Crash

1040 Words
Kini Sashi duduk di atas pasir sambil memandangi hamparan laut. Sedari tadi ia hanya melamun, memikirkan kesalahan apa yang telah ia perbuat sehingga Jio bisa tega melakukan pengkhianatan padanya. Atau mungkin Jio hanya merasa bosan? Sashi tidak bisa memungkiri bahwa Renata memang sangat cantik. Siapa sih yang tidak mau sama temannya itu? Sedari dulu Renata selalu menjadi rebutan, bahkan dua pria populer di kampusnya dulu sempat beradu otot padahal Renata sendiri tidak tahu bahwa ia tengah diperebutkan. Tapi kenapa? Kenapa harus Renata, teman baiknya. Jio bisa saja berselingkuh dengan wanita cantik lain. Selama ini Sashi sudah banyak sekali berkorban. Ia sampai menentang keluarga yang memintanya untuk melanjutkan pendidikan, namun Sashi lebih memilih berkarya dengan Jio hingga bisa sejauh ini. House of Skills baru saja merangkak ke atas. Sudah setengah tahun ini mereka kewalahan menerima project. "Lo juga kenapa tega banget sama gue, Ren?" tanya Sashi sambil memandangi laut, seolah Renata berada di sana. Pantas saja beberapa akhir ini Renata tidak banyak mengobrol dengan Sashi seperti biasa. Biasanya apa pun yang ia lakukan pasti akan diceritakan sambil makan siang berdua. "Apa kalian berdua ga peduli sama perasaan gue? Sekarang kalo udah kayak gini gimana nasib House of Skills?!" Tempat usahanya itu dikontrak menggunakan uang Sashi dan Jio. Beberapa peralatan seperti laptop untuk para staff, kamera, furnitur, sebagian besar menggunakan uang Sashi . Kalau sudah seperti ini, bagaimana usahanya itu akan berjalan lancar? "b******k!!" teriak Sashi sekuat tenaga sambil melempar kerang yang ia temukan ke arah laut. Setelah puas berteriak dan mencerna masalah kemarin, ia pun beranjak pergi dengan langkah lunglai. Sebaiknya ia menghubungi Noni atau Wiggy. Temannya yang lain pasti merasa khawatir dengan hilangnya Sashi . Bagaimanapun hanya mereka yang bisa menolong Sashi untuk pulang ke Bandung. Sashi juga berusaha untuk tetap profesional dan megesampingkan patah hatinya dulu. Mungkin ia butuh waktu seminggu untuk menenangkan diri. Rumah Jeff sudah tampak dari kejauhan. Betapa enaknya jika Sashi mempunyai rumah pantai minimalis seperti itu. Ia pasti sudah menghasilkan banyak karya. Sashi bertanya-tanya apakah Jeff tinggal seorang diri? Mungkin saja iya, mengingat ia belum berkeluarga. Sashi penasaran mengapa wanita yang ditunggu oleh Jeff tidak datang? Apakah wanita itu pacarnya atau hanya teman yang ingin ia jadikan pacar? Jeff lumayan tampan dan berkharisma, meskipun agak sedikit kaku. Pria itu sepertinya lima tahun lebih tua darinya. Sesampainya di rumah Jeff, terlihat ada seorang gadis sedang menyapu halaman belakang. Ia memakai kaus abu, rok selutut dengan rambut diikat kuda. Gadis itu mengerutkan kening ketika Sashi menaiki tangga menuju halaman itu. "Hai, aku Sashi, tamunya Jeff. Kamu siapa?" "Saya Wayan, Kak," jawab gadis itu sambil menyambut uluran tangan Sashi . "Asistennya Bang Jeff." "Ohh, Jeff masih ada di dalam, kan?" Wayan mengangguk. "Masih." "Oke, kalo gitu aku pamit masuk dulu, ya." Wayan kembali mengangguk. Sashi pun memasuki rumahnya yang pintunya terbuka lebar. Terdengar sayup-sayup suara yang sedang mengobrol. Langkah Sashi semakin pelan dan berusaha menajamkan indera pendengarannya. Sepertinya Jeff sedang berbicara dengan seseorang di telepon. "Aku cuman heran karena kamu baru ngabarin aku sekarang. Semalam aku nunggu hampir tiga jam, loh. Aku khawatir ada kejadian apa-apa sama kamu. Hape kamu juga tiba-tiba mati lama banget ga kayak biasanya." Jeff terdengar sedang menumpahkan kekesalannya yang sedikit tertahan. "Oke, kalo gitu kapan kamu bisa ke sini? Jadi aku harus nunggu satu bulan lagi? Ya sudahlah. Kabarin aja kalo ada apa-apa. Bye." Sashi memundurkan langkahnya pelan-pelan. Merasa tidak enak jika ia ketahuan nguping. Ia berhitung sampai sepuluh kali dalam hati, lalu menghampiri Jeff yang sedang duduk dengan kedua siku bertumpu pada pahanya. "Hey, I'm back!" seru Sashi seceria mungkin. "Oh, bagaimana? Udah enakan?" Sashi mengangguk. "Lumayan. By the way, apa pihak restoran udah ngehubungin kamu?" "Belum. Mau kita samperin aja ke sana supaya lebih pasti?" Sashi tidak enak jika terus-terusan merepotkan Jeff. Bagaimanapun Jeff sudah berusaha inisiatif menghubungi pihak restoran. "Uhm... aku bisa pinjam dulu hape kamu aja? Mau ngehubungin temen. "Kamu mau telpon?" "Aku ga hapal nomor-nomor mereka, sih. Paling aku hubungin di inbox media sosialnya aja. Boleh?" Sashi tahu bahwa ponsel merupakan ranah pribadi. Tapi mau bagaimana lagi, ia sedang dalam keadaan terdesak. "Kalau gitu pakai laptop saya aja. Mau?" Sashi pun mengangguk tegas. "Nah iya, boleh boleeh..." Jeff beranjak ke sebuah ruangan, lalu kembali membawakan MacBook berwarna silver yang langsung diserahkannya pada Sashi . Di situ sama sekali tidak ada applikasi media sosial seperti f*******:, Twitter, i********:, bahkan w******p. Jadi Sashi membukanya via browser. Ia memasukkan username i********: dan passwordnya, lalu betapa terkejut ketika terdapat ratusan notifikasi dan inbox. Sashi berpikir, mungkin teman-temannya spam komen karena khwatir Sashi menghilang. Namun begitu ia membaca notifikasi tersebut, banyak komentar belasungkawa. "Hah! Siapa yang meninggal?" tanya Sashi pada dirinya sendiri. Dengan tangan gemetar ia lalu membaca salah satu komentar tersebut yang dikirim oleh Noni, si Vokalis yang ikut ke villa kemarin. [Inalillahi wainaillaihi rajiun, Sashi .... Beb, sumpah berasa kayak mimpi banget. Kenapa lo tiba-tiba pergi duluan? Gue selamanya akan ngerasa bersalah karena kemaren ga ngalangin lo pergi. You're the best friend and the best partner I've ever had. Sashi , pls maafin gue T_T] Beribu pertanyaan berkecamuk di kepala Sashi saat ini. Mengapa teman-temannya menganggap Sashi sudah mati? Meskipun Sashi dikhianati oleh pacar dan temannya sendiri, ia sama sekali tidak terpikir untuk mengakhiri hidupnya secepat itu. Mengapa teman-temannya menganggap Sashi selemah itu? Sashi terus menggulir kolom komentar. Sama sekali tidak ada penjelasan bagaimana mereka menganggap dirinya telah mati, karena tidak mungkin jika tanpa bukti. Karena tidak sabar, ia pun hendak melakukan panggilan telepon di i********: dengan Noni. Namun Jeff keburu datang lagi menghampirinya. "Ngomong-ngomong, apa kamu tadinya ada rencana pulang hari ini ke Bandung?" tanya Jeff dengan wajah yang tertuju ke layar ponsel. "Nggak, tadinya aku mau pulang lusa. Kenapa?" Jeff mengangkat wajahnya dari layar ponsel untuk melihat Sashi . "Ada kecelakaan pesawat, nih, dari sini ke arah tujuan Bandung." Lutut Sashi seketika lemas. "Hah?" Ia sebenarnya selalu takut berada di ketinggian. Sangat membenci penerbangan udara. Jadi ketika mendengar itu, otomatis bulu kuduknya bergidik ngeri. Andai saja jadwal penerbangannya hari ini, mungkin nyawanya sudah tidak ada. Pikirannya kembali tertuju lagi ke komentar-komentar di i********: tadi. Ia merasa kejadian ini ada hubungannya. Jadi ia membuka website portal berita mengenai kecelakaan pesawat dan melihat daftar korbannya. Benar saja, nama SASHI ARMELLYA THANOVA ditulis sebagai salah satu korban kecelakaan tersebut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD