Muram Pagi Hari

1511 Words
Muram pagi hari Pagi yang tadinya amat cerah dengan matahari yang bersinar tanpa malu-malu berubah menjadi mendung dan kelam bagi seorang Arsita Kumala. Hanya karena sekilas pemandangan memuakkan yang mampir di indera penglihatannya. Harusnya, Sita tidak perlu menoleh kanan kiri, sehingga meminimalisasi manik matanya untuk menemukan seorang Jefry Raksayudha. Ya Tuhan, kenapa hanya sekilas melihat laki-laki itu tengah berbagi tawa dengan perempuan lain membuat Sita jadi sekesal dan sesendu ini. Berdecak keras, Sita turun dari motornya yang sudah beberapa saat lalu terparkir manis. Sejak tadi, Sita tengah menikmati acara merenungnya di pagi hari persekian menit. "Ayolah, Sita. Itu sudah biasa, bukan masalah." gumamnya, menyemangati diri sendiri, sembari mengayun langkah masuk ke kampus. Dan entah berapa kali pun Sita berusaha menyemangati diri sendiri, pada akhirnya tetap berujung pada kesenduan yang lagi-lagi hadir di wajahnya. Dia sudah sering dikalahkan oleh banyak perempuan yang mendekati Jefry. Namun sesering itu pula, dia tetap sakit hati. Mendesah, Sita memilih kantin sebagai destinasinya pagi ini. Mungkin, dia bisa mendapatkan teman di kampus, yang setidaknya, bisa menggusur mendung di wajahnya saat ini. Dan dugaannya benar, sosok sang sahabat tertangkap netranya tengah duduk sendiri di kursi kantin paling ujung. Hanya ditemani semangkuk makanan yang entah apa isinya. Tanpa lebih dulu memesan makanan untuk menu sarapannya, Sita segera saja menghampiri Orin dengan langkah-langkah lebar. Hanya gadis itu, satu-satunya kawan yang dia miliki, yang mengerti luar dalam akan semua permasalahannya mengenai perasaan. Sita melepas jaket kulitnya, menyisakan kaus putih polos, kemudian mengambil duduk di samping Orin, yang jelas terkejut akan kehadirannya yang tiba-tiba. Sebelum mengeluarkan sepatah kata apa pun, Sita lebih dulu menghela napas berat. Paginya, tidak seindah seperti yang dia bayangkan. "Kusut banget muka. Kejebak macet?" Orin, kawan satu jurusan, satu tingkat dan kawan bergosip suka duka Sita, membuka suara untuk pertama kali, ketika mendapati wajah suntuk Sita. Sita menggelengkan kepala. Sekadar macet, tentu tidak akan membuat wajahnya suntuk dan paginya buram. Orin mengernyit. "Terus kenapa? Nggak mungkin kan, kamu nggak dikasih uang saku?" tanyanya lagi, kemudian menyuap bubur ayam yang sebelum Sita datang sudah menemaninya. "Aku ketemu dia," desah Sita lesu. "Lagi jalan sama cewek baru." imbuhnya, sembari menampilkan wajah penuh kesakitan yang tidak dibuat-buat. "Kak Jefry?" tanya Orin memastikan. Meski tanpa dia bertanya pun, sudah tentu hanya satu nama lelaki itu yang mampu membuat Sita yang ceria berubah menjadi segelap mendung. Sita mendesis. Melirik sinis ke arah Orin yang menaikkan sebelah alisnya. Menghela napas, Orin menggeser mangkuk bubur ayamnya ke samping kiri, yang beruntung sudah habis. Karena kalau belum, kemungkinan akan dianggurin. Dia mengatupkan bibir, memindai wajah kusut Sita. Gadis di sampingnya, sama sekali tidak berusaha menyembunyikan sakit hati. Namun, yang Orin tak habis pikir, di depan keluarga dan terutama di depan Jefry, Sita bisa berubah menjadi sosok ceria tanpa cela. "Cewek yang kali ini jalan sama Kak Jefry, cantik?" tanya Orin, ingin tahu. Setiap Sita mendapati kenyataan bahwa Jefry sedang jalan dengan perempuan lain, memang wajahnya sekesal dan semurung itu. Tapi pagi ini, tampak berkali lipat lebih kesal. Sita mengernyit, mengingat. Untuk kemudian menganggukan kepala. "Cewek tadi cantik banget." gumamnya kesal. Orin mengangguk pelan, hampir menyemburkan tawa. Namun, tidak jadi, karena Sita melotot lebih dulu padanya. "Lebih cantik mana sama Kak Rita?" "Cantik cewek tadi ke mana-mana." "Ck, berat dong, Ta. Sama Kak Rita aja kamu kalah saing." Sita mencebikkan bibir, semakin jelas menampilkan raut sedihnya. Dia juga berpikir seperti itu, dari jauh saja dan hanya dilihat sekilas, perempuan yang duduk berhadapan dengan Jefry tadi, cantik sekali. "Imut nggak?" tanya Orin lagi, menyimpan senyuman gelinya. Lebih dari apa pun, dia prihatin dengan kondisi asmara Sita yang tidak beranjak se-inchi pun, sejak kali pertama dia mengetahui jika Sita menyimpan rasa pada seorang lelaki bernama Jefry, beberapa tahun lalu. Tapi, dia juga tidak bisa menyembunyikan keingintahuan yang diselipi perasaan menggoda, karena Sita yang polosnya minta ampun kalau mengenai asmara. Sita adalah sosok yang blak-blakan di depannya, setiap tanya yang dia lontarkan pasti akan dijawab sama persis dengan apa yang sedang Sita rasakan. "Imut sih, sebelas dua belas sama Kak Yuna," ungkap Sita jujur. Nah kan. Orin geleng-geleng kepala. Lalu berdecak keras dan mencibir tanpa ampun. "Kalau beneran cewek itu pacarnya Kak Jefry, ini sih berat, berat banget, Ta. Tanpa pesaing aja kamu nggak maju-maju." Sita mendelik, garang sesaat, lalu berganti menjadi wajah sendu memelas detik berikutnya. "Aku beneran nggak punya kesempatan, ya?" desahnya lesu. "Kesempatan itu ada, Ta. Setiap saat kamu memiliki kesempatan itu. Yang jadi pertanyaannya adalah dirimu. Kamu yang harusnya menciptakan kesempatan itu sendiri atau menerima menunggu yang tidak tahu, akan sampai kapan." Tandas Orin, tampak begitu bersungguh-sungguh dengan ucapannya. "Atau ketika kamu membuat kesempatan itu, namun segalanya sudah terlambat." Sita mendesah, meluruhkan bahu. Yang Orin katakan memang benar, tapi, dia sendiri juga tidak tahu harus memulai dari mana. Ada banyak sekali kemungkinan di hatinya, ketika dia ingin mengambil tindakan untuk mendekati Jefry. Menampilkan perasaan yang dipendamnya selama ini pada dunia. Bukan melulu hanya berdiri di balik layar, mengamati dengan rasa sakit, bagaimana Jefry berbahagia dengan perempuan lain. Dia ingin menciptakan kesempatan itu, demi apa pun. Karena masih berharap perasaannya mendapati kemajuan meski se-inchi. "Kamu nggak bisa diam-diam gini terus, Ta. Kamu harus berani mengambil resiko." ungkap Orin menggebu-gebu. Dia sudah berulang kali membujuk, bahkan menawarkan bantuan, andai Sita membutuhkan bantuannya demi melancarkan aksi mendekati Jefry dalam tanda kutip. Pada dasarnya, yang Orin mau adalah titik terang untuk hubungan dan perasaan Sita. Andai Sita ditolak oleh Jefry, maka ya sudah, itu lebih jelas sakitnya. Daripada menggantung perasaan diam-diam, yang setiap saat menggoreskan sakit. "Aku nggak mau lihat kamu lebih sakit, karena mencintai diam-diam, berlarut-larut," imbuh Orin, menurunkan nada bicaranya. "Mencintai diam-diam itu memang sesak, sakit, apalagi harus melihat dia yang kita cinta jalan bersama perempuan lain, tapi memang hanya ini yang bisa kulakukan, Rin. Terhalang banyak hal membuatku tertahan di tempatku." gumam Sita. Sekali lagi, ditariknya napas dalam-dalam untuk kemudian dihelanya pelan. "Tapi, aku juga terlalu takut mengambil resiko. Takut jika justru hal terburuk yang aku dapatkan." Sampai di titik ini, maka Orin tidak bisa memaksakan kehendaknya. Dia paham, perasaan takut seperti apa yang Sita rasakan. Dijauhi Jefry dan lebih parahnya dibenci laki-laki itu, berada dipuncak tertinggi dalam lingkaran ketakutan Sita. Tidak menutup kemungkinan hal itu akan terjadi, mengingat jika Jefry tampak seperti seorang kakak penyayang yang tidak pernah membantah keinginan sang adik. Apalagi rentang usia yang terpaut jauh di antara Sita dan Jefry menjadi poin penting lainnya. Tidak jarang, ketika dia dan Sita jalan-jalan ke pusat perbelanjaan, dan ditemani Jefry yang menjadi bos besar, pasti akan ada satu-dua perempuan, bahkan lebih, yang akan menghampiri dia dan Sita lalu berbisik menanyakan satu hal sama. Selalu. "Dek, Om-nya udah nikah belum sih, boleh minta dikenalin nggak?" Atau, "Baik banget Om kalian Dek, sampai mau-maunya ngikutin jalan-jalan di Mall." Mengingat itu, membuat Orin semakin yakin, jika yang menjadi momok rasa takut Sita, adalah hal itu.  "Orin. Yee ... diajak diskusi malah melamun sendiri." decap Sita. Karena kesal ditinggal melamun, Sita menarik gelas es teh milik Orin, dan segera menyesapnya tanpa izin. Tersadar dengan lamunannya, Orin mengerjapkan mata dan membalas tatapan Sita yang mengarah padanya dengan kening mengernyit. "Ditinggal meleng dikit aja, tandas itu teh." Orin berdecak sinis, memandang nahas es teh-nya yang sudah tandas oleh Sita. Padahal, dia yakin baru diminum tak sampai setengah gelas. Sita nyengir tanpa rasa bersalah. "Salah siapa ngelamun pagi-pagi. Ngelamunin apa emang?" tanya Sita, mendorong gelas kosong Orin ke tengah. Dia menaikkan sebelah alis, menunggu jawaban. Hanya karena tingkahnya yang mencuri segelas minuman milik Orin, suasana hatinya menjadi sedikit lebih baik. Sita memang seperti itu, teramat pintar mengubah suasana hati. Pintar juga mengelabui dunia tentang sakit hati, minus di hadapan Orin, satu-satunya kawan mengadu resah, perihal perasaan. "Mikirin jalan tengah untuk kelanjutan asmaramu sama Kak Jefry." gumam Orin, tak lagi ingin mempermasalahkan tentang segelas es teh miliknya. Sita mendesah. Dia sudah berusaha mengais-ais sisa-sisa nalar dan perasaan miliknya, untuk menemukan jalan terbaik bagi perasaannya. Namun, seiring waktu, dia justru tak kunjung mendapatkannya. "Aku udah muter-muter nyari, tapi nggak ketemu. Jalan tengah darimu, apa coba?" Orin mengatupkan bibir, mengerutkan kening dan berpikir keras. Hingga, seorang lelaki berparas tampan melintas tak jauh darinya, kurang dari sepuluh meter. Orin tersenyum kecil, dia belum pernah mengajukan satu pendapatnya yang ini, tapi kali ini, tak ada salahnya mencoba. "Kalau perasaanmu tidak kunjung mendapat balasan dari Kakak Jefry paling tampan menurutmu itu, kenapa nggak coba buat jalan sama lelaki lain?" Orin menaik turunkan alisnya, dia memang tidak mengenal lelaki berparas tampan yang melintas tak jauh darinya itu, tapi, entah kenapa, rasanya akan cocok jika dipasangkan dengan Sita. Wajah tampan itu pasti bisa membuat Jefry meringis ngeri. Karena sadar, di dunia ini tidak hanya Jefry seorang yang tampan. "Jalan sama laki-laki lain, ketika hati aku hanya menyebutkan satu nama lelaki. Kak Jefry yang katamu paling tampan itu." Sita menggeleng pelan. Diakhir kalimatnya dia bubuhi dengan nada sinis. "Nggak mungkin. Nggak akan bisa." "Kamu pernah dengar, cinta hadir karena terbiasa?" Sita memicing, namun kepalanya bergerak pelan untuk mengangguk. Di lini masa media sosialnya, dia pernah beberapa kali mendapati kata-kata itu. Orin menjetikkan jari. "Nah, itu. Jawaban terbaik untuk perasaanmu." Tidak tahu harus membalas apa, Sita hanya membungkam bibir. Dulu dia pernah mengambil langkah untuk memulai sebuah hubungan dengan lelaki lain, tanpa perasaan. Namun, justru berakhir dengan perasaan bersalah yang mengungkungnya. Dia merasa berkhianat. Dan Sita tidak suka untuk itu. Sekali pun dia tersakiti karena cintanya sendiri, setidaknya, dia tidak menyakiti seseorang, karena perasaan orang itu terhadapnya yang dia permainkan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD