Permintaan Tuan Harjoko

1099 Words
Sudah 10 menit, Tuan Harjoko hanya mondar-mandir ke kanan dan ke kiri. Permintaan cucunya memang terdengar aneh dan tidak masuk akal. Namun, Jika dia tidak menuruti permintaan itu, Tuan hardjoko tahu apa yang akan terjadi. Gadis manja itu pasti akan terus merajuk, benar-benar mogok makan serta mogok sekolah. Tuan Harjoko sangat menyayangi cucu satu-satunya itu. Jadi, dia berusaha untuk menuruti apapun yang diminta oleh cucunya. Saat itu, tiba-tiba dia teringat Evan. Evan Malvino, asisten kepercayaannya. Dia adalah seorang duda. Dia juga sudah teruji kesetiannya. Ya, mungkin laki-laki itu bisa membantunya. Karena, Tuan Harjoko tidak bisa melepaskan Chilsa begitu saja pada orang sembarangan. Tuan Harjoko tersenyum, lalu dia segera mengambil ponsel yang ada di sakunya, dan terlihat menghubungi seseorang. “Chil, ke kamar kakek sekarang! Kakek tunggu!” Klik. Sambungan telefon dimatikan. Beberapa menit kemudian, Chilsa datang ke kamar tuan harjoko. “Ada apa Kek? Kakak sudah ada jawaban atas permintaanku?” tanya Chilsa penuh ketidaksabaran. “Ayo duduk di sebelah kakek sini dulu. Sini,” ucap Tuan Harjoko sambil menepuk kasur kingsize yang ia duduki. Dengan ceria, Chilsa berjalan sambil melonjak menuju ke arah kakeknya. Dia duduk di samping sang kakek dan menggelayut manja di lengannya. “Chil, kamu sudah pikirkan matang-matang tentang permintaan kamu ini?” “Tentu saja, Kakek.” “Baiklah, kau akan menyetujui siapapun calon yang akan kakek usulkan?” “Tentu saja. Aku tahu Kakek sayang padaku, dan tidak akan memberikan yang buruk untukku.” “Baiklah, Kakek sudah ada calon untukmu. Namun, kakek harus menanyakan ketersediaannya dulu. Kakek tidak boleh ambil keputusan sendiri.” Chilsa mengangkat kepalanya, lalu menatap sang kakek dengan mata berbinar. “Kakek udah dapat orangnya?” Tuan Harjoko mengangguk sambil tersenyum. “Siapa kek?” “Om Evan, asisten pribadi kakek. Hanya dia yang bisa kakek percaya untuk menjadi suami kamu. Itu kalau kamu mau, kalau kamu tidak mau, kakek tidak bisa mempercayakan orang lain lagi.” “Om Evan? Om ganteng yang cuek itu? Papanya Bianca? Yeay … mau banget dong, Kek. Akhirnya aku mau nikah. Horray … “ Chilsa langsung berdiri sambil mengangkat kedua tangannya dengan ceria. Seolah Ia sedang merayakan sebuah kemenangan. “Chilsa, Kamu tahu kan Om Evan asistennya kakek? Duda? Anaknya sudah sebesar kamu? Kamu sebahagia itu?” Tuan Harjoko mengerutkan keningnya. Respon Chilsa benar-benar diluar dugaannya. Dia tidak protes seperti apa yang dia sangkakan sebelumnya. Chilsa membalikkan badannya, lalu segera meraih kedua tangan sang kakek dan menggenggamnya erat. “Kakek, apa yang harus membuat aku tak bahagia? Sebentar lagi aku akan menikah, sama orang yang ganteng meskipun berumur. Tak masalah. Yang penting nikah. Terimakasih banyak ya, Kek. Sayang kakek banyak-banyak,” ucap Chilsa. Dia mencium pipi sang kakek, lalu dia segera berhamburan keluar dari kamar sang kakek dengan bahagia. “Hei, tunggu! Jadi kamu setuju?” “Setuju banget, Kek.” Chilsa berteriak dari luar kamar. Tuan Harjoko hanya bisa geleng-geleng kepala. *** “Tuan memanggil saya?” Laki-laki 40 tahun, dengan rambut berbelah pinggir dan tersapu Pomade rapi, berdiri di depan meja kerja Tuan Harjoko. Dia menunduk dengan sopan seperti biasanya. “Iya. Silakan duduk, Van.” “Terimakasih, Tuan.” Evan menunduk, lalu menarik kursi yang ada di sampingnya dan segera duduk di sana. “Van, aku mau bicara penting, tetapi di luar pekerjaan. Boleh?” “Tentu saja, Tuan.” “Ini pembicaraannya agak pribadi. Semoga kamu tidak keberatan.” “Tentu saja tidak masalah, Tuan.” “Apa kamu tidak ada rencana untuk menikah dalam waktu dekat? Sudah bertahun-tahun kamu berpisah dengan istrimu, Apa kau tidak ingin menikah lagi?” Pertanyaan Tuan Harjoko berhasil membuat Evan membulatkan matanya. Jarang sekali atasannya itu menanyakan hal pribadi. Kenapa tiba-tiba Tuan Harjoko menanyakan hal itu? “Em … untuk saat ini belum, Tuan. Saya fokus untuk membahagiakan Bianca.” “Kamu bisa menikah sambil membahagiakan Bianca. Itu bisa berjalan beriringan, Van. Kalau aku meminta kamu untuk menikah, Apakah kau bersedia?” Evan menelan ludahnya. Pertanyaan kali ini lebih menyakitkan daripada pertanyaan yang pertama. Pertanyaan yang tak biasa terlontar dari mulut sang atasan yang biasanya jarang berbicara di luar pekerjaan. “Maksud Tuan?” Tuan Harjoko tersenyum. Dia mencondongkan tubuhnya ke depan dan menatap Evan. “Evan, Chilsa minta untuk dinikahkan. Aku tak bisa mempercayakan dia pada siapapun kecuali kamu. Apakah kamu bersedia menjadi suami Chilsa?” Untuk ketiga kalinya, Evan begitu terperangah. Jantungnya seakan terloncat dari tubuhnya. Dadanya bergemuruh. Seperti ada petir yang menyambarnya berkali-kali. Tentu saja pertanyaan itu terdengar sangat aneh di telinga Evan. “Em … ini ada apa, Tuan? Kenapa tiba-tiba Tuan meminta hal seperti ini?” “Oh, Tidak apa-apa. Ini murni karena Chilsa ingin menikah, dan kamu tahu sendiri anak itu kalau punya keinginan tidak bisa ada kata tidak. Jadi aku mohon kepadamu, bisakah kamu membantuku dalam hal ini?” Chilsa. Seorang anak yang umurnya setara dengan umur anaknya. Mana mungkin dia menikah dengan anak remaja itu? Lagi pula Evan sudah tahu Chilsa sejak kecil. Bukankah rasanya seperti menikahi anak sendiri? “Tuan, pasti Tuan Harjoko tahu kalau saya tidak pernah menolak permintaan Tuan. Namun, tanpa mengurangi rasa hormat, untuk permintaan yang satu ini, saya benar-benar tidak bisa melaksanakannya. Bagi saya, Chilsa seperti anak. Anak yang sudah saya tahu sejak dia masih bayi. Lagipula saya terlalu berumur untuk remaja seperti Chilsa, Tuan. Saya yakin Chilsa bisa mendapatkan laki-laki yang pantas untuk dirinya, yang jauh lebih muda dari saya.” “Evan, kamu tahu kalau aku sudah sangat percaya padamu. Tidak ada orang yang lebih aku percaya selain kamu untuk menjadi suami Chilsa untuk saat ini. Chilsa adalah cucuku satu-satunya. Pewaris semua kekayaanku. Mana mungkin aku mempercayakan dia pada sembarang orang. Hanya kamu satu-satunya orang yang aku percaya untuk mendampingi Chilsa. Lagipula dia masih bocah. Meskipun umurnya sudah 20 tahun tetapi dia masih seperti anak-anak. Dia perlu orang yang bisa membimbing dia dan membantu dia untuk bersikap dewasa. Aku yakin bahwa kamu adalah orang yang tepat, Evan. Tidak ada orang lain lagi yang lebih pantas untuk mendampingi Chilsa saat ini selain kamu.” Evan menunduk. Kalau saja itu bukan permintaan tuan harjoko, maka dia akan segera menolaknya mentah-mentah dan tidak mau mempertimbangkannya lagi. Namun, permintaan ini keluar dari mulut orang yang sudah sangat berjasa dalam hidupnya. Orang yang sudah sangat percaya kepada dirinya dan orang yang sudah memberi dia banyak hal sehingga dia bisa hidup berkecukupan seperti sekarang ini. “Evan, aku mohon. Aku tidak pernah memohon seperti ini sebelumnya. Namun untuk cucuku, aku mohon bersedialah untuk menikahinya.” Evan mendongakkan kepalanya. Lalu ditatapnya wajah si boss yang sudah dia anggap seperti ayahnya sendiri. Tuan Harjoko memasang wajah penuh permohonan. Evan menelan ludahnya. Sanggupkah dia menolak permintaan itu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD