4. Kegelisahan Nevan

1628 Words
Hannah menyerahkan selembar uang kepada Mang Damar setelah menurunkannya di depan gedung rusun Cempaka Putih. Langkahnya gontai menuju tangga yang menghubungkan ke arah unit rusunnya yang berada di lantai dua. Pikirannya terforsir karena seharian bekerja, apalagi sejak kemarin malam ia mengalami gangguan tidur. Bayangan saat Nevan menggerayangi tubuhnya selalu melintas setiap kali ia memejamkan mata. Klek. Pintu rumahnya terbuka, Hannah segera mendekati Fahmi adiknya yang tengah asyik membaca buku di kasur lantai dengan televisi menyala. "Mbak Hannah!" sapa Fahmi seraya berpindah posisi menjadi duduk dan menutup bukunya. "Gimana udah baikan?" tanya Hannya seraya menyentuh kening Fahmi untuk mengecek suhu tubuhnya. Semalam Fahmi tiba-tiba menggigil dengan suhu tubuh 38°c dan hari ini ia harus izin tidak masuk sekolah. Sejak divonis menderita sakit jantung Fahmi sering izin tidak masuk sekolah. Ia sering demam dengan tubuh lemas serta rasa nyeri di dadanya. "Udah enakan kok Mbak, oya aku buatkan minum Mbak Hannah dulu," pamit Fahmi sembari beranjak dari tempatnya menuju kulkas. Hannah meletakkan tasnya di atas meja lalu meluruskan kedua kakinya. Ia lepaskan syal dan blazer lalu meletakkan di atas pangkuannya. Tak lama Fahmi datang dengan segelas teh dingin dan menyerahkan pada Hannah. "Makasih Dik," ucap Hannah seraya meraih gelas tersebut lalu meneguknya hingga tandas. "Mbak maaf ya karena aku Mbak Hannah jadi begini," ucap Fahmi sendu menatap Hannah yang seketika tersenyum menatapnya. "Kenapa kamu bilang begitu?" "Buruan bersiap-siap kita akan menemui dr. Galih sore ini, semalam Mbak Hannah sudah telepon dan dapat antrean nomor 3 jadi kita jangan sampai telat," sambung Hannah mengalihkan pembicaraan. "Aku berjanji Mbak akan segera sembuh dan segera lulus agar bisa cepat cari pekerjaan dan...." "Kamu tidak perlu memikirkan hal itu, yang terpenting sekarang kamu harus fokus sekolah dan segera sembuh," sela Hannah sebelum Fahmi melanjutkan ucapannya. Hannah tidak ingin melihat kesedihan dan kerapuhan di kedua mata adiknya setiap kali Fahmi mengungkapkan perasaannya. "Mbak Hannah mandi dulu dan salat, kamu ganti baju gih!" lanjut Hannah lalu beranjak dan mengacak puncak kepala Fahmi dengan sayang. Pukul 04.30 mereka sampai di rumah sakit Medical Center tempat dr. Galih praktik. Dokter spesialis jantung berwajah tampan dan muda itu sudah menjadi dokter tetap yang menangani Fahmi sejak ia divonis menderita sakit jantung aritmia sejak 4 bulan lalu. Dari penjelasan dr. Galih Aritmia adalah kelainan irama jantung yang menjadi pertanda adanya gangguan sistem kelistrikan jantung yang membuat irama jantung bisa terlalu cepat, terlalu lambat, atau tidak beraturan sama sekali. Kondisi ini terjadi akibat terganggunya rangsangan listrik yang mengatur detak jantung, sehingga jantung tidak bekerja dengan baik. Pengamatan dr. Galih menyebutkan bahwa penyebab utama Fahmi menderita penyakit ini karena tekanan dan stress berat yang ia pendam sendiri selama ini. Dan tentu saja Hannah tahu penyebab Fahmi tertekan dan stress. Terpaksa Hannah menceritakan peristiwa yang menimpa dirinya dan Fahmi tiga tahun silam pada dr. Galih. Bagaimana kehidupannya dulu di Surabaya ketika orang tua mereka masih hidup hingga kecelakaan yang menimpa mereka semua. Kejujuran Hannah justru membuat dr. Galih merasakan kejanggalan sekaligus rasa iba. Namun, Hannah cukup tahu diri tidak menceritakan semuanya secara detail karena Hannah sendiri tidak pernah tahu bagaimana ia dan Fahmi bisa berada di Jakarta. Bahkan rusun tempat ia tinggal sepertinya sudah dipersiapkan untuk mereka. Lebih anehnya lagi Hannah menerima sepucuk surat yang mengatakan jika dirinya dan Fahmi harus tinggal di sini dalam jangka waktu yang tidak ditentukan demi keselamatan mereka. Selama sebulan tinggal di rusun tersebut Hannah memanfaatkan uang yang disertakan dalam amplop coklat di bawah surat tersebut untuk memenuhi kebutuhan mereka selama Hannah belum mendapatkan pekerjaan. Hasil konsultasi tersebut dr. Galih memutuskan akan melakukan tindakan ablasi jantung yang memiliki kesembuhan permanen 97%. Dan besok Fahmi harus dirawat untuk menjalani observasi oleh tim dokter sebelum tindakan operasi dilakukan. Mengingat Fahmi akan segera sembuh membuah hati Hannah bahagia luar biasa. Pengorbanannya tidak akan sia-sia. *** Nevan baru saja melepaskan jas dan meletakkan di punggung kursi kebesarannya saat melihat kepulan kopi panas beradu dengan sinar mentari yang memenuhi ruangannya. Kopi favorit racikan sekretarisnya yang setiap pagi ia nikmati. Nevan menghembuskan nafas kasar karena lagi-lagi harus mengingat wajah sendu Hannah. Gadis itu seolah telah menghipnotisnya hingga membuat pikirannya selalu dipenuhi dengan wajah Hannah. Nevan segera menggelengkan kepala untuk mengusir rasa yang mengusik hatinya sejak beberapa hari lalu sembari membuka laptop dan menyalakannya. Ia harus segera mengecek email yang kemarin belum sempat ia buka. Hari ini tak seperti biasanya Nevan datang terlambat ke kantor. Semua karena Elnara mamanya yang memaksa Nevan untuk segera berkenalan dengan Alicia, gadis pilihan mamanya. Nevan meraih gagang telepon di mejanya lalu menekan nomor yang menghubungkan ke meja Hannah. Seraya menunggu jawaban, Nevan memainkan bibir cangkir kopi dengan ujung jarinya. "Tumben jam 9 Hannah belum masuk ruangan gue," gumam hati Nevan karena Hannah belum juga menerima panggilan teleponnya. Nevan meletakkan kembali telepon di tempatnya lalu ia meraih kopi yang sedari tadi menjadi sasaran kekesalannya. Saat cairan hitam pekat itu menghangatkan kerongkongannya barulah Nevan sadar jika kopi itu bukan buatan Hannah. Ia letakkan kembali gelas itu dengan kasar hingga percikannya mengenai meja. "Tony segera ke ruangan saya!" Suara bernada tinggi itu menggema sebelum sebuah map terlempar jauh dari meja kerja Nevan. "Maaf, ada apa Pak?" tanya Tony dengan terkejut saat melihat ruangan sang bos yang tidak seperti biasanya. Tanpa perintah Nevan Tony segera memunguti berkas-berkas yang berserakan di lantai. "Di mana Hannah? Kenapa jam segini dia belum ke ruangan saya? Telepon saya juga tidak diangkat!" geram Nevan dengan suara lantang yang membuat Tony segera menundukkan wajahnya. Tak biasanya sang bos murka seperti ini. Selama ini bila suasana hati sang bos sedang buruk ia akan mengajak Tony untuk menemaninya pergi ke night club. Biasanya Nevan akan bersenang-senang bersama teman-teman sesama eksekutif muda dengan ditemani alkohol dan para wanita seksi di sisi mereka. Tapi anehnya setiap kali Nevan akan memasuki night club ia selalu melarang Tony menyentuh alkohol meskipun Nevan tahu Tony bukan pecinta minuman beralkohol seperti dirinya. Nevan memerintahkan Tony agar membawanya pergi jika dirinya sudah tak sadarkan diri karena pengaruh minuman tersebut. Yang itu artinya Nevan tidak mau berakhir di atas ranjang bersama wanita yang tak diinginkannya. "Apa Hannah tidak izin Bapak? Hannah tidak masuk kerja karena sakit," terang Tony sembari meletakkan berkas yang telah ia rapikan ke atas meja Nevan. "Sakit?" gumam Nevan lirih yang seketika membuat Tony heran karena melihat ekspresi tak biasa sang bos. "Iya Pak, Hannah sakit. Itu yang Hannah sampaikan kepada saya tadi pagi," sambung Tony dengan alis berkerut memperhatikan Nevan yang seketika terdiam dengan rahang mengeras. "Sebaiknya kamu ke luar dari ruangan saya, dan hari ini saya tidak ingin diganggu oleh siapa pun," perintah Nevan yang seketika membuat Tony beringsut ke luar dari ruangan Nevan sebelum ia menjadi sasaran empuk amukan bosnya. Setelah kepergian Tony ia mengeluarkan ponselnya dari dalam saku jas. Ia buka kunci layar ponselnya dan menemukan beberapa panggilan tak terjawab dan pesan singkat Hannah yang meminta izin untuk tidak masuk kerja hari ini. Dua jam berlalu Nevan tenggelam dalam tumpukan berkas. Membaca dan mempelajari dengan detail sebelum menandatanganinya. "Apa yang terjadi dengan gue?" gumam Nevan putus asa karena berkas-berkas di hadapannya tidak juga berhasil mengenyahkan pikirannya tentang Hannah. "Gue Rivandra Nevan Setiadi, apa pun bisa gue dapatkan dengan mudah. Ngapain juga gue mikirin wanita jal@ng itu, gue bisa dapatin gadis mana pun yang gue mau," gaung hati Nevan dengan angkuh untuk mempertahankan egonya. Dering ponsel mengalihkan pikiran Nevan sejenak saat nama Mama tertera di layar ponselnya. "Assalamualaikum, ada apa Mama Sayang?" ucap Nevan dengan berpura-pura bersikap lembut. Ia masih kesal dengan percakapan mereka tadi pagi. "Waalaikumsalam, Temui Alicia di restoran Jepang siang ini, dia akan menunggu jam 1 di sana!" perintah Elnata dengan nada yang Nevan hafal sebagai perintah yang tidak bisa diganggu gugat. "Siap Mama sayang!" "Awas kamu kalau beralasan lagi!" ancam Elnara yang seketika mengundang tawa sumbang Nevan. "Mama yakin nggak akan cemburu jika cintaku terbagi dengan wanita lain?" goda Nevan seraya menahan tawanya karena berhasil menggoda sang mama. "Mama serius Nevan," lirih Elnara seraya menghembuskan nafas kasar. "Iya Mama, I love you," kekeh Nevan lalu berakhir dengan ucapan salam. Pukul 12.30 ia menghentikan aktivitasnya. Ia raih jas lalu mengenakannya. Dan tentu saja Nevan segera melangkahkan kaki menuju pintu ke luar karena mamanya kembali menelpon untuk mengingatkan janjinya bersama gadis bernama Alicia. Tony tersenyum sembari mengangguk lalu mengikuti langkah Nevan menuju lift khusus petinggi perusahaan. "Kapan ya Ton Jakarta ini terbebas dengan yang namanya macet? Menyebalkan!" keluh Nevan saat melihat dirinya terjebak dalam kemacetan panjang. "Hehehe bukan Jakarta Bos namanya kalau nggak macet gini, apalagi ini jam sibuk makan siang!" balas Tony dengan santai. "Coba bukan Nyonya Besar yang memerintah nggak bakalan gue sudi menemui gadis itu," sambung Nevan yang seketika mengundang tawa Tony. "Perintah permaisuri adalah titah Pak!" balas Tony yang seketika mendapatkan pukulan keras di bahunya. Tony tersenyum lega karena akhirnya Nevan kembali seperti biasa. "Terimakasih Ton untuk semuanya," ucap Nevan tulus. Bagi Nevan hubungan dirinya dan Tony bukan hanya sekadar hubungan bos dan anak buah tetapi seorang sahabat yang selalu setia mendampinginya. Mobil yang mereka tumpangi akhirnya berhasil ke luar dari kemacetan yang mengular. Ia tilik jam di pergelangan tangannya yang sudah menunjukkan pukul 13.25 yang artinya ia sudah telat setengah jam dari waktu yang telah ditentukan mamanya. Namun, pandangan Nevan tiba-tiba terpaku pada sosok gadis yang sejak tadi pagi mengusik hatinya, ia tengah berdiri di pinggir jalan raya menunggu lampu hijau menyala bagi para pejalan kaki untuk menyeberang jalan. "Hannah," gumam Nevan tanpa suara sembari menengok ke arah belakang saat mobilnya telah melewati tempat Hannah berdiri. Karena mobil yang ia tumpangi berjalan merayap Nevan masih sempat melihat Hannah menyeberang jalan sambil menenteng sebuah kantong kresek memasuki halaman rumah sakit Medical Center. "Apa ada masalah Pak?" tanya Tony heran melihat sikap Nevan yang aneh seraya menatap ke arah belakang melalui kaca spion. "Nggak papa, jalan saja!" balas Nevan lalu segera membenarkan posisi duduknya. __________________&&&_________________ Judul Buku : Night With CEO Author : Farasha
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD