Chapter 3

1583 Words
Naya menatap penampilannya di depan cermin dengan dahi yang berkerut. Sesekali tangannya memperbaiki tanda pengenal yang mengalungi lehernya. Kanaya Audelina F. Universitas Nusantara Departeman Humas (Mahasiswa magang) Naya tersenyum melihat tanda pengenal itu. Dia berharap suatu hari dapat mempunyai tanda pengenal itu secara tetap, sebagai pegawai perusahaan tempat dia magang saat ini. Sekali lagi Naya kembali melihat penampilannya di cermin. Kemeja putih dan celana kain terlihat begitu formal di tubuhnya. Tentu saja, ini hari pertamanya. Setidaknya dia ingin memberikan kesan rapi dan elegan. Jika diminta memilih, tentu dia akan memilih celana jeans lusuhnya. Sentuhan terkahir, Naya melapisi bibirnya dengan lipstick berwarna senada dengan bibirnya, agar tidak pucat. Dia tidak ingin berdandan terlalu heboh yang menimbulkan banyak perbincangan. Meskipun dia tidak cantik, tapi Naya tahu jika standar perempuan adalah terlihat segar dan wangi. Begitu telah selesai dengan penampilannya, Naya meraih tas dan almamaternya. Dia keluar dari kamar dan melihat Ibunya yang sudah berkutat di dapur. Kali ini bukan membuat adonan kue, melainkan bekal makanan untuknya. "Buk, maaf ya. Kayanya untuk dua bulan ke depan nanti aku jarang bantuin,” ucap Naya memeluk Ibunya dari belakang. Ibu Naya berdecak, "Emang kamu selama ini bantuin Ibuk?" Naya melepaskan pelukannya dan berdecak pelan, "Gagal deh sayang-sayangan." "Ini bekal buat kamu, langsung dimakan pas jam istirahat. Perlu bawa botol minum?" Naya mengangguk dan duduk di depan Ibunya, di meja makan yang sudah tersedia sarapan untuknya. "Penampilanku udah mantep kan, Buk? Nggak ada yang kurang?" Ibu Naya menatap anaknya dari atas ke bawah, kemudian tersenyum. "Anak Ibuk udah cantik." Naya menatap Ibunya aneh. "Tumben bilang cantik?" "Gagal deh sayang-sayangan," balas Ibunya persis seperti jawabannya tadi. Naya mencibir dan mulai memakan sarapannya. Dia ingin datang lebih awal di hari pertamanya. Ingat. Pencitraan itu penting. "Aku berangkat dulu ya, Buk." "Iya, hati-hati. Nanti kasih tau Ibuk kalau ada yang ganteng." Ibu Naya tertawa.   ***   Naya tersenyum sopan saat memasuki ruangan departemen humas. Ternyata sudah banyak pegawai yang datang. Naya meremas tas laptop di tangannya dengan cemas. Ke mana rasa percaya dirinya tadi? Kenapa mendadak hilang? "Ada yang bisa saya bantu, Dek?" tanya seorang pria yang berdiri di belakangnya. Sepertinya karyawan yang baru saja datang. Naya dengan cepat memberikan kertas rujukannya, "Maaf, Mas. Saya Naya. Mahasiswa magang." Pria itu menerima kertas dari tangan Naya dan membacanya. Perlahan senyum mulai merekah di bibirnya. Dia mendongak dan menatap Naya sebentar, setelah itu dia berteriak membuat seisi ruangan mulai menatap mereka penasaran. "Gais, ada korban baru nih!" Naya menggigit bibirnya dan beralih pada karyawan yang menatapnya penuh minat. Naya dapat melihat ada nafsu di tatapan tersebut, nafsu untuk menyiksanya. "Akhirnya ada yang bening juga di ruangan ini," celetuk salah satu pria. Mendengar itu Naya langsung tersadar, jika karyawan yang jumlahnya sekitar 15 orang itu hanya ada 2 wanita di sana. Ditambah 1 dengan keberadaan dirinya. Lamunan Naya buyar saat pria yang memperkenalkannya tadi menariknya ke tengah ruangan. "Ayo kenalan dulu, tapi pake pantun ya." "Masih hari pertama, Jed. Kenapa udah dikerjain?" Fira tertawa melihat tubuh kaku Naya. "Ayo kenalan, Dek. Jangan malu-malu sama Mas." Sahutan di belakang Naya bukannya membuat tenang, malah semakin membuatnya gugup. Oke, tenang Naya. Lo kan jenius! Pasti bisa mikir dalam keadaan kedesak gini. Perlahan Naya mulai memejamkan matanya untuk berpikir, setelah menemukan pantun yang tepat, dia mulai membuka matanya kembali. Rasa percaya dirinya pelan-pelan mulai datang. "Makan bakwan, cabenya lima. Nggak lupa minumnya es soda. Perkenalkan nama saya Naya, dari Universitas Nusantara." Setelah mengatakan itu, pria yang bernama Jedi lagi-lagi berteriak heboh dan bertepuk tangan. Semua karyawan juga bertepuk tangan membuat Naya merasa malu. Bahkan ada yang mengabadikan tingkahnya melalui video. "Selamat datang di departemen humas, Naya!" ucap Jedi lagi. "Siapa pembimbingnya, Jed?" tanya Arman, pria yang baru saja datang. Jedi melihat lagi kertas di tangannya dan menunjuk Raga, "Ini serius Mas Raga?" Jedi tertawa, "Nasibmu jelek banget, Nay." "Maksud lo apa?" Pria yang bernama Raga itu berdiri dan berjalan menghampiri Naya. "Raga," ucap pria itu mengulurkan tangannya. "Naya, Mas. Mohon bimbingannya ya." Naya tersenyum saat menerima jabatan tangan Raga. "Naya harus sabar ya di sini. Lihat mereka..." Raga menunjuk semua karyawan. "Rata-rata masih muda jadi jiwa menyiksanya masih berkobar, tapi nggak bar-bar." "Kalo Mas Raga sendiri suka nyiksa nggak?" Tiba-tiba Naya bertanya dengan beranimembuat semua orang menatapnya geli. "Dikit." Raga tertawa, "Tenang aja. Kakak-kakak di sini asik semua kok." "Idih, sok asik!" celetuk Fira merasa geli dengan tingkah Raga. "Nah, yang cewek bar-bar itu namanya Fira." Naya tersenyum dan mengulurkan tangannya untuk berkenalan. Perlahan Raga yang menjadi pembimbing Naya selama magang mulai memperkenalkan semua anggota humas. Godaan masih saja Naya terima namun dia memakluminya. Dia sering mendengar ini dari kakak tingkatnya. Sebenarnya magang itu tidak susah, hanya beradaptasinya saja yang membuat sulit. Jika sudah saling mengenal, kegiatan magang pasti akan menyenangkan. "Nah ini meja kamu, deket-deket aja sama aku. Biar nggak digodain sama yang lain." Raga menunjuk meja kosong di sebelahnya. "Modus! Liat bening dikit langsung samber!" Jedi yang duduk di hadapan Raga mencibir. "Emang gue petir?"   ***   Jam kantor telah dimulai. Suasana ruangan yang ricuh karena kedatangan anak magang perlahan mulai tenang. Naya yang di hari pertamanya hanya melakukan sesi perkenalan mulai tampak jenuh. Matanya mengedar dan melihat para karyawan tampak sibuk dengan pekerjaannya. Inilah dunia kerja. Mereka sangat serius untuk menyelesaikan pekerjaannya. Namun Naya bersyukur karena dia berada di departemen ini. Para karyawan yang berjiwa muda setidaknya akan membuatnya nyaman. Mereka masih nyambung jika saling melontarkan candaan. Naya sendiri mulai membuka laptop untuk menyibukkan diri. Raga sudah memberitahu jika dia akan menjelaskan tentang humas perusahaan nanti setelah jam makan siang, karena saat ini dia disibukkan dengan kunjungan dari universitas. "Nay, kamu masih nganggur kan?" Naya mendongak saat Fira bertanya, "Iya, Mbak. Nunggu Mas Raga balik nanti habis makan siang." "Bagus!" Fira melambai, "Bisa bantu Mbak nggak, Nay?" Dengan cepat Naya berdiri dan menghampiri meja Fira, "Bantu apa, Mbak?" "Ada beberapa artikel baru buat majalah perusahaan edisi bulan depan, kamu bantu revisi ya. Kalau udah nanti kasih ke Mas Arman," jelas Fira menunjuk layar komputernya. "Bisa, Mbak." Naya mengangguk mantap. "Oke, email kamu apa? Nanti Mbak kirim via email file-nya."   ***   Naya memakan bekal makan siangnya dengan lahap karena rasa lapar di perutnya. Ternyata artikel yang harus dia revisi tadi cukup banyak, tidak bisa asal revisi tentu saja. Oleh karena itu dia mendapat bimbingan dari Fira. Setidaknya wanita itu tidak melepaskannya begitu saja dalam mengerjakan tugas. Saat ini Naya sedang makan siang bersama Fira dan Arman di ruangan santai, ruangan tersembunyi yang dikhususkan untuk karyawan humas beristirahat. Fira dan Arman tidak makan di luar seperti karyawan lainnya dan memilih memesan makanan dari ojek online. "Kamu masak sendiri atau dimasakin, Nay?" tanya Fira menunjuk bekal Naya yang terlihat menggugah selera. "Dimasakin Ibuk, Mbak." "Bawa bekal terus dong nanti?" Naya mengangguk dengan mulut yang penuh, "Kayanya, Mbak." "Tiap jum'at nggak usah bawa bekal, Nay. Ada makan bersama soalnya. Kegiatan rutin." Naya menatap Arman yang memberitahunya lagi tentang informasi mengenai kebiasaan orang kantor, "Gitu ya, Mas?" "Iya. Kadang juga kalo mood-nya pak bos lagi bagus kita ditraktir." "Itu juga berlaku buat anak magang, Mbak?" tanya Naya penasaran. Fira mengangguk, "Berlaku kalo kamu jadi anak baik." "Aku baik kok, Mbak. Nggak pernah dugem." Arman mendengus, "Ya nggak gitu juga, Nay." "Paham kok, Mas. Serius banget sih." Naya tertawa. Melihat wajah Arman yang selalu lempeng seperti jalan tol, membuat Naya sering untuk menggodanya. Percakapan ringan saat makan siang membuat Naya lagi-lagi bersyukur. Tidak ada kata senioritas di sini. Para karyawan membimbingnya dengan baik. Terutama Fira dan Arman yang sudah memberikan pelajaran baru di hari pertamanya. "Oh iya, Mbak. Aku belum ketemu sama manajer humas." "Pak Bos lagi ngisi seminar kayanya. Tanggal berapa sih ini?" tanya Fira. "Iya, Pak Bos lagi seminar. Nanti habis makan siang juga balik, soalnya gue mau ngomongin masalah projek kegiatan baru." "Yang di Desa Ranum?" tanya Fira lagi. Arman mengangguk. Naya hanya bisa menyimak karena dia memang tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Setidaknya dengan percakapan itu, dia mulai tahu sedikit kegiatan apa saja yang dilakukan oleh humas. "Selamat siang!" Pintu terbuka dengan lebar dan muncul Raga yang mulai merebahkan dirinya di atas sofa. "Ya Allah, punggung gue remuk kayanya ini." "Udah makan siang, Mas?" tanya Naya. Raga melirik, "Kenapa? Mau nyuapin?" "Mas Raga mau? Ayo aaaaa." Naya mengangkat sendoknya. "Dikira bocah kali." Raga mencibir dan mulai memejamkan matanya. "Nanti bangunin ya kalo udah pada kerja. Asli punggungku berat banget!" "Ada tuyul nemplok kayanya, Mas," celetuk Naya lagi. "Nay, kalo lagi nggak asik rebahan gini udah aku ladenin omonganmu." Raga menatap Naya kesal, pura-pura kesal. "Maaf," sahut Naya polos, pura-pura polos. Pintu kembali terbuka membuat semua orang mulai menatap ke arah pintu. Naya terdiam kaku melihat pria yang baru saja datang. Kenapa dia bisa ada di sini? "Katanya ada anak magang, mana orangnya?" tanya pria itu bersandar pada pintu, masih belum menyadari keberadaan Naya. Dengan gugup, perlahan Naya mengangkat tangannya, "Saya, Pak." Terlihat pria itu menaikkan alisnya saat melihat Naya. Apa dia mengingat semuanya? Kejadian di restoran Sunda sudah dua bulan berlalu. Jika masih mengingatnya, Naya ingin lari saja rasanya dari tempat ini. "Kamu pacarnya Nara kan?" Mati! Naya tertawa canggung, "Bapak masih inget ternyata." Perlahan Rezal tersenyum tipis dan mulai berdiri tegak. Dia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku dan menatap Naya dalam. "Semoga betah ya." Masih dengan senyuman, Rezal berlalu pergi meninggalkan Naya yang terkejut dan terpesona di waktu yang sama. "Sinyal bahaya, Nay!" Fira menatap Naya dengan wajah seriusnya. "Kenapa, Mbak?" tanya Naya khawatir. "Siap-siap ya. Kamu bakal dihabisin sama Pak Bos." Arman menjelaskan. Ibuk!! Ternyata Bapak ganteng manager di sini!   *** TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD