Chapter 2

1099 Words
Dua bulan kemudian Rezal memasuki restoran Sunda dengan langkah pelan. Matanya mengedar untuk mencari seseorang yang ingin bertemu dengannya. Dia menatap ponselnya sekali lagi sebelum menemukan wanita dengan baju kuning yang duduk membelakanginya. Rambut panjang berwarna coklat dan kulit putih bersih pada wanita itu sangat cocok dengan ciri-ciri yang disampaikan ibunya lewat pesan singkat. Tanpa membuang waktu, Rezal segera datang menghampiri. Dia tidak bisa berlama-lama karena harus kembali ke kantor. Dia sengaja datang terlambat agar tidak menghabiskan waktu makan siangnya bersama wanita pilihan ibunya. "Hai, udah lama nunggu?" tanya Rezal mengulurkan tangannya. "Rezal ya? Belum kok, baru aja dateng," balas wanita itu menerima uluran tangannya. Rezal sendiri melirik pada dua gelas kosong yang ada di atas meja. Wanita itu berbohong, dia sudah lama menunggu. "Kamu mau pesen apa, Zal?" Rezal menggeleng, "Saya nggak pesen apa-apa. Nggak bisa lama soalnya." "Kenapa?" Terlihat wanita itu sedikit kecewa. Namun bukan Rezal jika tidak bisa bersikap acuh. "Harus balik ke kantor, ada rapat." Wanita itu tampak mengangguk dan menutup buku menu. Dia mulai menatap Rezal sepenuhnya. "Kamu kerja di mana, Zal?" "Di perusahaan BUMN." "Aku denger kamu manajer ya?" tanya wanita itu lagi. Rezal melirik sebentar dan mengangguk. "Humas," jawabnya singkat. Terjadi keheningan yang cukup lama di antara mereka. Sebenarnya Rezal bukan tipe orang pendiam, tapi dia juga tidak cerewet. Rezal masih bisa membicarakan hal yang ringan dengan orang lain. Namun tergantung juga dengan siapa dia berbicara. "Oke Rani, kalau nggak ada yang perlu diomongin lagi. Saya balik ke kantor ya?" "Rana." Alis Rezal terangkat mendengar itu, namun dia segera mengangguk setelah paham. "Oke Rana," gumam Rezal pada dirinya sendiri. Jujur saja dia tidak pernah mengingat wanita-wanita yang dikenalkan oleh Ibunya. "Kamu belum ada 10 menit duduk di sini lo, Zal." "Tapi saya harus balik." Rezal berdiri dan mengulurkan tangannya, "Sampai jumpa lagi, Rani." Setelah itu dia berlalu pergi. Wanita yang ditinggalkan itu hanya tersenyum kecut. "Rana, namaku Rana," gumamnya pelan menatap punggung Rezal yang menjauh pergi. Rezal menghentikan langkahnya yang akan masuk ke dalam mobil saat mendengar seseorang memanggilnya. Dia menoleh ke belakang dan mendapati Ardi, salah satu pegawainya di restoran Sunda tersebut. "Ada apa, Di?" "Pak Rezal sibuk nggak? Kita ada sedikit kendala sama pasokan ikan, Pak. Kalau bisa sih dibicarain sekarang, mumpung Pak Rezal dateng ke restoran." "Tapi saya nggak bisa lama ya." "Iya, Pak. Cuma sebentar kok." Rezal mengangguk dan kembali mengunci mobilnya. Dia sempat melihat Rana yang sudah pergi dengan taksi. Setidaknya Rezal akan aman jika kembali masuk ke restoran.   ***   "Mas Nara..." Naya kembali merengek dan menarik tangan kakak sepupunya yang sedang bekerja. "Aduh! Apa sih, Nay? Gue lagi kerja ini." Nara terlihat kerepotan dengan piring kotor di tangannya. Keberadaan Naya di sini semakin memperlambat gerak kerjanya. "Pinjem kamera, Mas." "Udah dibilang kameranya mau disewa temen gue." Nara masuk ke area dapur, tanpa sungkan Naya mengikutinya. "Tapi ini penting, Mas. Ada job lumayan. Udah aku acc juga, masa dibatalin," ucapnya dengan cemberut. "Ya mau gimana lagi? Kameranya udah di-booking sama temen." "Batalin, dong." Nara mendorong kepala Naya cukup keras, "Kamu aja yang nyewa kamera sana," ucapnya kembali keluar dari dapur dan kembali mengambil piring kotor yang ada di meja pelanggan. "Nggak mau, Mas. Mahal." "Resiko, Naya. Udah ya gue mau kerja, jangan ganggu!" Nara berusaha melepaskan lengannya dari cengkraman Naya. Adegan tarik-menarik masih terjadi sampai Nara tidak sengaja menabrak tubuh seseorang karena fokusnya yang terganggu. Bunyi suara pecahan terdengar nyaring di restoran itu. Perlahan Naya melepaskan tangannya dan menutup bibirnya tidak percaya. "Mas," bisik Naya pelan. Nara memejamkan matanya saat melihat siapa yang dia tabrak. Perlahan dia menunjukkan senyum konyolnya. "Pak Rezal," sapanya pelan. "Maafin saya ya, Pak." Rezal hanya diam dan menatap Nara dan gadis di sampingnya bergantian. Setelah itu dia juga melirik gelas dan piring yang telah pecah bertebaran di atas lantai. "Cepet bersihin, jangan buat pelanggan terganggu." Hanya itu yang Rezal ucapkan. Dengan cepat Nara memungut pecahan itu. Naya yang tersadar akan ketampanan pria di hadapannya juga ikut membantu Nara. Dia merasa tidak enak. Sungguh, dia tidak bermaksud mengacaukan pekerjaan sepupunya. "Lain kali jangan bawa masalah pribadi ke pekerjaan. Kamu jadi nggak fokus," ucap Rezal setelah Nara telah selesai membersihkan pecahan yang ada. "Pak, maafin Mas Nara ya." Entah kenapa Naya ikut membuka suara. Dia masih merasa bersalah. Rezal hanya menatapnya sekilas dan kembali beralih pada Nara, "Balik kerja. Suruh pacarmu pulang." Setelah itu dia berlalu keluar dari restoran. Melihat punggung lebar yang menjauh itu, Naya mengedipkan matanya berulang kali. Apa dia terpesona dengan pria asing itu? "Mas Nara, dia siapa?" tanya Naya masih fokus menatap punggung Rezal dari dinding kaca. "Bos gue," sahut Nara kesal. "Ganteng banget, Mas. Kayanya dia deh yang jadi jodoh aku." "Jangan mimpi!" Lagi-lagi Nara mendorong kepala Naya. "Udah pulang sana, nggak beres kerjaan kalo ada lo. Potong gaji deh ini." Seakan tersadar, Naya kembali meraih tangan Nara. Mencegah sepupunya itu untuk pergi. "Apa lagi?" sahut Nara malas. Naya berdecak dan menghentakkan kakinya pelan, "Pinjem kamera, Mas." "Duh, iya iya. Ambil sana di rumah!" Nara memilih menyerah dan berlalu pergi. Meninggalkan Naya yang tersenyum bahagia.   ***   Mata Naya fokus menatap ponselnya dengan pandangan penasaran. Jari-jarinya dengan lincah menari di atas di atas sana. Setelah menemukan apa yang dia cari, Naya mulai tersenyum bahagia. "Jadi namanya Rezal," gumam Naya setelah berhasil menemukan akun ** bos sepupunya di restoran. "Gusti, jantan banget!" Lagi-lagi Naya terpesona dengan salah satu foto Rezal yang sedang berolah raga.         "Kenapa Mas Nara nggak bilang kalo bosnya cakep gini? Emang bener ya, Tuhan memang adil. Kalo jelek ya jelek banget, kalo ganteng ya kayak Pak Rezal gini, gurih-gurih semriwing. Bikin hati adem." Suara gebrakan dari pintu kamar yang terbuka membuat Naya terlonjak terkejut dan ponselnya langsung terjatuh di atas wajahnya. Dia menyesal memilih untuk merebahkan diri tadi. Matanya melirik ke arah pintu dan mendapati Ibunya yang menatapnya tajam. "Jam berapa ini?! Kok belum tidur?" Naya melirik jam dinding dengan malas, "Baru jam 12, Buk." "Tidur! Besok kamu udah mulai magang." "Iya, iya.." Naya mulai memperbaiki posisi tidurnya dan menarik selimut. "Lagian Ibuk juga kenapa belum tidur?" tanya Naya saat Ibunya masih berdiri di depan pintu. Sedetik kemudian raut wajah Ibunya yang garang langsung berubah. Wanita paruh baya itu menggoyangkan kakinya geli dan berlalu pergi, "Ibuk kebelet pipis tadi," gumamnya dan berlalu masuk ke kamar mandi. Naya mendengus dan mulai memejamkan matanya. Namun dia kembali membuka matanya saat teringat akan hari esok, hari pertamanya magang. Gugup? Tentu saja. Dia akan bertemu dengan banyak senior di sana. Naya takut jika tidak bisa berbaur dengan baik. "Oke Naya, nggak perlu takut. Lo cuma perlu senyum dan nurut. Semua akan baik-baik aja." Naya menyemangati dirinya sendiri. "Iya baik-baik aja."   *** TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD