepuk tangan untuk memberikan apresiasi atas pidato singkatnya.
"Pesta dansa malam ini akan berakhir sekitar tiga puluh menit lagi, kami mempersilahkan anda semua untuk menikmati semua jamuan yang telah kami sediakan setelah ini dan kembali untuk beristirahat ke kamar masing-masing, terima kasih." Kale mengambil alih dan lagi sorak serta tepukan tangan terdengar lagi.
Beberapa tamu kagum dengan perencanaan acara yang begitu terorganisir dengan baik. Calvin menarik kembali pinggang Sarah dan merangkulnya dari samping, ia tidak membiarkan mereka berjarak terlalu jauh.
Sarah melirik pada Calvin yang tengah memperhatikan beberapa minuman alkohol yang berada di sudut ruangan. Pria itu tertarik, minum bersama Sarah di kamar mereka dan berbincang, menurutnya itu akan menyenangkan.
"Kau ingin makan atau minum sesuatu? Jika merasa tidak nyaman melakukannya di sini, kurasa kita bisa minta kelonggaran pada Kale, mungkin beberapa makanan dan minuman bisa diantar ke kamar kita." Sarah menyenggol Calvin, bertanya dan memberinya saran sekaligus.
Calvin nampak berpikir kedua alisnya naik sebentar dan menatap Sarah seakan tidak yakin dengan saran itu, tapi ia memang lapar, sangat lapar karena tidak bisa makan dengan leluasa.
Tentu saja, wajahnya bukan menjadi rahasia lagi jika dia makan dan minum dengan mudah disini.
"Aku setuju, tapi apakah bisa? Aku merasa tidak enak dengan Saga." Sahut Calvin. "Belum lagi, dia terlihat membuat dirimu tidak nyaman juga."
Calvin ada benarnya, Saga memang telah membuat Sarah tidak nyaman. Beruntung, Calvin tidak tau kejadian tadi siang.
Sarah hanya berharap kalau Edmund dan Nao tidak membocorkannya pada Calvin, karena mereka saksi bisu Sarah berlari sambil menangis. Sarah memberikan anggukan pada Calvin, mata nya kemudian mengedar mencari sosok Kale, pria bertato dengan rambut cokelat ikal itu berada tak jauh dari mereka.
•••
Calvin dan Sarah segera kembali ke kamar mereka begitu Kale telah menyuruh beberapa pelayan untuk mengantarkan makan dan minum.
Calvin mendapat pengecualian setelah Sarah menjelaskan keadaannya pada Kale. Yah, semua orang di sana tau kalau wajah Calvin memang misteri. Jadi tidak ada salahnya jika mereka butuh sedikit privasi untuk hal seperti ini.
"Aku akan menggunakan kamar mandi lebih dulu." Sarah berseru begitu ia sudah melepas higheels nya.
Gadis itu sedang melakukan pemulihan pada kakinya yang terasa pegal dan memijatnya perlahan, sedangkan Calvin sedang mempersiapkan makanan yang sudah diantar, ia meletakannya dengan rapi di meja makan minimalis yang ada di kamar mereka.
Calvin menoleh pada Sarah yang sudah siap akan untuk ke kamar mandi.
"Kakimu pegal sekali sampai harus menggunakan koyo dan Pereda nyeri?" Calvin bertanya.
"Aku tidak terbiasa menggunakan sepatu hak setinggi itu dalam waktu yang lama, dan kurasa koyo akan menghilangkan rasa sakitnya dengan cepat." Sarah menjelaskan.
Calvin teringat, Sarah adalah dokter yang sibuk, sehingga gadis itu pasti akan mengenakan sneakers ternyaman agar leluasa berlari di lorong rumah sakit apabila ada pasien darurat. Menggunakan sepatu hak tinggi seperti itu pasti akan membuatnya kesulitan.
"Tenang, aku menyimpan banyak obat-obatan darurat di sini." Sarah kemudian menunjuk tas kecil mirip dengan kotak P3K miliknya.
Kemudian gadis itu segera masuk ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Sementara itu, Calvin segera berganti pakaian dan melepas baju terusan maskernya.
Ia ingin menunjukkan wajahnya pada Sarah, mungkin gadis itu akan terkejut begitu keluar dari kamar mandi melihat Calvin duduk di tepi kasur dengan santai tanpa menggunakan masker. Ini adalah momen yang di tunggu, ia akan menunjukkan ketampanan nya yang paripurna.
Sarah telah selesai mandi, ia tau memang kalau mandi di malam hari itu tidak baik untuk kesehatan, tapi ia tidak bisa tidur dengan nyenyak kalau tidak mandi dahulu.
Maka Sarah sudah melakukan antisipasi, ia mengkonsumsi beberapa vitamin juga.
Begitu Sarah keluar dari kamar mandi, listrik dalam satu gedung ini mati dan membuat Sarah terperanjat.
"Calvin!!" Sarah menjerit takut karena suasana kamar menjadi gelap, hanya menyisakan secercah cahaya rembulan yang masuk melalui celah-celah jendela.
Calvin langsung beranjak dan menarik Sarah hingga tubuh gadis itu menimpanya dan mereka terjatuh ke atas ranjang.
"Tenang Sarah. Hanya mati lampu." Ucap Calvin pelan. "Um, mati listrik lebih tepatnya."
Cahaya rembulan yang memasuki jendela kamar mereka yang sedikit terbuka menerangi wajah Calvin, mata Sarah terpaku menatap wajah tampan yang ada di hadapannya saat ini. Mereka saling berpandangan, Calvin memberikannya tatapan yang begitu lembut sementara mata Sarah membulat sempurna.
"Kau.."
"Sayang sekali kau harus melihat wajah tampan ini dalam keadaan gelap."
Sarah menelan ludahnya dengan susah payah, hidung Calvin mancung, rahangnya tegas, bibirnya tipis dan ada sebuah tahi lalat kecil pada dagunya yang membuat Calvin terlihat sangat tampan.
"Aku menyesal." Cicit Sarah pelan, wajahnya benar-benar memerah karena posisi mereka saat ini belum berubah.
"Kenapa?"
"Karena tidak pernah merobek masker bodohmu sejak dulu!" Seru Sarah. "Oh Tuhan, aku tau ini memalukan, tapi Calvin kenapa kau sangat tampan?!"
Calvin tertawa pelan sambil menyelipkan anak rambut ke belakang telinga Sarah yang sebelumnya menghalangi wajah gadis itu.
"Kalau jelek tentu bukan Calvin Alistair."
"Jadi ini alasanmu selalu memakai masker?"
"Ya, aku terlalu tampan sih." Calvin sangat percaya diri.
Listrik kembali menyala dan Sarah segera menjauh dari Calvin. Wajah Sarah sudah sangat merah dan Calvin tertawa melihatnya.
Sarah menutupi wajahnya dan Calvin beranjak menuju kamar mandi tanpa bicara apapun. Sarah mulai menutup gorden jendela kamarnya yang agak terbuka.
Gadis itu segera memakai piyama dan meminum banyak air mineral untuk menetralkan dirinya. Ia berpikir mungkin itu efektif.
"Sadar Sarah.. kau dan dia hanya kencan kontrak selama dua minggu." Sarah berseru pelan pada dirinya sendiri. "Jangan larut, jangan tergoda.. jangan, jangan, jangan!"