Bab 9. Bukan Lagi Rahasia

1316 Words
Astrid menatap langit di hadapannya dengan pandangan yang sulit diartikan. Pikiran wanita itu begitu ramai setelah mengetahui sesuatu, segala praduga memenuhi isi kepala wanita itu. Dia menarik napas panjang lantas memutar tubuhnya saat mendengar suara langkah kaki mendekati dirinya. Angin yang berembus di balkon kamarnya terasa menusuk kulit-kulit Astrid yang tak lagi sekencang saat muda, dia mengusap lengannya lantas membuang napas kasar. Astrid memandang wanita yang jauh lebih tua dari dirinya dengan tatapan lembut, wanita itu berjalan mendekati asisten rumah tangganya. Astrid tersenyum manis, sedangkan wanita di hadapannya menundukkan kepala. "Saya mau minta Bi Asih kerja sama Damar," kata Astrid dengan tenang. "Tiba-tiba, Nyonya?" Asih mengangkat kepala, dia memandang Astrid dengan tatapan heran. Astrid memutar tubuh membelakangi Asih, wanita itu melipat tangannya di d**a. Dia memandang ke depan dengan tatapan sendu, wanita itu kembali membuang napas kasar. Ada rasa sedih yang menyelimuti perasaan Astrid saat ini. Kebahagiaan yang dia rasakan harus sirna begitu saja, harapan yang sempat dia langitkan seolah harus dia kubur sebelum itu terjadi. "Mereka bohong," cetus Astrid dengan suara pelan. "Bohong?" Asih berjalan sedikit mendekat. "Maksud Nyonya apa?" lanjutnya bertanya. Astrid berjalan ke arah lemari yang berisi pakaian sang putra meskipun ada lemari, tetapi ada walk in closet juga. Astrid tersenyum saat melihat beberapa barang sudah dikemas rapi oleh Thalia, itu sangat membuktikan bahwa menantunya itu adalah orang cekatan. Astrid membuka lemari pakaian sang putra, dia mengambil beberapa pakaian lagi karena tadi dia melihat belum ada dalaman yang dimasukkan oleh Thalia. Mungkin perempuan itu merasa canggung menyentuhnya persis seperti awal dirinya menikah. Namun, tanpa sengaja Astrid menyentuh sebuah map. Satu alis wanita itu terangkat tinggi-tinggi, dia tahu betul anaknya tak pernah menyimpan berkas penting di dalam lemari. Dikarenakan penasaran Astrid mengambilnya, tetapi hal yang mengejutkan adalah map itu berisikan kontrak pernikahan. Dengan d**a berdebar dan tak sabaran Astrid membacanya. "Mereka buat perjanjian gila?" batin wanita itu. Astrid meletakkan kembali map itu pada tempatnya, dia menoleh ke belakang melihat Thalia yang berulang kali mengusap kening seraya mengembuskan napas. d**a Astrid rasanya semakin menyesakkan, dia tak tahu harus bereaksi seperti apa saat mengetahui fakta ini. "Saya rasa Damar ceroboh sampai lupa menaruh map itu di ruang kerjanya," ucap Astrid yakin. Asih yang mendengar itu mengangguk paham, dia pun tahu jika Damar bukanlah orang yang menaruh hal penting sembarangan apalagi lemari yang cenderung rawan. Pria itu memiliki brankas yang hanya dia yang dapat membukanya, Damar biasa menaruh hal-hal penting di brankasnya yang ada di ruang kerja. "Jadi Nyonya mau saya mata-matain mereka?" tanya Asih memastikan. Astrid mengangguk. "Saya sudah menyukai Thalia, dia terlihat tulus dan baik," jawabnya. Asih mengerti, dia lantas berjalan ke hadapan Astrid. Wanita paruh baya itu berdiri di hadapan sang majikan. Lama bekerja dengan keluarga Prasetya membuat Asih tahu betul sifat dan karakter setiap orang di dalamnya. Asih memandang Astrid dengan serius, meski terlihat lancang, tetapi setiap pelayan di rumah ini diajarkan untuk menatap lawan bicaranya. Wanita paruh baya itu menganggukkan kepala mengerti, dia akan berusaha sebaik mungkin. "Nyonya tenang aja! Saya akan laporan setiap menit nanti!" Asih menyengir sembari memberikan hormat, sedangkan Astrid menggelengkan kepala seraya tertawa. "Saya berharap mereka akan jatuh cinta ke depannya, demi Tuhan saya tidak akan ikhlas mereka berpisah. Entah kenapa saya sesuka itu dengan Thalia," jelas Astrid dengan tatapan menyorot sendu. "Sebagai seorang Ibu tentu feeling Nyonya itu nggak pernah salah. Mungkin Thalia memang yang terbaik yang bisa ngasih Den Damar kebahagiaan, Nya," balas Asih. Astrid mengangguk setuju. "Itu harapan saya." *** "Saya bisa minta bantuan kamu?" Thalia yang tengah memasak menoleh, dia mengangguk tanpa ragu. Wanita itu kembali berbalik menghadap kompor lantas mematikan kompornya. Dia kembali menghadap Damar yang membawa sebuah dasi di tangan kirinya. "Pakaikan saya dasi ini!" titah Damar. Thalia mendengus. "Apa susahnya ngucap kata tolong, sih?!" kesal perempuan itu. "Okay, tolong pakaikan saya dasi!" ulang Damar. Thalia menurut meskipun sambil mencak-mencak. Dia tetap memasangkan dasi Damar. Damar yang terlalu tinggi membuat Thalia harus menjinjit, sedangkan Damar memandang intens wajah Thalia dari dekat. Jarak mereka yang terlalu dekat itu membuat Damar dapat merasakan embusan napas Thalia di lehernya, sadar sang istri kesulitan membuat Damar berinisiatif mengendong koala Thalia. Tindakan itu tentu saja mengejutkan Thalia, wanita itu sempat terdiam beberapa saat sebelum akhirnya suara Damar mengejutkan dirinya. "Pasang, Thalia!" "E—eh, iya, Pak." Tangan wanita itu gemetar, dia gugup sekaligus merasa malu mengingat posisi keduanya begitu dekat dan bahkan bisa dikatakan sangat intim. Seumur hidupnya baru kali ini Thalia bersentuhan fisik seintim ini meskipun dengan suami sendiri, tetap saja membuat Thalia merasa canggung. Thalia memasangkan dasi Damar dengan baik meskipun tangan perempuan itu bergetar, dia takut Damar menyadari dirinya yang salah tingkah tentu itu akan membuat Damar mengejek dirinya habis-habisan. "Kamu gugup?" tanya Damar seraya mendongak, dia memandang Thalia dengan lekat. "Pake nanya lagi ini om-om," kesal Thalia di dalam hati. Thalia menggeleng kaku. "Eng-enggak!" elak perempuan itu tergagap. Damar terkekeh mengejek, dia memandang remeh sang istri. Thalia mengatakan tidak, tetapi tangannya bergetar. Bola mata wanita itu juga bergerak liar menghindari tatapannya. Damar tak kehabisan akal, dia memegang dagu Thalia dan menatap Thalia dengan intens setelah dia arahkan wajah Thalia ke netranya. "Jangan jatuh cinta ke saya, kamu harus inget itu," bisik Damar dengan suara berat membuat Thalia langsung mengalihkan pandangan. "Saya nggak bakal jatuh cinta sama Bapak," cicit Thalia ragu, entah mengapa dia sendiri ragu mengatakan itu. "Kamu yakin?" tanya Damar dengan satu alis dia naikkan. Thalia tak langsung menjawab, dia pun kebingungan. Rasanya harinya tak terima saat dia mengatakan itu semua, benar-benar tak selaras dengan pikirannya. "Biasanya siapa yang pakein dasi?" Thalia memilih mengalihkan pembicaraan yang membuat Damar tersenyum miring. "Mama," sahut Damar dengan enteng, pria itu memperbaiki posisi Thalia yang turun. Sadar akan posisinya, Thalia berdeham singkat. Dia memandang sang suami dengan ragu-ragu. "Pak, turunin saya!" cicit Thalia. Damar tersadar, pria itu segera menurunkan Thalia dari gendongannya. Dia berdeham singkat dan mengusap tengkuknya. "Kita sarapan sekarang aja, kamu udah kelar masaknya?" Pria itu berusaha mengakhiri suasana canggung mereka. Thalia mengangguk pelan. "Bapak duduk dulu biar saya siapkan," balas Thalia. Damar menurut, dia duduk dan Thalia berjalan menyiapkan sarapan mereka. Wanita itu hanya memasak nasi goreng dan Thalia berharap Damar akan menyukai masakannya. "Saya cuman masak ini, Pak. Saya harap Bapak suka," kata Thalia seraya memberikan piring berisi nasi goreng dan ayam pada Damar. Wanita itu mendudukkan diri di samping suami, dia mengambil air lalu menyerahkannya pada Damar. "Asal saya sarapan," balasnya dengan datar. Thalia memaksakan senyuman manis, rasanya dia ingin sekali menjambak bibir menyebalkan Damar yang sialnya itu hanya bisa Thalia lakukan di dalam mimpi. "Andai bisa saya racunin Anda, Pak," bisik Thalia seraya memasukkan nasi ke dalam mulutnya. *** Thalia mengerutkan kening saat bel rumah berbunyi sebanyak dua kali. Dia segera meletakkan remote televisi yang dia genggam dan segera beranjak mendekati pintu masuk. Saat membuka pintu, Thalia melihat Asih yang berdiri dengan tas di tangannya. Wanita itu tersenyum lebar saat melihat majikannya. "Lho, Bi Asih?" Alis wanita itu menyatu, dia merasa heran dengan kehadiran Asih. "Bibi kenapa ke sini? Diminta Pak eh maksudnya Mas Damar?" Asih menggeleng. "Saya diminta Nyonya buat kerja di sini bantu Non Thalia." Thalia mengernyit, dia memandang Asih dari atas sampai bawah. Wanita itu lantas mengangguk, mungkin Astrid hanya tak mau dia kelelahan itulah yang Thalia pikirkan. "Oh, Mama, ya. Masuk, Bi!" Thalia menggeser tubuhnya dan mempersilakan Asih untuk masuk ke dalam. "Sini saya bantu bawa, Bi! Mas Damar udah tau?" "Makasih, Non. Belum, Bibi rasa Nyonya akan kasih tau Aden nanti," sahut Asih sembari menyerahkan salah satu bawaannya. Thalia yang mendengar itu mengangguk, setidaknya kehadiran Asih di sini tak membuat Thalia terlalu kesepian mengingat Damar belum memberikannya asisten rumah tangga. "Kamar Bibi nanti aku rapikan, ya," celetuk Thalia. Asih yang berjalan di belakang Thalia lantas menggelengkan kepala cepat meskipun Thalia tak dapat melihatnya. "Enggak perlu, Non. Bibi bisa sendiri kok." Thalia menghentikan langkah, dia menoleh ke belakang. Perempuan itu memandang Asih dengan tatapan serius. "Enggak papa, Bi. Aku aja, Bibi biar langsung istirahat nanti."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD