Bab 5 Garis Dua

1294 Words
#Noda_Penyesalan Part_5 Garis Dua Suara kokok ayam membuatku terbangun, disusul bunyi alarm dari ponsel yang terletak di samping bantal. Pukul lima pagi, terdengar azan subuh berkumandang samar dari arah masjid nan jauh. Segera aku turun dari atas ranjang kayu, dengan kasur busa yang tipis. Rumah Nenek Rodiah hanyalah rumah gubuk biasa yang kecil berdinding tepas, dan beratapkan daun rumbia. Nenek Rodiah berumur 60 tahun, dia tinggal sendiri semenjak cucunya meninggal. Nenek bercerita padaku kalau dulu dia mempunyai seorang cucu perempuan yang berumur 17 tahun. Namun, cucu--Nenek Rodiah meninggal karena sakit. Nenek Rodiah tidak punya uang untuk membawa cucunya berobat kerumah sakit. Pada detik hayat hidup sang cucu-nenek harus mengikhlaskan, menghembuskan nafas terakhir akibat sakit kanker. Sejak kecil cucu--Nenek Rodiah dirawat sang nenek, ibunya meninggal saat melahirkan anak pertamanya. Sementara sang ayah menikah lagi dengan wanita lain. Nenek tidak mau menyerahkan cucu satu-satunya, kepada sang ayah karena takut istri barunya kejam. Kasih sayang ibu kandung, tentu tidaklah sama dengan ibu tiri. Sejak ayah-cucu menikah nenek tidak pernah lagi melihatnya tinggal di kampung yang sama. Bahkan darah dagingnya pun tak pernah diia jenguk apalagi, menafkahinya. Kerja keras nenek lah yang berhasil membesarkan sang cucu kesayangannya. Nenek akan menggendong bayi merah tersebut dalam dekapan sambil berjualan sayur ke pasar. Namun, sayang di usia yang baru tumbuh dewasa cucu-nenek harus berakhir tragis akibat kanker yang merenggut nyawanya. Gadis belia yang baru berumur 17 tahun tersebut, tumbuh sebagai gadis remaja yang cantik, dan menjadi kembang desa hingga banyak para pemuda memperebutkannya. Namun, sayang kisahnya harus berakhir dengan penyakit kanker yang dia derita. "Sudah bangun, Zahra?" sapa nenek menyadarkanku dari lamunan. Nenek sudah bersiap-siap hendak melaksanakan sholat subuh, memakai mukena berwarna putih. Nenek bangun lebih awal karena harus menyusun barang dagangannya dalam keranjang. Sayur tersebut dipetik dari kebun sepetak di belakang rumah yang tidak terlalu luas. "Sudah, Nek," jawabku sambil menguap menutup mulut. "Mandi gih! Habis itu salat subuh," ujar nenek. Aku pun melangkah menuju kamar mandi yang terletak dibelakang rumah. Baru satu langkah kaki berjalan, mendadak kepalaku terasa pusing dan berdenyut. Huek. Seisi perutku rasanya mau keluar tapi hanya cairan bening, berwarna kuning yang disertai rasa mual. Nenek yang melihat kondisiku mengurungkan niatnya untuk salat. Dia berlari menghampiri dengan rasa cemas. "Zahra, kamu sakit?" taanya nenek gusar. Tubuhku terhuyung ke lantai, merasakan mual dan pusing yang amat menyiksa. Nenek langsung mengambil minyak kayu putih sebelum aku menjawab pertanyaannya. Dia setengah berlari mencari benda tersebut. Perasaanku kian campur aduk. Antara cemas, takut, dan gelisah. Aku teringat sudah satu minggu telat datang bulan. Seharusnya tamu bulananku sudah datang di awal tanggal. Namun, sudah pertengahan bulan, haidku tak kunjung muncul. Aku lupa kalau tamu bulananku selalu datang tepat waktu di awal tanggal. Sementara ini sudah pertengahan bulan belum juga ada tanda-tanda. Sudah sebulan lebih aku di rumah nenek, semenjak pergi dari rumah kedua orang tua Mas Raja. "Ya Allah ... jangan-jangan aku hamil. Bagaimana kalau ini anak dari Mas Raja? Pasti dia tidak akan pernah mengakuinya karena dia hanya menyentuhku sekali," rintihku pilu dalam hati. Sambil menyandarkan tubuh lemah ini di dinding tepas. Aku teringat saat saat Mas Raja menyentuh pertama kal, aku dalam keadaan masa subur. Mungkinkah hanya sekali melakukan aku bisa hamil? Aku menangis tanpa suara. Rasa takut semakin menjadi-jadi, hingga membuatku tak bisa berpikir jernih. Aku benci dengan Mas Raja yang menuduh tidak suci. Bagaimana benihnya bisa aku kandung dalam rahim, tumbuh menjadi seorang anak yang tidak diharapkan. Nenek datang dengan membawakan minyak kayu putih, lalu mengusapkan ke tengkuk leher. Kuhapus air mata yang m*****i pipi ini. Buliran bening mengalir seperti anak sungai. "Zahra, mari Nenek bantu mengolesi minyak angin ke tengkuk lehermu biar kamu enakkan," ujar nenek. Aku melihat kekhawatiran di wajah keriput nenek yang semakin berusia senja. Dengan lembut nenek mengolesi minyak kayu putih ke seluruh tubuh, terutama bagian perut. Aku hanya menatap nenek dengan ekspresi datar. Nenek Rodiah baru sebulan yang lalu aku kenal saat dalam angkutan umum. Namun, kasih sayang yang dia berikan seperti ibu bagiku. Dia memperlakukanku layaknya cucu sendiri. "Makasih, Nek," ucapku lirih. Nenek mengangguk tanpa suara, sampai akhirnya aku merasa sedikit baikkan. Nenek Rodiah melanjutkan salat subuh, sementara aku menuju arah belakang ke kamar mandi untuk membersihkan diri, dan bersiap melaksanakan kewajiban lima waktu. Sehabis salat subuh seperti biasa aku akan membantu nenek, menyiapkan dagangannya dan ikut ke pasar membantu berjualan. "Zahra, sebaiknya kamu dirumah saja, Nduk. Ndak usah ikut Nenek ke pasar," ucap nenek. Tangannya masih sibuk menyusun sayur-mayur di dalam keranjang anyaman bambu. "Kenapa, Nek?" "Kamu kan lagi sakit, Nenek gak mau sesuatu yang buruk terjadi padamu. Biar Nenek saja yang pergi berjualan sendiri," ujar nenek. Seraya beringsut dari tempat duduknya sembari mengangkat keranjang sayur. Selama bertahun-tahun nenek menjalankan pekerjaan ini sendiri. Dia mencari sesuap nasi hanya dengan berjualan sayur. Hasil sayur yang dapat tidaklah terlalu banyak, hanya lima puluh ribuan saja. Terkadang pembeli yang baik hati memberinya uang tambahan, namun nenek menolaknya. Dia berkata kalau dirinya bukan pengemis, jadi tidak perlu dikasihani. Meskipun hidup nenek dalam kekurangan materi, namun dia setiap hari akan menyisihkan sepuluh ribu untuk ditabung. Jika aku bertanya mengapa nenek menyisihkan uang tersebut maka, dia akan menjawab sebagai tabungan untuk berjaga-jaga kalau ada keperluan mendadak. Dia tidak ingin kisah cucunya terulang kembali, tidak punya biaya buat berobat karena kemiskinan. Untuk itulah nenek menabung setiap hari yang dimasukkan, dalam celengan bambu,disimpan dalam kolong tempat tidur. "Tapi, Nek," bantahku. "Aku masih kuat untuk menemani nenek berjualan ke pasar." Nenek tersenyum sembari membingkai wajah ini. Tangan keriput itu begitu lembut menyentuh kulitku. "Ndak usah, Cah Ayu. Kamu tunggu di rumah saja sambil menunggu bu Rt mengambil pesanan sayuran itu." Tunjuk nenek pada seikat sayur yang tertumpuk di atas bale-bale bambu. "Nenek, beneran gapapa berjualan sendiri?" Nenek kembali tersenyum. "Ndak, Nduk." Nenek kemudian keluar rumah untuk pergi ke pasar. Di pinggir jalan tukang becak langganan nenek sudah menunggu dengan sabar. Setiap ke pasar nenek selalu diantar becak untuk membantunya, membawakan keranjang sayur. Kalau pulang nenek akan naik angkutan umum. "Nduk, nanti kalau ada bu Rt datang mengambil sayurannya bilang harganya dua puluh ribu ya. Uang itu kamu pakai saja buat keperluanmu," ujar nenek. Aku mengangguk. "Tapi, Nek ...." "Gak ada tapi-tapian. Wes kamu nurut aja sama perintah Nenek!" Aku pun hanya bisa pasrah dengan perintah nenek. Nenek tidak mengizinkan aku untuk menemaninya ke pasar. Aku hanya bisa mengantar nenek hingga sampai di pinggir jalan. Tukang becak langganan nenek sudah menunggu sedari tadi. "Kamu hati-hati di rumah ya, Nduk!" nenek berkata sembari membingkai wajahku. Aku mengangguk pelan. "Ngeh, Nek." Setelah melepas kepergian nenek, aku pun kembali ke dalam rumah. Aku akan bersiap-siap pergi ke apotek untuk membeli alat tes kehamilan. Jarak apotik dari rumah nenek bisa terbilang jauh. Untuk menuju kesana aku harus naik ojek atau angkutan umum. Sampai di apotek, aku melihat ramai para pembeli yang menebus resep obat. Aku berjalan menunduk sembari meremas jari-jemari ini. Aku merasa gugup, dan jantungku berdegup dengan kencang. Ini untuk pertama kalinya aku datang ke apotek, dan membeli alat tes kehamilan. "Sis, beli alat tes kehamilan," ucapku pada seorang gadis penjaga apotek. Dia memandang ke arahku dengan penuh selidik. Tanpa berani bertanya akhirnya dia memberikan benda pipih yang aku minta. "Ini, Mbak. Harganya sepuluh ribu." Aku mengeluarkan uang sepuluh ribu kepada gadis itu Mengambil benda pipih tersebut, dan menyembunyikan ke dalam kantong gamis, lalu segera pergi dari tempat itu. Sampai di rumah, aku langsung menampung air kencing untuk dites memakai tespek. Benda pipih tersebut aku celupkan sebatas maximal. Lima menit kemudian, tampak garis dua tergambar jelas di sana. Deg. Kuremas d**a ini yang berdegup dengan kencang. Ada rasa sesak yang menghimpit nafasku. Tubuh lunglai seketika saat melihat hasil tespek menyatakan positif. Mengapa kehadiran benih ini tidak tepat waktu. Bukan inginku hamil dalam keadaan seperti ini, tetapi kondisinya sangat memprihatinkan. Mana mungkin aku menuntut tanggung jawab, meminta nafkah dengan Mas Raja. "Aku hamil?" *** Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD