Ratu

1151 Words
Di malam yang dingin dan bisu, Ayuna menatap langit gelap yang hitam. Tak ada cahaya bulan seperti biasa, membuatnya sadar sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Selain keluarganya, ia juga mengingat sang kekasih yang harus ia tinggalkan—Pangeran San—pangeran pertama yang sangat ia cintai. Tak menyangka, setelah dijodohkan dan memiliki status sebagai calon istri pangeran pertama, kini status itu berganti menjadi calon pangeran kedua yang dibenci oleh banyak orang. Pangeran Rin, semua orang mengenal nama itu sebagai 'Putra Mahkota' yang angkuh, sombong, tidak telaten, suka membantah perintah raja, berakhlak buruk, bodoh, dan buruk rupa. Dia tidak pernah menghadiri rapat umum, selalu bolos, tidak pernah keluar dari kediaman dan tidak pula pernah bergaul dengan orang lain. Tak ada satupun pujian yang mengalir untuknya. Tak ada satu orangpun yang pernah melihat wajahnya. Tidak hanya itu, Putra Mahkota itu bahkan telah terhina sejak kelahirannya akibat tersebarnya catatan yang berisi ramalan tentang malapetaka yang dibawa atas kelahirannya.    Namun anehnya, raja tidak pernah menurunkan putranya itu dari posisinya sebagai pewaris tahta, meski seluruh rakyat telah berupaya melakukan penolakan. Semua orang memimpikan Pangeran San—kekasihnya—sebagai pangeran pertama, yang terkenal berbudi dan pintar itu memimpin tahta. Sayangnya, karena pangeran pertama hanyalah putra seorang selir, beliau tidak bisa mendapatkan gelar itu.   Dan sekarang semuanya telah berubah. Selir yang melahirkan pangeran pertama akhirnya diangkat raja menjadi ratu setelah ibu kandung Putra Mahkota meninggal dunia. Sejak itulah, pertempuran politik semakin panas.     *** Di dalam tandu yang menjemputnya, Ayuna meremuk gaun indahnya. Dia benar-benar sangat terluka. Dia menyandarkan tubuhnya pada sisi tandu dan tertunduk pasrah.    Demi nama baik keluarganya, demi janjinya kepada sang ayah yang tidak dia mengerti, dan demi sumpahnya kepada langit untuk mengungkap kebenaran, ia datang membawa harapannya masuk ke istana. Dia yang awalnya berniat kabur, pada akhirnya mengambil kesempatan itu. Mungkin saja, Putra Mahkota adalah satu-satunya orang yang bisa menolongnya seperti kata sang ayah. Sebelum hatiku tertutup oleh puing-puing kebencian, aku masih menguatkan diri untuk percaya akan menyelesaikan takdir buruk ini. Tapi, Seluruh keanehan itu membuatnya tak mengerti apapun. Bahkan wajah para pelayan yang mengiring langkahnya menuju istana sama menyedihkannya. Ia menoleh ke segala wajah yang terjangkau. Hatinya robek dengan luka yang semakin menyesak hingga ke jantung.  Wajah-wajah itu … mereka seolah bercerita tentang satu kisah malang. “Selamat datang, Nona.” Seorang pelayan senior membukakan pintu bilik sebuah istana megah. Tak terasa pikirannya yang melayang telah mengantarkan kakinya tepat di depan istana sang ratu. “Berikan sapaan hangat Anda kepada Yang Mulia Ratu, Nona. Beliau akan menjadi Ibu Mertua yang siap membimbing Anda.” Wajah pelayan senior itu juga sama anehnya. Dulu, aku memang ingin melihat wajah sang ratu. Para pelayan akhirnya membuka bilik itu, memperlihatkan ratu yang sedang menatap lurus tampak sedang menunggunya. Di depannya sudah tersedia seluruh hidangan lezat yang tak pernah ia temukan di desa. Seluruh pelayan membungkukkan tubuh mereka kepadanya. Menunjukkan betapa tingginya pangkat itu berada di tangannya. ”Mendekatlah kemari calon menantuku,” sapa ratu tepat setelah pintu itu terbuka. Tapi, Gadis itu membungkuk hormat padanya, berusaha tersenyum semanis mungkin lalu duduk bersimpuh di depannya. Seluruh pelayan menutup pintu bilik itu, bergegas keluar meninggalkan dia bersama ratu dan dua pelayan setianya. Aku baru tahu akan satu hal. Awalnya tak ada yang mencurigakan. Sesaat setelah pintu itu tertutup, ratu yang tadinya duduk lekas berdiri merapikan gaunnya. Dia maju beberapa langkah hingga berada tepat di depan gadis malang yang sedang kebingungan itu. “Singkirkan seluruh makanan ini,” perintah ratu kepada para pelayan. Sontak salah seorang pelayan menarik meja penuh hidangan itu sedikit menjauh. Ratu tetap berdiri di tempatnya, sedangkan sang gadis yang kebingungan masih duduk di tempat yang sama bersimpuh manis, menundukkan pandangannya, berlaku hormat pada calon mertuanya itu. Ratu tak secantik parasnya. “Bagaimana rasanya pangkatmu tiba-tiba naik? Bukankah menyenangkan, meninggalkan putraku Pangeran San dan menikahi pewaris tahta?” Ratu tersenyum padanya. Gadis itu menyipitkan mata. “Maaf, Yang Mulia. Hamba .. .” Aku takut akan situasi menyakitkan ini. “Cepat, cium kakiku,” potong ratu.  Tersentak, ia langsung mengangkat wajahnya, menatap wajah ratu yang dengan angkuh bersedekap di depannya. “Apa yang kau tunggu? Cepat! Cium kaki ratu!” tambah seorang pelayan. Ia yang sedang mendongak menatap heran. Setelah semua keanehan itu terjadi, nasibnya yang malang membuatnya semakin tertekan. Selain sang ayah yang dalam situasi buruk, takdir yang memisahkannya dengan Pangeran San membuatnya berkaca-kaca.  Hampir saja air mata menetes dari matanya, tapi gadis malang itu berusaha keras membawa seluruh kesabarannya masuk dalam genggaman. Dia meremuk gaun itu, mencoba menahan rasa amarah dan heran yang dari tadi telah menyatu. Dia menarik kembali napasnya dalam-dalam, mencoba untuk menerima takdir ini lebih lapang.  Awalnya ia enggan melakukan, tapi permintaan sang ayah kembali melintas di dalam pikirannya. Pikirnya, ini mungkin satu-satunya cara untuk melepaskan sang ayah yang ia sendiri tidak tahu ditangkap atas tuduhan apa. Dia mendekat, menyeret tubuhnya yang sedang bersimpuh hingga sampai di kaki ratu. Segera setelahnya, ia menundukkan setengah tubuhnya itu. Menyusuri lebih dalam soal kebencian ini, menciptakan lautan di pelupuk matanya. Pelan-pelan, hidung dan bibir mungilnya menempel pada kaki sang ratu, membuatnya menitikkan air mata tak kuasa. Bagaimana bisa gadis bangsawan dengan pangkat dan kasta tertinggi sepertinya diperlakukan dengan cara seburuk itu?  Cukup lama, hingga hampir saja puas ia menangis di kaki sang ratu. Ratu tersenyum hina setelah merasakan ada genangan air di ujung-ujung jari kakinya. Dia merasa sangat puas dan berkuasa.  Ratu membungkukkan badannya, meletakkan tangan kirinya di dagu sang gadis. Segera ia mengangkat wajah gadis malang yang sedang menangis itu dengan kasar. Aku yang bodoh dan tidak tahu apa-apa, akhirnya sadar ... istana ini mengerikan. “Gadis rakus dan tamak! Jangan mengotori kakiku dengan air mata putri seorang pengkhianat seperti dirimu yang menjijikkan itu!” Ratu lantas mendorong sedikit tangannya, sebelum akhirnya melepaskan genggaman itu dari dagu sang gadis malang. "Jangan kira kau punya tempat disini," kata ratu dengan angkuh. “Pengkhianatan yang ayahmu lakukan tidak akan bisa diampuni,” tambahnya.   DEG Ayah bukan pengkhianat. Ini fitnah! Gadis itu mematung dalam genangan air mata. Tak terasa, tetesan itu semakin deras saja. ** Sejak hari itu, Ayuna yang khawatir soal tuduhan pengkhianatan yang ditujukan kepada sang ayah terus saja melamun di dalam kediaman barunya di istana. Selagi mengikuti seluruh pelatihan dan pembelajarannya sebagai calon istri Sang Pewaris Tahta, dia terus saja memikirkan cara untuk membuktikan bahwa itu tidak benar.  Wajahnya merengut sedih menatap sepucuk surat dari sang kekasih beberapa waktu yang lalu. Setelah lama menyusun rangkaian cerita apik yang hendak terlaksana, takdir seolah tak berpihak sama sekali padanya.  “Nona, Putri Bitna ada di sini. Mohon kesediaan Anda untuk menyambut kehadiran beliau.” Mendengar laporan dari salah satu dayang yang menjaga pintu biliknya, Ayuna cekatan menyeka air mata. Ia meremuk surat dari sang kekasih masuk ke sela-sela gaunnya.  “Selamat datang, Yang Mulia Tuan Putri.” Tepat setelah sapaan itu menggema ke segala arah, deritan pintu bilik memompa Ayuna hingga menjadi sedikit panik saat sosok berparas cantik itu berdiri tepat di tengah pintu biliknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD