Bab 4 Memilih Pergi

1339 Words
"Zahra!" teriak Regan. Dia menahan tubuh Zahra yang pingsan akibat pukulan tangan Raja. Seketika Raja terduduk lemas karena salah sasaran memukul Regan, seharusnya pukulan itu diarahkan pada Regan tapi, Zahra menghalanginya sehingga tidak dapat dihindari lagi. Sudah pasti Zahra yang terkena imbas pukulan Raja dan mengakibatkan dia pingsan. "Raja, apa yang sudah kamu lakukan pada Zahra?" suara Erlangga terdengar menghardik. Seketika Raja terdiam sembari mengepalkan tinju, pukulan yang seharusnya diterima Regan, tepat mengenai wajah Zahra. "Ma … maaf, Pa. A .. aku tidak sengaja," jawab Raja gugup. Matanya menatap tajam ke arah Regan yang masih menahan bobot tubuh Zahra. Erlangga dan Regan menjadi panik ketika melihat tubuh Zahra yang mengeluarkan darah segar dari sudut bibirnya. Ada bekas lebam di wajah Zahra akibat pukulan tangan Raja, hingga wajah cantiknya membiru. "Regan, cepat bawa Zahra ke kamar, Nak! Kamu periksa kondisinya. Papa, takut sesuatu terjadi pada Zahra," titah Erlangga. Seraya masih terlihat panik melihat kondisi Zahra yang belum sadar dari pingsan. Renita yang sedari tadi mendengar keributan dari dalam kamar segera keluar. "Pa, apa yang terjadi? Kenapa Zahra pingsan?" tanya Renita penasaran. "Zahra, pingsan karena terkena pukulan dari Raja, Ma," jelas Erlangga. Kening wanita cantik itu seketika berkerut. "Raja!" seru Renita. Raja menunduk, dia bergeming. Satu detik kemudian dia mengeluarkan suara. "Maaf, Ma," ucapnya lirih. "Kamu sungguh keterlaluan, Raja. Apa yang sudah kamu lakukan pada Zahra, Nak?" tanya mamanya gusar. Raja masih bergeming, sementara Regan masih berusaha menyadarkan Zahra dengan beberapa tindakan. Regan mengoleskan minyak kayu putih ke hidung Zahra agar tersadar dari pingsannya. Lima menit kemudian Zahra sadar. Matanya mengerjap melihat sekeliling. Satu-persatu wajah mereka dipandangi dengan tatapan samar. "Dimana aku?" tanya Zahra membuka mata. Disamping telah berdiri mama mertua, dan mantan suaminya Raja. Sementara Regan masih mengusap telapak kaki dengan menggunakan minyak dan memijat pelan. "Zahra, kamu sudah sadar?" tanya Regan antusias. Zahra mengangguk segera bangun agar bisa bersandar di tepi ranjang. Mama mertuanya memban untuk bersandar agar bisa berbicara dengan leluasa. "Apa yang terjadi, Regan?" tanyanya lagi. Hening. Mereka sama-sama diam tanpa ada yang berani bicara, terutama wajah Raja, hanya menunduk lesu tidak berani menatap manik hitam milik Zahra. "Kamu tadi pingsan, Zahra," jelas Regan. "Pingsan?" Aku kembali mengingat kejadian sebelum pingsan. Aku ingat kalau Mas Raja akan memukul Regan tapi aku berusaha menghalanginya hingga pukulan itu tepat mengenai wajahku. "Ma … maaf, Zahra. Aku tidak sengaja memukulmu," ucap Raja menyesal. Nada suaranya terdengar gugup saat menatapnya dengan tatapan nanar. Zahra tersenyum. "Aku sudah maafkan, Mas." "Kakak ipar, Mama dan Papa mewakili Raja meminta maaf atas tindakan Abang Raja padamu," ungkap Regan tersenyum. Zahra mengangguk. "Iya." "Sebaiknya kita tinggalkan Zahra disini biar beristirahat," ujar Mama mertuanya menimpali. Mereka setuju dengan ucapan wanita pemilik bibir tipis itu tapi Zahra, beringsut bangkit dan menahan langkah mereka. "Tunggu!" seru Zahra. Mereka menoleh kebelakang. Begitu juga dengan Raja dan Regan serentak menatap Zahra dengan pandangan tajam. "Maaf, Pa, Ma. Izinkan Zahra pergi dari rumah ini," ucapnya kemudian. Mereka sama-sama saling pandang, menatap wanita malang yang kini tertunduk lesu tanpa daya. "Kemana, Nak?" tanya mama mertuanya. "Zahra akan kembali ke panti asuhan. Untuk apa aku tetap di sini jika tidak diinginkan," ucap Zahra lirih. Menekan d**a yang terasa sesak menahan rasa sakit yang kian menusuk. Zahra berusaha menguatkan hati agar tidak terlihat lemah di hadapan Raja, rasa sakit itu bagaikan disayat sembilu berulang-ulang. Dia berusaha menutupinya dengan tidak menangis, tapi dasar air mata kurang ajar. Sekuat apa pun menahannya agar tidak jatuh bercucuran tetap saja cairan bening itu luruh tanpa permisi. Harga dirinya sudah terkoyak di malam itu, pertama kali Raja menyentuhnya, lantas seenak hati menuduh dengan kata yang sangat menyakitkan setelah puas merenggut kesucian. Dia mengatakan dengan alibi darah tidak keluar saat berhubungan, bukankah kesucian tidak diukur dengan darah berliteran? Naif, suaminya sungguh munafik. Seorang perwira polisi berpangkat tinggi serta berpendidikan tapi merendahkan harga diri seorang wanita. Zahra menarik koper yang sudah berisi semua pakaian, lalu berpamitan pada kedua mertuanya yang baru sehari resmi. Mama mertuanya berusaha menahan, tapi Raja tetap dengan keputusannya. "Raja, tahan dia. Mama, tidak mau terjadi sesuatu pada Zahra," titah Renita. Raja bergeming. Dia terus saja membiarkan Zahra pergi membawa luka yang teramat perih. Dia juga tidak ingin tinggal satu atap sehari pun bersamanya. Lelaki yang dulu dicintai dengan sepenuh hati tega mengusir dari rumah mewah itu. "Biarkan Zahra pergi, Ma," tegas Raja. Apa di hatinya tidak ada sedikit pun rasa simpati pada Zahra? Apa harga dirinya begitu tinggi hingga tidak ada rasa belas kasihan pada seorang wanita yatim piatu. Zahra berharap Raja akan menjadi tempat sandaran baginya sebagai pelindung pengganti kedua orang tua yang telah tiada, namun kenyataannya salah. Lelaki yang dicintai dengan tulus tega mencampakkan bagai s****h yang berbau busuk. Dia bagaikan setangkai bunga yang layu tanpa disiram air hujan, kering merana tersengat matahari. Hati Zahra perih, sakit, dan juga berdarah. Apakah harus mati dulu, baru menyesal dengan apa yang sudah dilakukan kepada seorang gadis lemah seperti Zahra. "Assalamualaikum," ucapnya berlalu menarik koper. Mama mertuanya bergeming menyaksikan menantu kesayangannya pergi. "Waalaikumsalam," jawab Raja tanpa menoleh. Mungkin memang hati Raja terbuat dari batu, sedikit pun tidak punya rasa empati. Mama dan papanya tidak bisa berbuat apa pun karena keputusan ada pada Raja. Zahra memilih pergi meninggalkan rumah keluarga besar Erlangga seorang pengusaha terkenal kaya raya. Dia menyeret langkah kaki dengan hati yang sakit sambil menahan sesak. Baru sehari resmi menjadi menantu keluarga kaya raya, tapi sudah bercerai. Status sebagai seorang istri perwira polisi akan dicap masyarakat jelek, bagaimana wanita selemah Zahra menghadapi cibiran para tetangga sekitarnya yang bergosip ria. Keputusan Zahra tidak akan kembali ke panti asuhan bersama keluarga besar itu telah dipikirkan sejak semalam. Dia memilih pergi meninggalkan tempat panti asuhan, tidak akan kembali dengan membawa sebutan janda. Pasti orang tua asuhnya akan malu bila melihat kenyataan pahit ini. Zahra naik angkutan umum tanpa tujuan, dia tidak tahu harus pergi kemana. Kaki lemah itu tak tahu kemana arah tujuan yang pasti. Mungkin lebih baik mencari pekerjaan untuk menyambung hidupnya. "Nak, kamu mau kemana? Sedari tadi Nenek perhatikan kamu tidak turun-turun dari angkutan ini, hanya melamun saja Nenek lihat," ucap seorang nenek menegurnya. Zahra tersentak dari lamunan, entah sudah berapa jauh angkutan umum membawa dia pergi dari rumah kediaman keluarga Erlangga. Terlihat sekeliling hanya sebuah terminal kecil akhir dari angkutan itu berhenti. Di sebuah desa terpencil jauh dari kota, dia tidak tahu apa nama kampungnya. "Aku tidak tahu, Nek. Aku tidak punya tujuan dan juga saudara. Aku hanya naik angkutan umum ini dan tidak tahu kemana arahnya," ucap Zahra datar. Mereka berdua adalah penumpang terakhir yang turun dari angkutan umum. Sang nenek terlihat membawa keranjang belanjaan yang berisi bahan makanan, dia membantu nenek tua itu turun dari angkutan umum. "Hati-hati, Nek!" "Iya, Nak." Setelah membayar ongkos pada sang supir mereka berdua berteduh dibawah pohon yang ada di pinggir jalan. Nenek yang tadi turun bersamanya juga ikut duduk. Matahari tepat di atas kepala, panasnya hampir empat puluh derajat. "Apa kamu tidak punya saudara, Nak?" tanya nenek itu kemudian. Zahra menggeleng. "Tidak." Sang nenek terlihat menghela nafas panjang, wajah tuanya yang keriput masih memancarkan garis kecantikan. Mungkin dulu di kembang desa di daerah tempat tinggalnya. "Kalau begitu ikut ke rumah Nenek saja! Nenek hanya tinggal sendiri dirumah." Mata kelam Zahra berbinar, mendengar ucapan sang nenek yang tidak dikenal berani menawarkan tempat tinggal. Masih ada orang baik di dunia ini yang mau peduli pada sesama. "Benarkah?" tanyanya memastikan. Nenek mengangguk pelan. "Iya." Zahra memutuskan menerima tawaran nenek untuk ikut pergi ke rumahnya, namun masih ragu. Benar sudah tidak ada tujuan untuknya pergi dari tempat lain. Hari semakin gelap, senja bergulir berganti dengan malam. Sebentar lagi akan turun hujan, mereka berjalan sejauh satu kilometer memasuki perkampungan tempat tinggal sang nenek tua. Kampung tempat tinggal nenek agak jauh dari kota, hanya ada angkutan umum sehari yang lewat untuk menuju ke arah kabupaten. Letak desa yang terpencil jauh dari keramaian membuat Zahra bisa melupakan derita yang terus membelenggu hidup. Di Kampung itu dia mengawali sebuah kisah perjalanan hidup, dia berharap bisa melupakan masa lalu bersama Raja yang pahit dan segera membuka lembaran baru. Mungkin suatu hari nanti akan menemukan kebahagian sejati. *** Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD