TANDA BAHAYA

1259 Words
Langkah Naya berhenti sejenak di ambang ballroom ketika lampu kristal di atas kepalanya berkilau seperti serpihan bintang yang meluncur perlahan. Cahaya itu memercik di permukaan lantai marmer sehingga ruangan terlihat berdenyut bersama musik jazz yang mengalun lembut. Para tamu-tamu bergaun mahal bergerak anggun membawa segelas anggur, saling menimbang satu sama lain melalui senyum diplomatis yang seringkali lebih tajam daripada pisau analisis pasar. Alvaro berjalan sedikit di depan, tubuhnya tinggi tegap dan sepenuhnya memerintah ruangan tanpa harus mengucapkan namanya. Tatapannya lurus, irama langkahnya stabil, dan sikapnya membuat siapapun yang hendak mendekat berpikir dua kali. Naya berusaha menyesuaikan langkah sambil mengatur napasnya agar tidak terdengar goyah. Gaunnya bergerak seperti air yang mengikuti tubuhnya, memantulkan aura tenang yang kontras dengan degup jantungnya. Eleanor, sang sekretaris yang terkenal tajam dan efisien, menunggu mereka di sisi ruangan sambil membawa tablet. Rambutnya disanggul rapi, bibirnya dilapisi warna merah tua yang tampak semakin tegas di bawah cahaya lampu. Ia menyodorkan informasi tanpa perlu banyak penjelasan. “Mr. Kazuya sudah tiba lima menit lalu. Investor dari Dubai meminta lima menit bicara setelah pidato. Media tidak diizinkan mengambil gambar area balkon. Dan satu hal lagi,” Eleanor menatap Naya sejenak dengan sorot yang mencoba menilai, “hati-hati dengan tamu wanita yang duduk dekat pilar timur. Ia mantan klien lama yang pernah mencoba mendekati posisi Ibu lebih dari yang seharusnya.” Naya terkejut mendengar sapaan formal itu. Eleanor selalu menggunakan kata Ibu jika sedang berada dengan publik, namun nada suaranya seolah mengatakan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang seperti peringatan. Sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, seorang wanita high class melangkah masuk dalam jarak cukup dekat. Wanita itu mengenakan gaun hitam yang memeluk tubuhnya, rambutnya disisir lembut ke belakang, memberikan kesan keindahan yang dipahat dengan penuh kepastian diri. Ia tersenyum pada Alvaro, senyum yang seperti sudah direncanakan jauh sebelum acara dimulai. “Alvaro,” ucapnya dengan suara manis yang memanjang, “aku tidak menyangka kamu membawa pendamping. Biasanya kamu lebih suka datang sendirian dan membuat satu ballroom sibuk menebak-nebak siapa wanita yang akan kamu temani malam itu.” Naya langsung bisa merasakan bahwa wanita itu sengaja berbicara keras agar beberapa tamu di dekat mereka mendengar. Situasi seperti itu mudah sekali dimanfaatkan untuk menciptakan rumor. Alvaro tidak terganggu. Ia hanya menggeser posisi tubuhnya sedikit sehingga berada lebih dekat dengan Naya, membuat jarak di antara mereka seolah dirancang untuk memberi batas yang jelas. “Aku datang dengan istriku,” jawab Alvaro dengan nada datar yang membuat wanita itu kehilangan momentum. Kata itu memukul udara seperti sesuatu yang tidak bisa dibantah. Beberapa tamu berhenti bicara untuk menoleh. Wanita itu tersenyum tipis, namun tatapannya mengamati Naya seperti sedang menemukan sesuatu yang ingin ia robek pelan-pelan. “Oh begitu,” katanya sambil mengarahkan pandangan ke Naya, “kamu beruntung sekali. Tidak banyak yang bisa membuat pria ini membawa seseorang ke acara penting.” Naya membalas dengan sopan, “Terima kasih. Aku pun merasa beruntung bisa berada di sini.” Wanita itu mengangkat alis, jelas tidak menyukai jawaban yang tidak memosisikan dirinya sebagai pusat percakapan. Ia pergi dengan anggun, meski ekor gaunnya bergerak terlalu cepat, seolah ia ingin segera keluar dari percakapan yang tidak berjalan sesuai rencananya. Begitu wanita itu menjauh, Alvaro meraih pinggang Naya dengan sentuhan yang tidak keras namun cukup dalam untuk membuat tubuhnya seketika memanas. Cara Alvaro menyentuhnya tidak pernah berlebihan, tetapi selalu memiliki efek yang tidak bisa dikendalikan. “Kamu menjawab dengan baik,” ucap Alvaro pelan. “Aku hanya mengikuti situasi,” jawab Naya sambil menahan napas karena ia bisa merasakan kehangatan Alvaro tepat di sampingnya. “Kamu melakukannya sempurna.” Naya hampir tidak sempat meresapi pujian itu karena tiba-tiba ia melihat sosok yang membuat kepalanya terasa kosong. Di sudut ruangan, berdiri seseorang yang tidak seharusnya muncul di dunia megah seperti ini. Seseorang yang membawa fragmen masa lalu yang ia kira sudah ia kubur dalam-dalam. Rizal. Tubuh Naya menegang begitu cepat sampai-sampai Alvaro langsung menyadarinya. Ia mencondongkan kepala, mengamati perubahan napas dan ketegangan bahu Naya dengan ketelitian yang tidak dimiliki manusia biasa. “Siapa dia,” tanya Alvaro dengan suara yang jauh lebih rendah dari musik jazz. Naya menelan ludah sebelum menjawab, “Seseorang dari masa lalu. Seseorang yang tidak semestinya tahu aku di sini.” Alvaro mengamati Rizal selama beberapa detik. Matanya menajam seperti sedang mengukur jarak antara mereka dan ancaman itu. Setelah memastikan bahwa Rizal tidak bergerak, ia meraih segelas sampanye dari meja pelayan dan menyodorkan satu kepada Naya. “Kita tetap berdiri di pusat ruangan. Jangan ke sudut mana pun,” ujar Alvaro. Naya mengangguk. Namun ketika ia mengangkat gelas, tangannya sedikit bergetar sehingga permukaan sampanye memantulkan cahaya lampu seperti getaran kecil. Alvaro melihat itu melalui ekor matanya lalu memindahkan posisi lebih dekat. Ia mengangkat tangannya dan membiarkan jari-jarinya menyentuh punggung tangan Naya agar ia tidak kehilangan kendali. “Tarik napas perlahan,” bisik Alvaro. Sentuhan itu membuat Naya merasa seluruh ruangan berubah kecepatan. Ia bisa merasakan bagaimana Alvaro mengatur ulang energinya agar tidak tampak mencolok, tetapi tetap memberikan perlindungan yang sangat nyata. Pernyataan resmi acara dimulai. Penyiar memanggil nama Alvaro untuk memberikan sambutan. Ketika Alvaro bergerak menuju panggung, Naya masih berusaha mengendalikan gejolak dalam dadanya. Pidato Alvaro berlangsung singkat, namun tegas. Setiap kata yang ia keluarkan membuat para pemegang saham terdiam, seolah ruangan itu tidak diizinkan bernafas sebelum ia selesai berbicara. Ketika Alvaro kembali ke sisinya, tatapannya langsung tertuju pada Rizal yang tampak mencoba mengitari kerumunan. Alvaro tidak menegur siapapun, hanya menggerakkan tangannya sedikit. Eleanor yang berada tidak jauh langsung mengaktifkan beberapa perintah melalui tabletnya. “Aku sudah meminta kepala keamanan mengambil tindakan,” ujar Alvaro. Tatapannya tidak lepas dari sosok yang bergerak licik dari sudut ruangan itu. Rizal sempat mencoba mendekat, tetapi dua petugas keamanan yang menyamar sebagai tamu biasa mendekat ke arahnya. Mereka berbicara dengan suara rendah namun sikapnya tegas, membuat Rizal tidak punya pilihan selain mengikuti mereka meninggalkan gedung. Segalanya berjalan mulus tanpa menarik perhatian publik. Ballroom kembali seperti sebelumnya, seolah bahaya baru saja ditutup rapat di balik pintu. “Kamu aman sekarang,” kata Alvaro sambil menatap Naya. Naya menundukkan kepala sedikit. Ada rasa lega yang meluncur deras namun bercampur dengan gejolak lain yang lebih lembut. Gejolak itu datang dari kedekatan Alvaro, dari perhatian yang ia tunjukkan, dan dari cara ia memperlakukan Naya seolah memang istrinya, bukan hanya pasangan kontrak. Acara berlangsung hingga mendekati tengah malam. Setelah para tamu-tamu VIP berpamitan satu per satu, Alvaro membawa Naya ke balkon yang menghadap kota. Udara malam menyentuh kulit mereka, menciptakan ruang hening yang jauh lebih jujur dibandingkan ballroom yang dipenuhi percakapan. “Terima kasih,” ucap Naya. Alvaro mengamati wajahnya tanpa mengalihkan pandangan. Matanya tajam namun ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang seperti ingin membaca apa yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. “Aku tidak melindungi kamu karena kontrak,” ucapnya, “aku melakukannya karena kamu datang bersamaku.” Kata-kata itu tidak terucap dengan nada manis. Justru nada datarnya membuat kalimat itu terasa lebih nyata. Naya merasakan tubuhnya menjadi lebih hangat. Jarak di antara mereka sangat dekat hingga napas Alvaro menyentuh kulit wajahnya. “Kita harus berhati-hati,” lanjutnya. “Satu kesalahan bisa membuat alasan pernikahan kita dipertanyakan para pemegang saham.” “Aku mengerti,” jawab Naya. “Bagus,” ucap Alvaro, “karena aku tidak akan membiarkan siapapun menyentuh apa yang sudah menjadi bagianku malam ini.” Naya terpaku oleh kata bagianku. Ia sadar betul bahwa bahaya masa lalu bukan ancaman satu-satunya. Bahaya yang datang dari pria di depannya jauh lebih diam namun jauh lebih sulit dihindari. Dan malam ini, untuk pertama kalinya, meski ia tidak takut pada dunia luar, ada sesuatu ‘kemungkinan’ pada pria yang seharusnya hanya menjadi suami kontraknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD