SELEKSI ISTRI KONTRAK
“Nama selanjutnya?” suara Alvaro Sezareth terdengar datar, seolah tidak ada satu hal pun di ruangan itu yang mampu mengganggu fokusnya.
Ruang rapat lantai empat puluh dua dipenuhi layar digital yang menampilkan berkas kandidat. Para eksekutif duduk berjajar, masing-masing menahan napas karena pria yang duduk di ujung meja itu bukan hanya CEO termuda Asia, tetapi juga seseorang yang sangat sulit dipahami. Ketika Alvaro menatap seseorang, seisi ruangan selalu merasa ia sedang menilai apakah orang itu layak bernapas atau tidak.
Sekretaris utamanya, Eleanor, melirik daftar di tabletnya. “Kandidat nomor dua belas, Maya Lestari, pengusaha butik independen. Latar belakang keluarga bersih, pendidikan tinggi, portofolio sosial media terkontrol, dan ia sudah menyetujui seluruh klausul kontrak.”
Alvaro mengangguk singkat. “Masuk.”
Pintu terbuka dan perempuan cantik dengan gaun pastel melangkah masuk. Ia duduk dengan posisi tegap, mengatur senyumnya agar tampak natural. Namun hanya dalam tiga detik, Alvaro sudah tahu ia tidak sepenuhnya jujur. Detak jantung Maya naik setengah ketukan, refleks kelopak mata terasa menahan kegugupan, dan nada suaranya terlalu lembut ketika ia menyapa, yang menunjukkan keinginannya menyenangkan.
“Selamat siang, Pak Alvaro.”
“Kamu membaca semua syarat kontrak?” tanya Alvaro tanpa menatap berkasnya.
“Iya,” jawabnya, namun mikro-ekspresi sudut bibirnya menunjukkan ia ingin mengubah beberapa bagian begitu kesempatan muncul.
Kegagalan kecil itu cukup bagi Alvaro. “Tidak cocok.”
Maya terkejut. “Tapi saya belum menjelaskan apa pun.”
“Tidak perlu,” jawab Alvaro sambil memberi isyarat agar pengawal mengantar keluar. “Next.”
Eleanor mencatat keputusan itu lalu memanggil kandidat berikutnya. Ruangan kembali tenang, hanya suara pendingin ruangan yang terdengar. Namun seluruh tim tahu kepala mereka bisa melayang kapan saja bila bos itu menemukan ketidakefektifan.
Kandidat tiga belas masuk, kandidat empat belas menyusul, lalu lima belas. Semuanya tersaring dalam waktu kurang dari satu menit. Ada yang akhirnya menunjukkan ambisi terpendam lewat gerakan tangan yang terlalu bersemangat, ada yang berpura-pura rendah hati padahal ekspresinya menyimpan hitungan materi, dan ada yang bahkan menutupi napas gugupnya sehingga ritmenya berubah tidak stabil.
Tidak ada yang lolos.
“Pak… jika kita menolak semuanya, merger akan tertunda lagi,” ucap Eleanor berhati-hati.
“Lebih baik tidak menikah daripada memilih perempuan yang melihat saya sebagai tiket akses,” jawab Alvaro sambil menautkan jemarinya di atas meja. “Kita lanjutkan.”
CEO itu masih duduk dengan tenang, tetapi ketegangan dari semua orang di ruangan semakin memuncak. Ia tidak peduli. Seluruh hidupnya dibangun dari kalkulasi yang akurat, dan memilih istri kontrak adalah transaksi yang membutuhkan presisi lebih tinggi daripada negosiasi miliaran dolar.
Sampai akhirnya seorang staf dari lantai bawah tiba-tiba memotong sesi rapat dan mengetuk pintu. Wajahnya tampak panik, seolah membawa kabar yang tidak ada di jadwal.
“Maaf, Pak. Ada seseorang yang ingin mengantarkan pesanan kopi untuk Anda. Ia bersikeras membawanya sendiri ke lantai ini. Katanya ini pesanan rutin Anda, tetapi baristanya berbeda hari ini.”
Alvaro menoleh. “Kenapa ia harus masuk?”
“Dia bilang… ‘kalau tidak bertemu langsung, nanti rasanya tidak akurat’. Dia bicara dengan nada santai, tetapi juga tidak terlihat takut meski bertemu penjagaan kami.”
Eleanor menatap Alvaro, menunggu keputusan.
CEO itu mengangkat dagunya sedikit. “Izinkan masuk.”
Beberapa detik kemudian, pintu terbuka dan seorang perempuan dengan apron hitam dan rambut terikat rapi melangkah ke ruangan. Ia membawa nampan dengan dua gelas kopi. Langkahnya tidak tergesa, namun juga tidak dibuat-buat. Tidak ada gestur berusaha tampil sopan, tidak ada upaya mencuri perhatian, bahkan tidak ada rasa gugup meski puluhan pasang mata menatapnya.
Ia hanya meletakkan kopi di meja samping Alvaro dan berkata, “Ini pesanan Anda. Saya baru shift hari ini, jadi saya antarkan untuk memastikan racikan saya sesuai standar.”
Alvaro menegakkan tubuh. Untuk pertama kalinya ia merasa sebuah keheningan di dalam pikirannya terganggu. Ritme napas perempuan itu stabil, mata tidak menunjukkan tekanan meski berada dalam ruangan yang penuh pejabat penting, dan ia tidak menampilkan motif apa pun dalam intonasinya.
Tidak ada sinyal ketamakan. Tidak ada sinyal kebohongan. Tidak ada sinyal rasa ingin disukai.
Seolah perempuan itu berjalan tanpa emosi di tubuhnya.
Perlahan Alvaro berdiri. “Nama kamu?”
“Naya Maheswara.”
“Barista?”
“Iya.”
“Kamu tahu siapa saya?”
“Tahu,” jawab Naya sambil merapikan apron, “tapi saya di sini cuma untuk mengantarkan kopi.”
Alvaro memperhatikan gerakan tangannya ketika ia menyodorkan nota. Tidak ada getaran panik, tidak ada ambisi tersembunyi. Justru terasa datar, tetapi bukan karena acuh. Lebih seperti… kosong.
“Kenapa kamu tidak takut berada di ruangan ini?” tanya Alvaro.
“Kemarin saya menghadapi pelanggan yang marah karena kopinya tumpah. Itu lebih merepotkan daripada ruangan penuh orang sibuk,” jawab Naya tanpa nada bercanda maupun sombong.
Para eksekutif terkejut mendengar respons itu, namun Alvaro justru mengarahkan perhatiannya lebih dalam. Ritme suara Naya lurus, tidak naik turun. Tidak ada mikro-ekspresi yang bisa ia baca. Detak jantungnya stabil seperti seseorang yang sudah menjalani hidup tanpa ruang bagi kejutan emosional.
Fenomena itu sangat aneh. Dan semakin aneh, semakin menarik bagi otaknya yang jarang bertemu sesuatu di luar pola.
“Naya,” ucap Alvaro sembari melangkah mendekat. “Kamu tertarik bekerja sampingan?”
“Saya punya dua pekerjaan sudah cukup,” jawab Naya.
“Bagaimana kalau pekerjaan itu membayar jauh lebih besar daripada keduanya digabung?”
Naya menatap Alvaro. Tatapannya bukan sombong, bukan takut, dan bukan terkesan. Hanya menilai apakah ucapan itu membuang waktu atau tidak.
“Apa pekerjaannya?” tanya Naya.
Alvaro menahan napas sejenak sebelum menyampaikan sesuatu yang membuat seluruh ruangan terpaku.
“Saya sedang memilih istri kontrak untuk urusan perusahaan. Tiga bulan. Tanpa ikatan emosional, tanpa drama, tanpa campur tangan keluarga. Dari semua kandidat, hanya kamu yang tidak menunjukkan intensi apa pun. Itu membuatmu… memenuhi kriteria.”
Ruangan langsung riuh kecil. Beberapa eksekutif nyaris menjatuhkan pena mereka. Tidak ada seorang pun yang membayangkan seorang barista bisa masuk ke daftar kandidat, apalagi setelah puluhan perempuan berpendidikan dan berlatar belakang luar biasa ditolak begitu saja.
Namun Naya tidak menunjukkan perubahan ekspresi. Ia hanya menghela napas pelan.
“Kenapa saya?”
“Karena saya tidak bisa membaca kamu,” jawab Alvaro jujur. “Dan orang yang tidak bisa saya baca lebih aman daripada orang yang terlalu berusaha menyembunyikan sesuatu.”
Naya memandangnya beberapa detik. “Jika saya menerima, apa yang saya dapatkan?”
“Tempat tinggal sementara, keamanan, pembayaran yang sangat besar, dan kamu tidak perlu melakukan apa pun selain hadir sebagai pasangan formal saya di beberapa acara.”
“Dan jika saya menolak?”
“Kamu akan pergi dari ruangan ini dan kami tidak akan menghubungi kamu lagi.”
Naya mengangguk. Ia tidak tampak terintimidasi ataupun tersentuh. Hanya berpikir.
“Baik,” ucap Naya akhirnya. “Saya mau membaca perjanjian lengkapnya dulu. Jika tidak ada bagian yang merugikan saya, saya pertimbangkan.”
Jawaban itu membuat Alvaro menatapnya lebih lama. Perempuan lain biasanya langsung memanfaatkan kesempatan seperti ini. Namun Naya justru ingin memastikan dirinya aman. Sikap itu justru semakin menguatkan keputusan Alvaro.
“Eleanor, siapkan kontraknya,” perintah Alvaro.
Ketika Naya berbalik untuk keluar, Alvaro memperhatikan cara ia berjalan. Tidak terburu-buru, tidak ragu, dan tidak menyesuaikan diri dengan tatapan orang. Tubuhnya seperti disetel untuk tidak bereaksi pada tekanan emosional.
Ia benar-benar kosong.
Dan untuk seseorang seperti Alvaro yang hidup dari kemampuan membaca manusia, kekosongan adalah misteri yang paling berbahaya sekaligus paling menggoda.
Karena seseorang yang tidak bisa diprediksi adalah satu-satunya orang yang bisa menghancurkan seluruh perhitungan.
Alvaro tersenyum kecil, sebuah ekspresi yang jarang muncul dan membuat para eksekutif saling melirik panik.
“Dia kandidat pertama yang menarik,” gumamnya.
Mereka tidak tahu, itu bukan sekadar ketertarikan.
Itu permulaan obsesi.