Bab 3 Penolakan

1577 Words
"Regan," seru Mas Raja ternganga. Regan menahan bobot tubuhku yang hampir setengah meter menyentuh lantai granit berwarna krem. Sontak Regan menarik tangan ini untuk berdiri dengan tegak. Ada tatapan elang yang seakan siap memangsaku dalam tiap pandangan Mas Raja. Aku ibarat korban yang siap diterkam tepat sasaran. Kurapikan baju daster yang tadi agak berantakan dan juga rambut yang terlihat acak-acakkan. Keadaan jauh dari kata rapi, baru saja bangun tidur, nyawa pun belum kembali sepenuhnya ke raga. Tiba-tiba dikejutkan dengan kedatangan Regan yang mengantarkan sarapan atas titah mama mertua. Dimata Mas Raja terlihat api cemburu, seolah mengatakan ketidakrelaan melihat mantan istrinya disentuh pria lain. Ini hanyalah tragedi tanpa sengaja dan tanpa adegan yang dibuat-buat, tapi murni kecelakaan. "Ma … Mas Raja," jawabku gugup. Kugigit bibir bawah untuk menetralkan degup jantung ini, sedangkan Regan bersikap santai seolah tidak terjadi apa pun barusan. "Berani sekali kau menyentuh Zahra, Regan. Apa-apaan ini?" nada kalimat Mas Raja sedikit meninggi kepada Regan, sementara dia hanya tersenyum miring. "Kenapa, cemburu?" tanyanya santai. Wajah Mas Raja seketika berubah merah padam mendengar kalimat yang barusan didengar. "Tidak. Aku hanya tidak suka kau menyentuh Zahra," jawabnya berbohong. Regan kembali tersenyum miring. Kedua lesung pipinya yang mirip Afgan terlihat melengkung, sudut bibirnya membentuk senyuman manis. Pria berlesung pipi dan berkumis tipis itu berkacak pinggang menghadap Mas Raja. "Bukankah kemarin abang tak sudi melihat Zahra, kenapa masih emosi melihat kami bersama." Regan berkata dengan nada sindiran. Tangan Mas Raja terlihat mengepal, giginya terdengar gemeretak saling beradu sama lain, dadanya turun naik menahan sesak. Dia tidak terima dengan sikap Regan yang langsung tutup poin. "Regan!" seru Mas Raja. "Jaga sopan-santunmu kalau bicara! Aku lebih tua darimu. Apa begini caranya seorang dokter menjaga sikap?" teriak Mas Raja geram. Nada bicaranya naik satu oktaf. "Jangan mengajari sopan-santun, Bang. Kalau dirimu saja tidak menghormati wanita apalagi istrimu," sahut Regan tak mau kalah. "Usia tidak menjadikan patokkan untuk mengajarkan tata krama." "Cukup, Regan! Kau sudah melukai harga diriku sebagai seorang laki-laki," dengkus Mas Raja. "Harga diri yang mana membuatmu terluka? Harga diri sebagai seorang perwira polisi? Atau sebagai seorang pria bodoh hah?" cibir Regan. Kedua kakak beradik itu saling adu mulut, hingga pertengkaran tidak dapat dihindari. Mas Raja memukul wajah Regan dengan kepalan tinjunya, sudut bibir Regan meneteskan darah akibat pukulan tinju kakaknya. Soal kekuatan Mas Raja mempunyai tubuh atletis, dia seorang perwira polisi yang dituntut untuk menjaga bentuk tubuh. Wanita mana yang tidak akan jatuh cinta bila melihat bentuk tubuh Mas Raja yang berotot. Tangan kekar, d**a bidang serta tenaga yang kuat, wajahnya juga tampan, dan berkulit putih bersih, beralis tebal bagai semut beriring. "Regan! Jangan memaksaku untuk melakukan k*******n padamu." Mas Raja menaikkan nada bicaranya lagi. Tangannya dengan kasar meraih kerah baju Regan, menariknya, dan mencekram kuat. Aku takut perkelahian kedua kakak beradik itu akan mulai lagi, namun apa dayaku tidak bisa memisahkan dua bersaudara yang kini terbakar emosi. Baru saja Mas Raja akan melayangkan tinjunya kembali, papanya datang dengan satu teriakan, kedua kakak beradik itu saling bertatapan. "Hentikan, Raja! Jangan buat keributan di rumah ini!" ucap papanya berteriak. Kedua pria itu pun saling diam dan menundukkan wajah. Tidak ada yang berani menatap wajah sang ayah. Hening. Tidak ada satu pun yang mulai bicara untuk menimpali papanya, kami sama-sama diam dalam pikiran masing-masing. Jantungku semakin berdetak dengan kencang kala melihat wajah pria paruh baya itu memerah. Dua anak dari pasangan Erlangga dan Renata sama-sama mempunyai sifat keras kepala. Mas Raja mempunyai sifat keras dan disiplin karena hasil didikan dari militer, sedangkan Regan mempunyai watak yang lembut, dan penyayang. Karakter keduanya jauh berbeda bagai langit dan bumi. "Apa yang kalian lakukan? Malam berkelahi, pagi bertengkar. Papa pusing melihat kakak-beradik tidak mau akur." Papanya menatap satu-persatu kedua anaknya secara bergantian. Kembali Mas Raja menundukkan wajahnya, di hadapan sang ayah. Dia selalu tunduk dengan aturan ayahnya meskipun seorang perwira tertinggi di barisan pangkat polisi. Menjalani hidup sebagai seorang militer membuat didikkan Mas Raja keras, sikap Mas Raja berbanding terbalik seratus delapan puluh derajat dengan Regan. "Kenapa diam? Apa kalian tidak punya mulut untuk bicara? Regan, Raja, jelaskan pada Papa apa yang kalian lakukan berdua di kamar Zahra." Papanya berkata setengah berteriak, memandang kedua pria yang masih bergeming. "Maaf, Pa. Aku hanya ...." Mas Raja menggantung kalimatnya. "Hanya cemburu, Pa," potong Regan cepat. Kening Mas Raja seketika berkerut mendengar ucapan Regan, wajahnya mendadak berubah merah seperti tomat masak. Aku menoleh ke arah mantan suamiku itu. "Ayo kita keluar sekarang dari kamar Zahra! Kita bicarakan masalah ini di ruang keluarga bersama Mama," ucap Papanya disertai kedua anaknya keluar. Aku memilih diam di kamar sembari membersihkan diri, dan berganti pakaian sebelum menemui mereka, mungkin ayah mertua ingin memberi pelajaran kepada kedua anak lelakinya. Di ruang keluarga papanya sedang menyidang kedua putranya. Seperti terdakwa yang tervonis hukuman, wajah kakak beradik itu hanya menunduk tanpa berani menatap pria yang duduk dengan tegap. Ayahnya berdiri berkacak pinggang, menatap satu persatu putra kesayangannya secara bergantian tanpa berkedip. "Raja, Regan! Dengarkan Papa bicara baik-baik! Papa, tidak ingin mendengar lagi ada keributan dirumah ini. Kalian Papa besarkan dan didik bukan untuk menjadi pengecut, dan terlebih lagi kau Raja ...." Papanya menuding ke arah Mas Raja. Langsung saja, Mas Raja bangkit dan berdiri menghadap papanya. Dia tidak terima dituduh membuat keributan. "Ini semua gara-gara Regan, Pa. Kalau saja dia tidak menyentuh Zahra, maka tidak akan terjadi pertengkaran ini," sahut Mas Raja. "Regan, apa benar yang dikatakan Raja?" tanya papanya penasaran. "Bohong, Pa," bantah Regan. Sontak Regan berdiri menghadap menatap kakaknya, ada rasa tak suka melihat Mas Raja menuduhnya. "Kamu yang bohong, Regan. Kamu telah dengan sengaja menyentuh Zahra yang jelas-jelas bukan muhrim," tandas Mas Raja. Nada suaranya berubah ketus. "Itu semua fitnah, Pa. Raja berbohong," potong Regan. "Benar, Pa," tuding Raja. "Aku menyaksikan dengan kepala, mataku sendiri." "Fitnah," kilah Regan. Ayahnya yang mendengarkan kedua anak kebangaanya saling menuding seketika menjadi geram. Regan terus saja didesak dengan tudingan Mas Raja tanpa alasan dan bukti yang kuat. "Diam! Di sini Papa yang berhak bicara, bukan kalian," dengkus papanya. Suasana yang tadi keruh kini kembali hening. Aku yang mendengar teriakkan papa mertua, segera keluar dari kamar setelah membersihkan diri dan memakai pakaian yang sopan menghadap mantan suami, papa serta adik iparku. Aku memakai baju gamis berwarna putih dengan renda di bawahnya berwarna biru. Begitu juga dengan hijab yang aku pakai senada dengan yang dikenakan. Begitu keluar dari kamar dengan pakaian rapi, Mas Raja seketika dengan susah payah menelan salivanya. Dia tertegun melihatku anggun, berjalan dengan gemulai di hadapannya. "Raja, kamu bukan lagi anak kecil yang harus dinasehati setiap kali bersalah. Keputusan semua ada padamu," ucap papanya kemudian. "Zahra, kemarilah!" Papa mertua memintaku untuk mendekat padanya, aku duduk di hadapan pria paruh baya yang terlihat masih gagah, berjarak setengah meter dari Mas Raja. Sofa empuk yang berbusa tebal menjadi sandaran tempat duduk menahan bobot tubuh ini. "Ya, Pa," jawabku pelan. Kuremas jari-jemari yang saling bertautan untuk menetralkan desiran dalam d**a. "Raja, putuskan sekarang juga apa yang kamu inginkan dalam hidupmu. Batalkan talak kepada Zahra! Papa tidak ingin kamu menjadi laki-laki yang pengecut. Meninggalkan seorang wanita setelah menghabiskan malam pertamanya," tukas papanya. Wajah Mas Raja terlihat tegang. "Tidak, Pa. Keputusanku tetap sama. Hari ini juga aku menjatuhkan talak kepada Zahra. Aku menolak Zahra kembali sebagai istriku." Mas Raja berkata dengan nada tinggi. Deg. Kuremas d**a yang terasa sesak dan sakit bagai ditusuk ribuan belati. Cairan bening ini luruh seketika m*****i pipi, kata-kata talak yang kudengar kemarin bukanlah mimpi. Kali ini aku dengan jelas mendengarnya kembali, Mas Raja sudah menolak sebagai istri yang sah dan menjatuhkan talak hanya karena satu alasan. Dia menuding, aku gadis yang tidak suci, ini lebih menyakitkan daripada ditikam dengan sebuah pedang yang tajam. Mengatakan aku telah berkhianat atas cintanya, seolah ada yang lain selain dirinya. Aku bangkit dari tempat duduk dan menatap separuh jiwaku yang telah pergi. Dulu, wajah itu selalu kurindukan, namun sekarang aku membencinya. Sangat membencinya. "Terima kasih sudah mencintaiku walau hanya sesaat, Mas. Terima kasih karena sudah memberiku kebahagian meski itu cuma sebentar. Aku ikhlas menerima talak mu. Aku sabar dengan lapang d**a," ucapku lirih. Kembali cairan bening ini mengalir, air mata ini turun begitu saja membasahi pipi. Sudah ku usahakan agar tidak kelihatan lemah di hadapan Mas Raja. Aku menguatkan hati ini seperti karang yang kokoh di lautan. Bahkan rasa cinta pun sedang ku semen agar tidak lagi bocor, tapi perempuan memanglah makhluk yang paling lemah. Sekuat apa pun aku menahan rasa sakit tetap diri ini lemah, terlebih bila wanita menangis karena terluka, dan kecewa. Wajar aku patah hati jika disakiti. "Raja!" seru Regan. "Tega sekali abang menjatuhkan talak kepada Zahra yang belum resmi menjadi istrimu dalam waktu dua puluh empat jam." Mas Raja menghela nafas dan menghembuskan secara kasar. Dia mengusap wajahnya frustarasi. "Kalau kamu mau … nikahi saja Zahra! Aku tidak menginginkannya lagi," dengkus Mas Raja. Mas Raja mengatakan tanpa menghiraukan perasaanku saat ini. Tidak kusangka dia begitu tega melemparku sama seperti barang mainan yang sudah bosan dimainkan, lalu dicampakkan ke tempat s****h. Bugk. Regan memukul wajah Mas Raja dengan satu kepalan tinju. Tubuh pria tinggi tegap itu langsung jatuh ke lantai dengan wajah yang lebam. "Kau kira Zahra barang mainan? Bisa seenak hatimu dilempar setelah bosan kau mainkan!" hardik Regan. Dia melampiaskan kekesalan kepada Mas Raja, marah, dan emosi. Mas Raja berusaha bangkit ingin membalas pukulan Regan. Aku dengan sergap menghalanginya, hingga pukulan itu tepat mengenai sasaran ke wajahku. "Hentikan, Mas!" teriakku. Sialnya pukulan Mas Raja sudah tepat mengenai sasaran. Sesaat kemudian pandangan ini menjadi buram, lambat-laun sekitarku menjadi gelap gulita seperti ruang hitam. "Zahra!" teriak Regan. *** Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD