Bab 8. Mertua Idaman

1305 Words
Thalia memasukkan seluruh pakaiannya ke dalam koper, pun dengan pakaian Damar yang telah dia susun dan rapikan. Thalia mengusap keningnya, napasnya sedikit terengah-engah. Kamar Damar termasuk cukup luas untuk satu orang dan sedari tadi Thalia harus berjalan ke sana dan ke mari, wanita itu bahkan berulang kali mengembuskan napas panjang. "Ini rumah gedenya ngalahin lapangan bola," keluh Thalia di dalam hati. Astrid masuk dengan membawa nampan yang di atasnya berisi sirup dan camilan. Pintu kamar yang terbuka memudahkan wanita itu masuk. Astrid melangkah ke arah meja kecil yang ada di dekat sofa, dia meletakkan nampannya di sana dan berjalan ke arah Thalia yang tengah mengatur napas. "Damar nggak bantu kamu, Sayang?" tanya Astrid seraya memegang bahu sang menantu. Thalia menoleh, dia menggelengkan kepala pelan. "Mas Damar ke kantor, Ma," sahutnya. "Anak itu bukannya bantu istri malah kelayapan," gerutu Astrid. Thalia yang mendengar itu tersenyum tipis, dia mengusap lengan sang mertua. Wanita itu mengambil tas produk kecantikan miliknya lantas menaruhnya di dalam koper. "Mas Damar lagi sibuk, Ma. Nggak papa kok, aku bisa sendiri," jawab Thalia dengan nada suara lembut. Mendengar itu Astrid mendengus. Dia lantas bergerak membantu Thalia berkemas, lihat saja setelah ini dia akan mengomeli sang putra. "Istri itu lebih penting dari apa pun. Suami kamu nggak bakal jatuh miskin cuman karena nggak ke kantor sehari aja, Sayang," cetus Astrid. "Nggak papalah, Ma. Aku nggak papa kok." Astrid yang berada di lemari sang anak lantas menoleh setelah mendengar balasan sang menantu. Dia terdiam sesaat sebelum akhirnya berdeham pelan. Wanita itu mengambil beberapa keperluan Damar dan memasukkannya ke dalam koper. "Mama yang kenapa-napa. Jadi suami kok nggak becus gitu!" Astrid terus mengomel dengan wajah kesal, sedangkan Thalia hanya bisa tersenyum. Di dalam hati, perempuan itu bersorak senang. Awalnya dia mengira Astrid tak menyukai dirinya, tetapi lihatlah sekarang! Astrid seperti berada di pihaknya. Astrid bahkan terang-terangan tak membela sang putra. Setidaknya ini menjadi jaminan untuk Thalia jika nanti Damar bersikap seenaknya pada dirinya. Thalia melipat baju di tangannya lantas memasukkan baju tersebut ke dalam koper. Senyuman wanita itu tak juga luntur sangat ketara dia tengah senang saat ini. Lagi pula siapa yang tidak akan senang jika memiliki mertua seperti Astrid? "Mama lucu ya, kalau ngomel gitu." Thalia berjalan mendekati sang mertua, dia memegang bahu Astrid dan tersenyum tipis. "Tenang aja, Ma. Mas Damar nggak lalai kok." Wanita paruh baya itu menghela napas panjang mendengar sang menantu yang membela putranya. Dia memutar tubuh menghadap Thalia, Astrid meraih tangan Thalia dan menggenggam tangan menantunya dengan lembut. "Kalau anak Mama nyakitin kamu kasih tau Mama, ya. Mama pasti akan menghukum dia, kamu sekarang juga anak Mama. Anak perempuan Mama, jadi jangan pernah sungkan ya, Sayang?" Ucapan tulus dari Astrid berhasil menyentuh hati Thalia, perempuan itu tersenyum tulus. Dadanya bergemuruh, rasanya terlalu campur aduk, tetapi rasa bahagia itu jauh lebih dominan. Tanpa aba-aba Thalia memeluk tubuh Astrid dengan erat, air matanya luruh bersamaan dengan tangan Astrid yang membalas pelukan dan mengusap punggungnya. Entah kapan terakhir kali Thalia merasakan pelukan hangat, tetapi pelukan Astrid benar-benar menenangkan baginya. Rasa nyaman yang telah hilang kini kembali Thalia rasakan dalam dekapan sang mertua. "Makasih, Ma. Makasih, aku beruntung punya mertua sebaik Mama," ucap Thalia. Kepala Astrid menggeleng pelan. "Seharusnya Mama yang terima kasih karena kamu udah mau nerima anak Mama, anak Mama yang jauh dari kata sempurna, anak yang Mama yang arogan itu." Thalia terkekeh pelan. "Itu semua karena uang, Ma," jawab Thalia. Astrid tertawa keras mendengarnya, dia pikir Thalia tak bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Dia pikir Thalia hanya bercanda mengatakan itu semua. "Uang Damar juga uang kamu, nggak papa. Mama nggak masalah kamu mau morotin Damar, itu hak kamu juga." *** Dias berjalan terburu-buru di trotoar, entah apa yang dikejar oleh wanita itu. Namun, telepon pintar miliknya menempel di telinga wanita itu. Dias bahkan berulang kali menabrak orang-orang yang berlalu lalang, mengucapkan kata maaf pun tidak yang berujung banyaknya makian dari sekitar yang dia dapatkan. Terlalu fokus dengan apa yang dia lihat di bawah, Dias tak menyadari jika seorang pria juga berjalan tergesa-gesa sama seperti dirinya. Dias yang terlalu fokus menatap ke bawah dan pria itu yang berjalan seraya mengecek saku jas mahal miliknya. Suara kening yang berbenturan langsung dengan d**a bidang seakan membuat waktu terhenti untuk sejenak. Dias mengusap keningnya seraya meringis pelan, apa yang dia tabrak terasa keras dan kaku. Sementara itu, pria di hadapannya memandang Dias dengan tatapan tajam. "Apa Anda tidak bisa berhati-hati sedikit, Nyonya?" Suara serak yang khas pun nada suara tajam itu membuat Dias mendongak, baru saja dia akan mengomeli pria itu. Namun, melihat wajah tampan pria itu membuat Dias termenung. Mulut wanita itu terbuka lebar dengan mata membulat sempurna, dia terkesima. Dias mengerjap perlahan saat pria di hadapannya mendengus cukup keras, itu berhasil menarik kesadaran wanita itu. Namun, Dias tak bisa memberikan reaksi apa pun. Tubuh Dias mendadak kaku, lidahnya pun kelu. Dia bahkan sempat tak mengedip selama beberapa detik, sungguh Dias seperti melihat seorang pangeran sekarang. "Ck! Tuli," ketus pria itu lantas berlalu pergi dari sana. Dias yang tersadar lantas memutar tubuhnya, dia memandang punggung pria itu yang sudah menjauh. Dias berteriak cukup keras mengabaikan tatapan aneh dari orang-orang di sekitar dirinya. "Hei, tunggu! Kamu harus tanggung jawab! Hei ...!" teriak Dias. Dias mendengus, dia menghentakkan kaki ke tanah dengan kesal. Dia merasa melewatkan kesempatan emas, seharusnya tadi dia bisa memeras pria yang ditabrak. Dari pakaian pria itu Dias sangat yakin jika dia merupakan orang kaya. Mendesah panjang, Dias memberenggut kesal. Tangan Dias terkepal erat. "Akh ...! Dia ganteng banget, tapi aku yakin uang dia banyak banget. Kenapa malah bengong, sih?! Coba nggak, pasti bisa morotin dia." *** Damar memijat pangkal hidungnya. Pria itu baru saja kembali dari rapat penting, tetapi sesampainya di rumah dia justru mendapati omelan dari Astrid karena membiarkan Thalia berkemas sendiri. Sementara itu, Thalia berdiri di belakang Astrid dengan kepala menunduk sembari menahan tawa. Rasanya lucu melihat pria searogan Damar tunduk pada seseorang yang dia panggil "Mama" itu. "Ma, aku tadi ada rapat penting sama klien dari U.K, masa iya aku nggak hadir?!" Damar bertanya dengan frustrasi, sedangkan Astrid memandang tajam sang putra. Damar menjeda ucapannya. "Ma, toh Thalia nggak kenapa-napa. Dia juga izinin aku pergi, 'kan?" Astrid mendengus, dia memandang Damar dengan tangan berkacak pinggang. Putra semata wayangnya itu sungguh menyebalkan, dia selalu saja bertindak sesuka hati. "Mama yang nggak terima, Damar ...!" teriak Astrid yang membuat Thalia meringis. "Dia lebih penting dari istrimu, ha?!" sungut wanita itu dengan kesal. Tanpa ragu Damar mengangguk. Tentu saja, pria itu berjuang keras untuk mendapatkan kerja sama ini, kerja sama yang nantinya akan menguntungkan perusahaannya yang di mana keuntungan itu juga akan dinikmati oleh Thalia dan Astrid. "Damar ...!" kesal Astrid dengan mata melotot. Pria itu meringis, dia sempat menatap Thalia yang menutup mulut dengan tangan. Dia berdecak, Damar akan selalu menjadi lemah dan penurut jika berhadapan dengan sang ibu dan itu bukan lagi rahasia. Lagi pula siapa yang mau mencari masalah dengan penguasa bumi?! Damar menghela napas panjang, pria itu benar-benar tak bisa marah pada sang ibu. Damar mencoba untuk mengontrol emosinya sebelum akhirnya menjawab ucapan Astrid. "Ma, serius! Damar mati-matian dapetin kerja sama ini. Toh nanti sampe rumah aku bakalan minta Thalia untuk istirahat!" Damar berusaha membela dirinya. Thalia berdeham keras, sedikit merasa kasihan melihat sang suami yang terus dipojokan. "Ma, udah! Kasian Mas Damar pasti capek," sela Thalia. Damar yang mendengar itu memutar malas bola matanya. "Cari perhatian, cih!" batin pria itu. Astrid menurut, tetapi tatapan tajam wanita itu tak juga hilang. Saat dia menatap dan mengelus rambut Thalia barulah tatapan itu berubah menjadi tatapan lembut. Hal itu sontak membuat Damar mendengus kesal, dia mengepalkan tangan dengan kuat melampiaskan emosinya. Entah pelet apa yang Thalia gunakan, tetapi perempuan itu benar-benar dengan mudah menarik perhatian dan hati Astrid. "Kalian berangkat sekarang, gih! Takut keburu malem, kalau Damar nakalin kamu, kamu bisa bilang Mama." "Sebenarnya anak Mama itu aku atau Thalia, sih?!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD