PERJANJIAN YANG TIDAK DIRENCANAKAN

1683 Words
Kontrak setebal dua puluh halaman terhampar di meja kaca ruang kerja pribadi Alvaro. Ruangan itu lebih tenang daripada lantai rapat, namun keheningan di sana terasa berbeda. Heningnya seperti pembatas antara dua dunia, dunia Alvaro yang penuh perhitungan dan dunia Naya yang tidak bisa dibaca. Naya duduk di kursi seberang sambil mempelajari dokumen yang diberikan Eleanor. Ia membaca setiap bagian tanpa tergesa dan tanpa menunjukkan reaksi apa pun, seolah isi kontrak perkawinan tidak lebih dari daftar harga kopi. Alvaro memperhatikannya dari sisi lain meja. “Biasanya orang akan berhenti membaca di bagian penalti,” ucapnya. “Saya belum sampai sana,” jawab Naya sambil membalik halaman. “Di bagian itu tertulis penalti dua miliar rupiah jika melanggar privasi atau membocorkan identitas hubungan kita.” “Saya mengerti. Lanjut saja.” Alvaro menatap wajahnya, mencari sedikit perubahan ekspresi. Tidak ada. Naya tetap tenang meskipun angka sebesar itu muncul di dokumen. “Kamu tidak terkejut?” “Kalau saya melanggar, ya saya salah. Tidak perlu kaget.” Jawaban itu terdengar begitu lugas sampai membuat Alvaro hampir meragukan indranya. Ia masih menilai ritme napas Naya dan tidak menemukan perubahan. Tidak ada rasa takut atau khawatir. “Hm,” gumamnya. “Kamu bukan tipe yang bereaksi berlebihan.” Naya menutup dokumen lalu menggeser kertas itu agar lebih dekat ke Alvaro. “Bagian ini,” ia mengetuk paragraf mengenai jadwal. “Anda mengatur bahwa saya harus tinggal di rumah Anda selama kontrak berlaku. Tujuannya apa?” “Perusahaan mitra akan melakukan pengecekan acak. Mereka tidak akan percaya pada hubungan yang hanya terjadi saat acara publik.” “Kalau begitu, saya butuh ruang pribadi,” ucap Naya. “Itu sudah disiapkan.” Alvaro mencondongkan tubuh. “Tapi saya harus memberi tahu sejak awal. Rumah saya dijaga ketat. Begitu kontrak dimulai, hidup kamu akan diawasi untuk alasan keamanan.” Naya mengangguk. “Tidak masalah. Selama tidak mengganggu jam kerja saya di kedai kopi.” “Kamu masih ingin bekerja?” “Ya. Saya tidak ingin kehilangan penghasilan tetap hanya karena kontrak ini.” “Baik, itu bisa diatur.” Alvaro menatapnya dan berbicara lebih pelan. “Naya, saya tidak akan menyentuh hidup kamu di luar kontrak. Tidak akan mengambil keputusan pribadi kamu. Tugas kamu hanya tampil sebagai istri saya selama tiga bulan.” Naya tanpa ragu menandatangani halaman terakhir. “Oke. Dimulai kapan?” Alvaro mengangkat kepala, sedikit terkejut karena prosesnya begitu cepat. “Besok pagi.” “Baik. Saya kembali bekerja dulu.” Naya bangkit, mengambil tas kecilnya, lalu melangkah ke pintu. Namun sebelum membuka, ia berhenti sejenak dan menoleh. “Satu hal lagi. Saya tidak pandai mengikuti peran. Kalau Anda ingin saya terlihat sebagai istri yang baik, Anda harus memberi tahu apa yang harus saya lakukan secara detail.” Alvaro mengamati cara Naya berdiri di ambang pintu. Ia tidak terlihat ingin tampil memukau atau sopan. Ia hanya mengatakan apa yang ia perlu katakan. Alvaro menjawab dengan nada rendah yang tidak biasa ia gunakan kepada siapa pun. “Saya akan membimbing kamu.” Naya mengangguk, lalu keluar tanpa menunggu izin tambahan. Begitu pintu tertutup, Eleanor memberanikan diri bertanya, “Anda yakin dengan keputusan ini, Pak?” “Saya justru belum pernah yakin seperti ini,” jawab Alvaro. Eleanor ingin menanggapi, tetapi ponsel Alvaro tiba-tiba berbunyi. Panggilan dari nomor yang tidak dikenal muncul di layar, sesaat membuat jidatnya mengernyit. Ia mengangkat. “Halo?” Seseorang di ujung sana terdiam terlalu lama, napasnya terdengar pendek. Setelah beberapa detik, suara berat mengalun dengan intonasi aneh, seolah menahan sesuatu. “Kamu baru saja menandatangani kontrak dengan seorang perempuan bernama Naya Maheswara, bukan?” Suara itu membuat Alvaro menegakkan tubuh. “Siapa ini?” “Jawab dulu.” “Saya tidak memberi informasi pribadi pada orang asing.” Alvaro memberi isyarat pada sistem keamanan untuk melacak panggilan. Namun suara itu melanjutkan tanpa peduli. “Kalau kamu memilih dia, kamu akan berurusan dengan orang yang masih mencarinya. Dan orang itu bukan seseorang yang bisa kamu anggap remeh.” “Siapa yang mencarinya?” Alvaro bertanya lebih tajam. “Hati-hati.” Suara berat itu merendah. “Perempuan itu bukan kosong. Ia hanya mematikan semua perasaannya untuk menyelamatkan diri.” Panggilan terputus. Eleanor menatap bosnya. “Pak, apa kami harus menyelidiki latar belakang Naya lebih dalam?” “Sudah saya lakukan sebelum membawa dia ke sini,” jawab Alvaro sambil berdiri. “Hasilnya sangat bersih. Terlalu bersih, bahkan.” Eleanor terdiam karena tahu apa maksud kalimat itu. Latar belakang yang terlalu bersih justru lebih mencurigakan. Alvaro menghela napas. “Laporkan semua aktivitas Naya selama tiga hari terakhir. Saya ingin tahu siapa saja yang mendekatinya.” “Siap, Pak.” ⸻ Sementara itu di luar gedung megah itu, Naya menuruni tangga sambil memasukkan ponselnya ke saku apron. Ia berhenti sebentar, memperbaiki rambutnya, dan mengatur kembali jadwalnya agar tidak bentrok dengan urusan kontrak. Pekerjaannya di kedai kopi masih menunggu, jadi ia memilih naik transportasi umum agar tidak perlu terburu-buru. Namun saat ia sudah duduk di kursi dekat jendela bus, seorang pria berjaket hitam masuk dan berdiri beberapa baris di belakangnya. Naya tidak menoleh, tetapi ia merasakan seseorang memperhatikannya. Ia tidak menunjukkan respons apa pun dan tetap memandang keluar, namun tubuhnya sedikit mengencang. Pria itu mengangkat ponselnya dan mengirim pesan singkat. “Aku menemukannya. Dia ada di dalam bus rute T-09. Dia terlihat sehat. Apa perintah selanjutnya?” Ponselnya berdering sebentar sebagai balasan. Pesan itu singkat. “Tunggu perintah saya selanjutnya.” Pria itu memasukkan ponselnya ke saku kemudian menatap punggung Naya lebih lama. Di sisi lain kota, seseorang membaca informasi itu sambil menekan bibirnya, marah karena Naya kembali muncul tanpa izin. “Kenapa kau kembali, Naya?” bisiknya. “Aku belum mengizinkanmu.” ⸻ Di rumah Alvaro, malam itu cukup sibuk. Ia meminta tim keamanan menambah akses kamera, memperkuat perimeter rumah, dan memeriksa ulang identitas siapa pun yang pernah berurusan dengan Naya. Saat ia memeriksa laporan awal, satu data menarik perhatiannya. Dua tahun yang lalu, Naya tercatat pindah tempat tinggal lima kali dalam hitungan bulan. Setiap alamat menunjukkan pola sama, keluar tiba-tiba tanpa alasan jelas. Tidak ada catatan keluarga, tidak ada catatan pekerjaan tetap selain kedai kopi, dan tidak ada orang yang mencatat keberadaannya lebih dari tiga bulan. Alvaro menyandarkan punggungnya ke kursi. “Siapa sebenarnya kamu?” Pertanyaan itu menjadi semakin penting setelah telepon misterius tadi. Eleanor muncul di pintu. “Pak, ada satu hal lagi. Sesuai prosedur, kami harus menginfokan bahwa tetangga lama Naya mengaku pernah melihat seseorang mondar-mandir di depan unitnya. Katanya perempuan itu pernah menerima ancaman, walau dia menyangkal.” Alvaro memutar kursi, menatap jendela besar yang menghadap kota. “Siapkan pengawal khusus begitu ia pindah ke rumah saya.” “Nanti malam?” “Besok pagi. Dan Eleanor…” “Ya, Pak?” “Pastikan tidak ada satu pun orang yang tahu ia sudah menandatangani kontrak ini.” Eleanor mengangguk. “Baik, Pak.” Alvaro mengusap wajahnya. Ia bukan tipe yang mudah terganggu oleh ancaman. Namun telepon barusan bukan ancaman biasa. Ada sesuatu yang tersembunyi dalam nada suara pria itu, sesuatu yang menunjukkan bahwa orang itu mengenal Naya lebih dalam dibanding siapa pun. Dan pikiran itu membuat d**a Alvaro terasa tidak nyaman. Ia tidak suka saat seseorang mengincar miliknya. Padahal kontrak baru akan dimulai besok. ⸻ Sementara itu, Naya sudah kembali ke kedai kopi. Ia menuang adonan latte ke gelas pelanggan sambil mendengar suara mesin espresso yang berdenging di belakangnya. Hidupnya terlihat biasa, tetapi pikirannya terus mengulang percakapan dengan Alvaro. Ia tidak memikirkan uang atau fasilitas, ia memikirkan satu hal lain. Jika ia tinggal di rumah CEO itu, orang yang mencarinya tidak akan dengan mudah masuk. Mungkin tiga bulan adalah waktu aman yang ia butuhkan untuk memutus jejak masa lalunya. Namun saat ia membungkuk mengambil gelas lain, seseorang mengetuk meja bar dengan nada yang terlalu keras. “Naya.” Ia mengenali suara itu. Bukan suara pelanggan setia, melainkan seseorang yang seharusnya tidak tahu keberadaannya lagi. Perlahan ia mendongak. Pria berjaket hitam dari dalam bus menatapnya dengan tatapan yang seharusnya tidak ia lihat hari itu. “Kita perlu bicara,” katanya. Naya merapatkan jemarinya ke gelas yang ia pegang, memastikan tangannya tidak terlihat gemetar. “Maaf, saya sedang bekerja,” jawabnya. “Saya juga.” Pria itu mendekat sedikit. “Tapi tugasku hanya satu. Menemukanmu.” Naya menahan napas. Kali ini ritme napasnya berubah sangat kecil, tetapi cukup untuk menunjukkan bahwa ia tidak setenang yang terlihat. Pria itu menyeringai tipis. “Bosku ingin kamu kembali.” Naya menggeleng pelan. “Saya tidak akan kembali.” “Kamu pikir kamu bisa sembunyi selama ini?” tanya pria itu. Naya tidak menjawab dan hanya menatapnya tanpa emosi. Ia tidak boleh menunjukkan ketakutan. Tidak sekarang. Namun pria itu tersenyum. “Jangan khawatir. Kami tidak akan menyentuhmu malam ini. Besok saja. Kami akan menjemputmu di apartemen jam sembilan pagi.” Naya menegakkan tubuh. “Besok saya pindah tempat.” “Ke mana?” Naya menelan ludah dan tidak menjawab. Ia tidak boleh menyebut nama Alvaro, karena itu bisa menyeret CEO itu ke bahaya yang tidak perlu. Pria itu mengangkat dagunya. “Kemana pun kamu pergi, kami akan selalu menemukanmu.” Ia pergi begitu saja, meninggalkan aroma ancaman yang berat di udara. Naya memegang meja agar tidak kehilangan keseimbangan dan memejamkan mata sebentar. Seluruh tubuhnya berusaha tetap netral. Namun satu hal jelas. Besok adalah batas waktunya. Dan ia tidak punya tempat lain selain kontrak yang baru ia tanda tangani. ⸻ Di rumahnya, Alvaro menyalakan lampu ruang tamu. Ia mengambil ponsel dan menatap nama di kontak yang baru ia simpan. Naya Maheswara. Jari Alvaro bergerak, mengetik satu pesan. “Mulai besok, kamu pindah ke rumah saya. Jangan lewatkan jadwal. Saya akan menjemput kamu jam delapan.” Ia menekan kirim, lalu menatap layar yang masih menyala. Di balik rasa penasaran dan ketertarikan, ada sesuatu yang baru muncul dalam dirinya. Sesuatu yang tidak pernah ia biarkan muncul sebelumnya. Naluri untuk melindungi. Karena seseorang sudah mencoba mengganggu perempuan yang seharusnya berada di bawah perlindungannya. Alvaro memejamkan mata sebentar dan menarik napas panjang. “Tidak ada seorang pun yang menyentuh milik saya,” gumamnya. Kontrak belum dimulai, tetapi obsesinya sudah berkembang. Dan itu adalah awal dari masalah besar bagi siapa pun yang mencoba mengambil Naya darinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD