Putri Bitna

1303 Words
“Selamat datang, Yang Mulia Tuan Putri.” . . TPutri Bitna, ia adalah anak terakhir raja bersama ratu baru. Ia adalah adik kandung Pangeran San, dan saudari seayah dengan Putra Mahkota, Yang Mulia Pangeran Rin.    “Se-selamat datang, Tuan Putri. Adalah suatu kehormatan bagiku, Anda datang secara langsung menemuiku.” Meski sangat kesulitan, Ayuna mempertaruhkan dirinya demi sang ayah yang masih terjebak dalam kurungan bawah tanah. Saat itu, tak ada suara yang terdengar keluar dari mulut Putri Bitna. Ia menatap wajah Ayuna dengan mata penuh binar-binar harap. Namun tak lama setelah itu, Ayuna yang sedari tadi hanya membungkukkan tubuh memberanikan diri untuk menatap sang putri yang sedang tersenyum di depannya. “Tuan Putri?” panggilnya lemah lembut. “Tuan Putri, apa yang … .” “Kau mencintai kakakku?” pertanyaan itu memotong cepat kalimat Ayuna. Mata berbinar milik Putri Bitna menatap tulus Ayuna yang dirundung sakit. Hanya saja, Ayuna merasakan sesuatu yang aneh. “Aku … .” “Pangeran Rin, kau mencintainya?” tambah Putri Bitna menatap lekat kedua mata membola yang memantulkan cahaya lilin.  “Aku … .” “Wah, aku tidak menyangka akan memiliki Kakak Ipar secantik dirimu. Berapa usiamu? Sepertinya kita seumuran.” Putri Bitna melangkah mendekat pada Ayuna, meraih tangan kanannya dengan wajah ceria dan polos khas miliknya. “Putri, aku … .”  “Berjanjilah padaku, kau akan menerimanya dengan baik apapun yang terjadi. Kak Rin memang sedikit galak, tapi dia sangat baik dan sayang padaku. Ayah selalu memarahinya dan mengurungnya di istana. Kau harus menjadi penghibur yang baik untuknya.” Putri Bitna menarik Ayuna untuk duduk di atas ranjang. “Yang Mulia Tuan Putri, sebaiknya Anda kembali ke kediaman Anda. Menemui calon istri Putra Mahkota di malam pernikahan beliau adalah sebuah larangan.” Para pelayan menaruh cemas atas kedatangan Putri Bitna yang terkesan lancang.  “Aisss, tunggu dulu. Aku ingin melihat calon Kakak Ipar. Aku ingin menyampaikan harapanku padanya.” Putri Bitna menepis seluruh pelayan dengan wajah kesal.   Putri Bitna mendekatkan wajahnya kembali pada Ayuna. “Kuharap, kau benar-benar tulus menerima pernikahan ini.” Putri Bitna melempar senyum pada Ayuna, ia beranjak dengan raut wajah yang berbeda. Sebenarnya, apa yang telah terjadi? ** Sesaat setelah Putri Bitna keluar dari kediamannya, Ayuna kembali menitikkan air mata yang lebih deras lagi. Rasa sedih, sakit, bingung, dan penasaran bersatu menjadi satu kesatuan yang membuatnya sesak. Mia, pelayan setia Ayuna saat di desa yang resmi menjadi dayang istana tergesa-gesa mengulurkan sapu tangan pada sang tuan. “Nona, jangan menangis seperti ini. Aku jadi sangat terluka karenanya.” Mia ikut sesenggukan saat melihat Ayuna menangis seperti itu. “Mia, apa ada bulan malam ini? Aku ingin melihatnya.” Mia mengangguk cepat, memapah tubuh lemah Ayuna menuju beranda kediamannya. Tak sengaja, mata Ayuna berlabuh pada sosok yang sedang mendongak menatapnya dari luar pagar istana.  “Pangeran San?” lirihnya.  Kedua pasang mata itu bertemu dengan cara yang paling menyedihkan. Bukan karena tingginya tembok pagar istana, tapi tingginya kenyataan yang menopang takdir membuat mereka harus berpisah dengan cara tidak masuk akal ini. Bahkan tanpa sempat bertemu dengan sang kekasih, Ayuna sudah dipaksa pergi ke istana.  Pangeran San terus saja menatap Ayuna dengan tatapan kecewa dan marah. Ia lantas membuang muka dan segera meninggalkan tempat itu. “Pangeran San. Tidak, tidak … Pangeran San, kumohon jangan pergi dulu.” Ayuna menyisiri tepian beranda untuk terus mengikuti langkah pergi Pangeran San. “Mia kenapa dia menatapku seperti itu?” Ayuna mulai lagi terisak. “Mia, apa dia akan membenciku.” Ayuna terhenyak ke atas ubin dingin beranda. Mia yang saat itu ikut menangis, mencoba membantu Ayuna kembali berdiri. “Nona, Anda jangan seperti ini. Bukankah Anda ingin menyelamatkan Tuan Haksan? Anda harus melakukannya.” Mia menyeka air mata Ayuna dengan sapu tangan yang ia bawa. “Nona, mulailah melupakan Pangeran San. Anda akan menjadi istri Putra Mahkota.”  Ayuna terpojok oleh kenyataan. Ia menangis sejadi-jadinya. Istana telah mengurungnya hingga tak bisa berbuat apa-apa. Ia berpikir keras untuk melakukan sesuatu, tapi tak sengaja matanya tertuju pada sebuah lemari bersekat di sudut bilik. Ada sebuah kertas yang paling mencuri perhatiannya. Ayuna merangkak ke arahnya sembari tersedu-sedu. Dia lantas meraih kertas itu, kertas penuh tanda tangan yang waktu itu dilemparkan oleh para petugas yang menangkap sang ayah. Kertas itu ternyata adalah kertas petisi yang berisi ratusan tanda tangan dari para pejabat dan rakyat yang menyetujui hukuman mati untuk Tuan Haksan. Niat hati ingin menyobek kertas itu menjadi serpihan kecil karena sakit hati, matanya secara tidak sengaja mendarat di sudut kanan bawah kertas. Tempat di mana sebuah tanda tangan dari seseorang yang telah mengesahkan hukuman mati itu. "Putra Mahkota?" DEG DEG DEG Bagai disambar petir di malam penuh badai, bagaimana bisa Tuan Haksan memaksa putrinya untuk menikah dengan laki-laki yang sudah menjatuhkan hukuman mati untuknya? Tidak masuk akal. Pria hina itu … yang kukira akan menyelamatkan hidupku, Ayuna sesak napas. Ia terus memukul dadanya yang seolah dihimpit beton istana. Air matanya jatuh dengan tegas di atas kertas menyedihkan itu. Dia menyobek-nyobek kertas itu sembari berteriak. Menangis sejadi-jadinya. "Ayah kenapa aku harus melakukannya?!" … Putra Mahkota hina itu, ternyata adalah orang yang sudah menghancurkan aku. "Pria hina! Kau lebih pantas tersiksa baru kemudian mati! Kau memang pantas terhina dan mati!" teriaknya terisak mengutuk Sang Pewaris Tahta dengan sumpah serapah, sembari melempar potongan-potongan kertas itu ke udara. “Nona, tenangkan diri Anda, Nona. Nona! Beliau adalah calon suami Anda! Tenangkan diri Anda!” para pelayan memeluk Ayuna yang histeris. BRAKK! Suara pintu di dobrak membuat Ayuna dan pelayan di dalam bilik terperanjat. Tampak seorang dayang istana terengah-engah dengan wajah paniknya. “Nona, akademi militer telah diserang oleh orang-orang yang tidak dikenal.”   “Apa maksudmu?” tanya Mia mewakili Ayuna yang sedang sesenggukan. “Tuan Muda … Tuan Muda Jihan … beliau dikabarkan menghilang, Nona.” Saat itu, aku lantas terpaku pada sudut runcing penderitaan yang menombak jantungku. Begitulah awal dari penderitaan yang tiba-tiba saja merusak hidup Ayuna, sang gadis malang yang bersumpah akan membalaskan dendamnya.   *** Pada saat yang bersamaan, Putra Mahkota juga berdiri di balkon istananya. Dia terus mengarahkan tatapan itu ke arah barat, lokasi istana calon istrinya. Ini pertama kalinya, Putra Mahkota tidak tenang seharian. Dia tampak bersemangat, tidak seperti biasanya yang dingin, beku, dan suka marah-marah.  Kasim Jang (pelayan pribadi Putra Mahkota) senyum-senyum sendiri di belakang tuannya. "Yang Mulia, Anda tidak ingin masuk dulu? Angin sangat kencang, dan itu tidak baik untuk kesehatan Anda. Besok adalah hari pernikahan Anda. Anda harus senantiasa sehat dan bugar." Sang pelayan mencoba untuk membujuk Putra Mahkota masuk. "Apakah ada hak atasmu untuk melarangku menatap istana Permaisuriku?" tanya Putra Mahkota, hingga seluruh pelayan bergidik ngeri. Bagai anak panah, tatapan setajam elang itu menembus ruang kesadaran Kasim Jang. "Ti-tidak. Tidak, Yang Mulia." Sesuatu mulai menggentayangi pikiran para pelayan Putra Mahkota. Mereka mulai menaruh curiga pada Sang Pewaris Tahta. Sebenarnya, alasan Putra Mahkota meminta Ayuna menjadi istri secara curang … karena cinta, atau sebuah strategi?  Putra Mahkota tampak bergetar. Ia mengepal tangan kirinya membentuk sebuah simpul. Penekanan di ujung nadanya terkesan lirih. Ia melangkah cepat, kembali masuk ke dalam bilik penuh emosi.  Kasim Jang mencoba mengarahkan pandangannya pada jejak tatapan Putra Mahkota tadi, dan langsung menoleh keluar sana. Tampak Pangeran San yang baru saja beranjak dari luar istana calon sang permaisuri, membuat Kasim Jang mulai mengerti situasi. Sesuatu mulai menggentayangi pikiran para pelayan Putra Mahkota. Mereka mulai menaruh curiga pada Sang Pewaris Tahta. Sebenarnya, alasan Putra Mahkota meminta Ayuna menjadi istri secara curang … karena cinta, atau sebuah strategi? Putra Mahkota tampak bergetar. Ia mengepal tangan kirinya membentuk sebuah simpul. Penekanan di ujung nadanya terkesan lirih. Ia melangkah cepat, kembali masuk ke dalam bilik penuh emosi. Kasim Jang mencoba mengarahkan pandangannya pada jejak tatapan Putra Mahkota tadi, dan langsung menoleh keluar sana. Tampak Pangeran San yang baru saja beranjak dari luar istana calon sang permaisuri, membuat Kasim Jang mulai mengerti situasi.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD