Nabila (Part 1)

1175 Words
Dungeon Pekanbaru terletak di tengah Zona Riau. Berbeda dengan Dungeon Banda Aceh yang berbentuk goa dalam gunung batu, dungeon ini tersusun dari hutan lebat dengan banyak aliran sungai dangkal. Pohon-pohon tinggi menjulang dililit oleh Piton—monster ular sepanjang sepuluh meter. Swamp Orc—monster humanoid berkulit hijau—tersebar di banyak titik perburuan. Nabila, Udin, dan Yosep berjalan dengan was-was menyusuri tempat tersebut. Nabila memimpin formasi. Tangan kanannya menggenggam sebilah pedang gladius, sedang tangan kirinya mengenakan pelindung yang ditempeli perisai bulat kecil. Ia mengarahkan perisai tersebut ke depan, bersiap untuk serangan mendadak. Di belakangnya Yosep membawa sebuah busur kayu yang ukurannya terlalu besar dibanding proporsi tubuhnya. Quiver coklat—wadah berisi anak panah—menggantung di punggungnya. Udin menjaga bagian paling belakang. Ia menggenggam erat sebuah pentungan—mirip pemukul bisbol—dari kayu. Senjata itu tergolong kategori [Mace]. Meski tak punya kemampuan menusuk atau membelah, senjata tumpul semacam ini unggul dalam menghancurkan armor lawan. Mereka melewati jalan setapak yang kanan kirinya berupa kubangan air. Tiba-tiba sesuatu menyembur keluar dari belakang. Makhluk itu memiliki rupa seperti buaya. Namun, ia dapat berdiri hanya menggunakan kedua kaki belakangnya. Tiap bagian bawah rahangnya mengembung lalu mengempis, terdengar suara geraman yang dalam serta mengancam. [Gator] Tanpa aba-aba, monster itu berlari ke arah Udin. “Woi! Woi! Woi!” Sang pemuda pun panik. Ia mengarahkan telapak tangannya ke depan. “[Sleep]!” Kegelapan memancar dari sana. Gator melihatnya. Tapi ia cuma berkedip. [Skill Sleep yang anda gunakan gagal] Notifikasi itu muncul. “Waduh! Waduh!” Udin bimbang. Sang monster sudah di depan mata. Maka ia membuat ancang-ancang untuk memukul pentungannya. “[Challenge]!” Tiba-tiba sinar terang memancar dari balik punggung Udin. Sang monster melihatnya. Kali ini tubuhnya tersentak. Sekejap kemudian ia mengubah target serangan. Ia melewati Udin seolah pemuda itu tak ada di sana. Sang Gator menyerang Nabila, yang saat ini dalam kuda-kuda bertahan. Hal itu terjadi karena barusan Nabila menggunakan skill [Challenge]. Di antara banyak akik, ada skill-skill yang berfungsi untuk menarik perhatian monster. Skill ini biasanya dimiliki oleh role Tank sebab mereka harus melindungi anggota party yang lain. Skill yang paling umum adalah [Provocation], efeknya murni memancing serangan lawan. Namun, Nabila memiliki varian lain yakni [Challenge]. Selain menarik perhatian monster, skill tersebut juga menurunkan pertahanan lawan sebanyak dua puluh persen, tapi di saat bersamaan meningkatkan serangan lawan sebanyak dua puluh persen. Bagai pedang bermata dua. Untungnya Nabila punya skill lain yang mampu menetralkan efek negatif dari Challenge. “[Zirah Berlian]!” Cahaya keperakan membentuk zirah transparan yang meliputi sekujur tubuh gadis itu. [Block] Serangan Gator tertahan sepenuhnya. Skill tersebut memberi efek [Invincible] yang memungkinkan Nabila memblokir semua serangan fisik yang ditujukan padanya. Dengan begitu tak peduli seberapa tinggi pun kekuatan serangan Gator ditingkatkan, tak akan berpengaruh padanya. “Yosep!” seru gadis itu. Si anak laki-laki segera mengangkat busur. Ia menjepit tali busur menggunakan jari telunjuk dan jempol, lalu menariknya. Secara ajaib anak panah terbentuk dari udara kosong. “[Windshot]!” Ia melepas tembakan tersebut. Sesaat kemudian ia menarik tali busurnya lagi, membentuk anak panah, melepasnya lagi, lalu menarik busurnya tali busurnya lagi. Ia melepas serangan elemen angin secara bertubi-tubi yang membombardir pinggang sang monster. Kerusakannya luar biasa. Kemudian Nabila mengangkat pedang. “[Cystal Strike]!” Bilahnya bercahaya. Ia menebas sang gator, menciptakan ledakan cahaya penghabisan disertai dentuman tajam. Monster itu pun hancur berkeping-keping. [Anda mengalahkan Gator] [Anda mendapatkan 1.180 exp] [Anda naik ke level 71] [Anda mendapatkan 3 poin status] [Anda mendapatkan 1 Kulit Buaya] [Anda mendapatkan 1 Jantung Reptil] Tiap anggota party mendapat exp dan item sama rata. Bahkan Udin yang nyaris tak berkontribusi pun apa-apa pun dapat bagian. “Selamet… selamet… Aku hutang nyawa lagi ke Mbak Nabila…” Udin menyeka keringat di dahinya. “Akik kampret! Nggak guna! Tipe support ampas! Serangan sama pertahananku bener-bener lembek.” “Skill support juga penting, kok,” ucap Nabila. Hanya saja Udin kurang setuju. “Mantap! Kerja bagus!” Tiba-tiba sekelompok orang datang menghampiri. Ketiganya berkulit sawo matang. Seorang pria mengenakan zirah ala kesatria Eropa abad pertengahan. Di sampingnya ada wanita dengan rambut keriting yang mengenakan jubah penyihir. Sedangkan yang berjalan di belakang adalah seorang laki-laki paruh baya. Badannya besar dibalut mythril—baju perang yang terbuat dari jalinan cincin besi. Bibirnya rapat dan matanya terlihat malas. Meski begitu, ada sesuatu dalam dirinya yang akan membuat siapapun tersadar bahwa ia adalah sosok utama yang dikawal oleh si pria dan wanita di depannya. “Jendral Norman! Bang Andreas! Kak Diana!” Udin cepat-cepat memberi salam. Andreas, sang pria berzirah, menjepit sebatang rokok di bibirnya. Ia menghisapnya khidmat, lalu mengepulkan asap tebal seperti cerobong kereta api. “Nabila. Seperti yang kukira, reaksimu bagus,” pujinya. “Sebagai Tank memang tugasmu melindungi rekan party. Caramu pakai skill juga udah bener.” “Terima kasih, Bang,” jawab gadis tersebut. “Yosep, kau ini kecil-kecil juga cabe rawit,” lanjut Andreas. “Tarikan panah kau itu mantap betul, nggak pake ragu.” “Makasih, Om,” jawab Yosep. “Kalau Udin…” Andreas mengerutkan keningnya. “Skill Sleep kau itu kok miss melulu, sih?” “Ha—habisnya—padahal skillnya udah level 10, Bang. Tapi kemungkinan berhasilnya cuma lima puluh persen…” jawab Udin. “Mana makin tinggi level musuhnya, keberhasilannya juga makin rendah…” Andreas berdecak, “Nggak guna banget.” “Eee…” Udin ingin protes, tapi ia sadar memang itulah kenyataannya. Ekspresinya kacau. “Becanda, kok, becanda! Hahahahaha!” Andreas tertawa sembari menepuk-nepuk bahu Udin. “Yang penting kau terus naikin level,” timpal Diana, sang wanita berjubah penyihir. “Nanti peluang suksesnya makin tinggi.” “Siap, Kak!” seru Udin kencang. “Tapi kalau kau terus-terusan jadi beban, nanti akan kupisah kau dari party nya Nabila!” ucap Andreas. “Kalau yang ini aku nggak bercanda, ya.” “Eee… jangan…” Andreas tertawa lagi melihat ekspresi memelas Udin. “Jendral.” Diana menoleh pada Norman yang sejak tadi diam saja. “Oh, iya, ahem.” Pria itu berdeham. “Baik, karena kalian sudah paham dasar-dasarnya, kalian saya nyatakan lulus dari pelatihan dasar berburu.” “Lulus? Horeee!” Cuma Udin yang berteriak girang. “Nah, kalau begitu sekarang kita bisa pulang ke Somba Opu,” ucap Diana. “Rekrutan yang lain juga pasti sudah selesai pelatihan.” “Siap, Kak!” Mereka menyelesaikan pelatihannya di Dungeon Pekanbaru, sebuah dungeon yang berada dalam kekuasaan Partai Beringin. Tempat itu memang biasa dijadikan area pengkaderan rekrutan baru. Sebenarnya ada instruktur yang biasa bertugas, tapi khusus untuk Nabila, Saleh langsung mengutus Norman sang Jendral Angkatan Bersenjata. Kelompok itu naik kapal yang berlabuh di tepian Sungai Siak, sungai besar yang membelah zona Riau. Udin tampak sangat menikmati perjalanan tersebut. Mungkin di dunia nyata ia belum pernah naik kapal laut. Akhirnya tingkah norak tersebut membuatnya jadi bulan-bulanan Andreas dan Diana. Sementara Nabila hanya memandang kosong ke perairan. Gadis itu sendiri tak menyangka ternyata ia berbakat dalam berburu. Ia memiliki ketenangan dan kemampuan menarik keputusan secara cepat. Ditambah lagi skill-skillnya sangat spesial. Namun, hal itu tak membuatnya bahagia. Ada suatu kekosongan dalam dirinya yang ia tak tahu bagaimana mengisinya.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD