1

2497 Words
“Kerja bagus!” Vanesha Biandra Mahardika menepuk-nepuk pundak sahabatnya setelah turun dari boncengan. Parkiran Bina Bangsa (BB) dipenuhi oleh siswa yang dilanda panik. Mereka pantas panik karena jam dinding baik yang ada di ruang kepala sekolah, wakil kesiswaan ataupun wakil-wakil lainnya beserta kantor majelis guru sudah menunjukkan jam delapan kurang sepuluh menit. “Masuk sana.. ga takut telat apa?” tanya Fiki Nugraha sambil memakan roti yang sempat dicurinya dari meja makan keluarga Teja Mahardika seperempat jam yang lalu. Vanesha yang sering disapa Vani ini hanya mengendikkan bahu tak peduli,”kalo telat ya lo harus tanggung jawab,” selorohnya, tak lupa kedipan mata yang sama sekali tidak bisa dikatakan genit. Terlalu memaksakan sih, Vani. Sama dengan kelas Fiki –sebut saja kelas unggul– dimana guru-guru akan mengulur waktu untuk masuk kelas karena kewalahan menghadapi antusias siswa, untuk kelas Vani guru juga akan sengaja telat masuk kelas karena tidak ingin tekanan darahnya naik akibat siswanya yang masuk tiap tiga menit sekali. Terlebih guru-guru kelompok manula yang akan sangat kesal karena kedatangan teman-teman Vani secara bergilir membuatnya melupakan apa yang akan disampaikannya. “Masuk sayang,” suruh Fiki pada Vani. “Okeh, beb,” ucap Vani dengan memutar bola matanya jengah. Ah, jangan salah artikan kata sayang yang terucap dari mulut mereka berdua karena memang begitulah style pertemanan mereka. Keduanya berpisah di tempat parkir. Vani ke Utara sedangkan Fiki ke Selatan. Gadis dengan rambut sepunggung itu cukup bersemangat karena tidak ada mata pelajaran empat sekawan hari ini. Empat sekawan adalah matematika, fisika, biologi dan kimia. Dan tak ada yang lebih melegakan saat kalian bisa terbebas dari pemikiran tentang yang empat itu sehari dalam seminggu. “Tungguin, Yi!” teriak Vani saat mendapati punggung salah atu teman sekelasnya. “Sudah dibilangin jangan panggil gue pakai nama itu di khalayak ramai,” gerutu Fahri Damar Hakim. Ia tidak ingin satu BB mengetahui nama kecilnya. Namun Vani tidak menunjukkan wajah bersalah atau apapun, ia hanya menyengir. Kedua remaja berlainan gender itu berjalan dengan ransel yang hanya disampirkan ke bahu kirinya. Tak jauh dari mereka sepasang remaja dengan seragam khas Bina Bangsa tampak menggeleng-gelengkan kepala kepada teman mereka yang cukup sering mengeluh itu. Pasti keduanya akan mengeluh lagi dalam tempo satu kali dua puluh empat menit. Vani dan Fahri berhenti di bibir tangga yang membatasi lapangan upacara dengan kelas yang sudah seperti rumah susun sambil menengadah melihat bangunan didepan mereka. “Gue capek loh Van.. gimana kalo hari ini kita bolos?” tanya Fahri melihat bangunan sekolahnya yang empat lantai itu, dan sialnya kelas mereka berada dilantai empat dan paling pojok pula. “Yakin lo?” Tanpa disadari oleh keduanya, sepasang remaja tadi mengamati mereka sudah berdiri disisi kiri dan kanan mengapit Vani dan Fahri. Mereka juga sudah mengubah posisi ransel seperti yang dilakukan dua temannya yang berencana bolos itu. “Kita butuh katrol, De,” gelak Kito, Dea juga menengadah dan melihat anak-anak lantai empat yang melambaikan tangan. Entah lambaian tangan untuk segera menyusul mereka atau lambaian tangan agar empat sekawan itu melambai pada kamera tersembunyi pertanda menyerah. “Gue justru lebih butuh pegangan, Kit, ga kuat denger nih anak berdua yang rankingnya aja susah dipertahanin pengen bolos,” ucap Dea menanggapi ucapan Kito Hanan Wirasena “Bacot lo,” ucap Vani jengkel pada dua orang yang lebih dulu memulai perjalanan terjal menuju kelas sebelas MIPA 5. Vani mulai mengikuti jejak Kito dan Dea menuju enam tangga zig-zag yang ia sendiri tidak tau berapa banyak anak tangga pada masing-masingnya. Gadis itu memekik kesal saat Fahri menarik tasnya dan berlari mendahului. Tampak dari lantai dua gedung bagian selatan, seseorang dengan mata agak sipit menatap tidak suka pada keakraban keduanya. >>>  Vani dan Fahri sampai di kelasnya dan semua orang sibuk dengan buku tulis masing-masing. Keduanya berjalan menuju bangku paling belakang. Kito, Dea, Fahri dan Vani duduk di pojok kiri paling belakang. Udah pojok, kiri lagi. Jika saja Kito dan Fahri termasuk para badboy BB maka mereka pasti akan menggunakan posisi yang sangat strategis itu untuk mengolah cewek atau bahkan lebih. Hanya saja keduanya hanya anak ibu yang tidak punya waktu lebih untuk hal-hal berbau cinta. Waktu mereka hanya digunakan untuk jajan, nyontek dan berkelakar. “Catatan sejarah lo udah?” tanya Vani yang memutar duduknya dan berhadapan langsung dengan Fahri yang duduk tepat dibelakangnya. “Gue nebeng Kito aja,” ucap Fahri pada teman sebangkunya sambil mengangkat-angkat alis Anak sebelas MIPA 5 memang sangat suka memanfaatkan keadaan guru sejarah mereka yang tahun depan akan pensiun. Contohnya Fahri yang bisa dengan mudah melengkapkan nilai catatannya dengan catatan milik kito. Caranya sangat mudah, tinggal menyobek catatan kito yang ada paraf si guru sejarah lalu catat ulang bagian yang disobek dan menutup nama Kito Hanan Wirasena dengan double tip dan menuliskan nama Fahri Dammar Hakim di atasnya. Kemudian nilainya akan duduk dengan syantik di buku biru milik pak Bambang, guru sejarah anak-anak gedung utara. “Ga lagi deh, Yi, buku gue makin tipis lo sobekin tiap minggu.” “Ininih yang namanya temen. Kalo lo ga mau bantuin gue kasih kode dari kemaren kan bisa,” ucap Fahri kesal. Tapi tak perlu panik karena ada dua puluh delapan teman yang bisa ia pinjami catatan. “Selamat pagi,” ucap yang tak pernah ditunggu, bagi kelas yang diketuai oleh Robi itu, jika pak Doni tidak datang ya Alhamdulillah dan kalo si bapak datang ya siapa takut? Hayuuk. Pak Doni masuk dengan semangat seperti biasa dan merekapun memulai pelajaran dengan berdoa terlebih dahulu dan setelahnya pak Doni mengecek kehadiran siswanya. >>>>  “Misipak!” “Yusuf!! Kamu sengaja ya bikin konsentrasi bapak buyar? Masuk kamu.” Ucup masuk tanpa peduli dengan tatapan temannya dan segera menjatuhkan bokongnya disamping sang ketua kelas. Ia adalah satu-satunya cowok bandel yang duduknya paling depan, faktor berteman dengan Robi. “Catatan kamu mana?” Yusuf Fairuz Amzari mengedarkan pandangan ke seluruh kelas dan mendapati Vani tak berniat melihatnya. Dan paling menyenangkan mengganggu gadis itu jika ia sudah menunjukkan keengganan sedari awal. “Catatan saya sama Vanesha, pak!” “Loh kok bisa catatan kamu sama penyanyi cilik kita?” tanya pak Doni kurang percaya “Cha.. catatan aku ketinggalan dirumah kamu kan ya?” tanya Ucup pada Vani, disaat-saat tertentu cowok itu memang memanggilnya 'Echa'. Dan sepakat semua teman mereka mendengungkan kata 'cieeeee' “Engga lah pak, dia aja ga tau dimana rumah saya” ucap Vani. Selain kesal karena di-cie-kan dia juga kesal karena Ucup meng-aku-kamu-kan dirinya. Pak Doni hanya bisa menghela napas lelah menghadapi murid-murid bandelnya, lalu membiarkan Ucupdengan seribu satu alasan dikepalanya. Saat pelajaran kembali dilanjutkan, Ucup masih sempat menunjukkan muka kesalnya pada Vani. >>>>  “Mau kemana lo, Cup?” tanya Vani yang dibuat seramah mungkin. Kelas mereka sedang istirahat, ralat seluruh kelas memang sedang istirahat dan Vani berniat minta tolong Yusuf Fairuz Amzari yang lebih akrab dipanggil ucup untuk beli jajanan, pasalnya ia lelah lahir dan batin kalau harus turun kebawah dan rebutan sama anak satu sekolahan. “Ga. usah. ngomong. sama. gue!” “Aku nanya kamu mau kemana loh ini,” ulang Vani dengan ekspresi penuh canda “Rese lo. Ke selatan!” jawab Ucup dan secepat itu pula Vani sudah berdiri didekatnya. Cewek yang tingginya hanya sebahu Ucup itu sudah pasti mau ikut, ia bahkan lupa dengan lelah lahir batin nya tadi. Vani dengan tujuan kelas Fiki dan Ucup dengan tujuan anak baru yang cantik. Cowok yang cukup terkenal karena ketampanannya itu sering mengutuk kenapa anak baru yang cantik dan semok selalu ditempatkan di gedung selatan. Dan kenapa ia harus di letakkan di tempat gersang seperti kelasnya. Vani dan Ucup berjalan bersisian tanpa mengucapkan sepatah katapun. Mereka tak cukup dekat, dikatakan jauh tidak pula, keduanya saling kenal saat di SMP Garuda dan sekarang kembali dipertemukan dikelas 11. Mereka cukup sering mengambil keuntungan satu sama lain saat ujian. Dan meskipun begitu tak ada diantara keduanya yang risih. “Ga ada album baru Van?” tanya Dino. Cowok yang cukup sering mengganggu Vani dengan cara selalu menanyakan kapan album baru Vani keluar. “Bacot!” dengus cewek cantik yang dulunya adalah penyanyi cilik. Ia tergabung bersama Deva Algibran, Daniel Putra Prambudi, Rian Gastiadi Bahir dan Cinta Maharani Balfitra. Vani yang seumuran dengan Rian, Deva dan Putra yang tua setahun dari mereka dan Cinta tiga tahun dibawah Vani. Gadis itu sangat bersyukur mereka berlima tidak berada dalam satu sekolah karena jika iya, sudah pasti akan jadi lelucon oleh anak-anak lainnya. Ucup meninggalkan Vani didepan kelas sebelas MIPA 1 dan memperingati teman sekelasnya itu agar tidak kemana-mana karena kalau tidak, ia akan meninggalkan Vani saat bell masuk. “Ckckck orang nengokin dia, eh dianya lagi pacaran,” ucap Vani setelah separuh tubuhnya berada dalam kelas unggul itu. Kadang cewek itu merasa dunia tidak adil, ia dan teman-teman sekelasnya harus memampatkan waktu bermain dan pacaran karena kapasitas otak mereka tak seberapa, tapi lihat penghuni kelas unggul ini mereka punya cukup waktu untuk main, pacaran dan lain-lain. Bahkan separoh dari player BB bersarang di lokal-lokal unggul baik itu IPA atau IPS. Gadis itu kembali keluar, menumpukan berat badannya ke dinding yang disandarinya dengan tangan kanan berada dalam kantong rok abu-abunya menunggu Ucup sekaligus berharap cowok itu tak lama-lama memodusi anak gadis orang. Oh iya, Ucup masuk dalam list player yang dimiliki BB walaupun kapasitas otaknya biasa saja. Ketampanan yang dimiliki oleh Ucup tidak bisa diabaikan begitu saja terlebih oleh siswi-siswi BB. Vani kesal karena Fiki jelas melihatnya saat memasuki kelas itu walaupun temannya itu tidak memutar kepala. Tapi tak ada tanda-tanda ia akan menghampirinya. “Apa cewek itu terlalu berharga?” gumam Vani mencibir sambil memainkan kukunya. Sayang sekali BB tidak membenarkan hape beradi dikawasan sekolah, karena kalau boleh mungkin Vani tidak harus terlihat seperti cewek yang dicampakkan seperti ini. “Udah kelar urusan lo?” tanya Ucup yang sedang mengunyah sosis. Vani yang mendengarnya hanya mencebikkan bibir sambil menunjuk kelas didepannya setelah sebelumnya ia meminta makanan milik Ucup. Ucup melongok sebentar sebelum menarik lengan baju Vani untuk mengikutinya keluar dari gedung selatan. “Mau kemana kita Cup?” tanya Vani yang sama sekali tidak risih saat lengan bajunya ditarik. Bagi Vani lebih baik ucup menarik lengan bajunya dari pada menarik tangannya. “Mau ngawinin elo, gile aje. Ya makanlah.. besok-besok jangan ikutin gue lagi, berasa bawa anak aja gue. Nyepik cewek jadi ga tenang nih batin.” “Ya makanya lo ajak gue nemuin dia, biar sekalian bantu-bantu.” “Bantu-bantu nenek lo kipper! Yang ada langsung ditendang gue nya,” rutuk Ucup setelah mengusir adik kelasnya yang sudah selesai makan. Saat soto yang di pesan keduanya tiba, Vani pindah ke meja yang diisi oleh Ayi, Dea dan Kito. Ucup? Cowok itu hanya melihat pergerakan Vani yang tanpa pamit dengan tampang datar, ia tak terlalu peduli pada cewek itu. Baginya kalo si penyanyi cilik sudah bersama teman-temannya ya bagus, tanggung jawabnya lepas. >>>  Penghuni gedung utara mulai turun sejak bel terakhir berbunyi. Wajah-wajah lega, lelah dan bosan mulai memenuhi lapangan upacara. Begitu juga anak sebelas MIPA 5 yang terlihat cukup kompak karena mereka turun berbarengan. Sampai di lapangan upacara pun mereka masih membicarakan sesuatu. Dari parkiran Fiki melihat bagaimana teman dekatnya dibuat kesal oleh teman-temannya, entah apa yang mereka bicarakan Fiki tidak tau. “Vannn” teriaknya dan Vani segera pamit pada teman-temannya “Pada ngapain?” tanya Fiki sembari memberikan helm, namun Vani hanya melihat helm dan wajah sahabatnya itu bergantian. Fiki seolah tidak bersalah apa-apa padanya, hebat sekali. “Lo mau pulang ga sih darl?” “Oh jadi gue masih darling nya elo?” Fiki tersenyum dan menarik uluran tangannya yang tak kunjung mendapat sambutan dari darlingnya itu “Lagi-lagi lo cemburu,” kekeh Fiki sambil berpangku tangan dan melihat geli pada Vani “Huh.. segitu takutnya elo kalo dia ga mau digebet? Lagian tuh cewek kan bukan anak baru dan udah pasti dia tau kalo elo itu cuma temen gue.” “Iya iya iya.. maaf ya yang.” “Jangan sayang-in gue, lo kira gue bisa luluh apa,” bentak Vani dan meraih helm dengan kasar. “Kalimat gue diawal tadi pake tanda tanya lo Van,” ucap Fiki bahwa ia masih menagih jawaban dari pertanyaannya tentang apa yang Vani dan teman kelasnya lakukan. “Ributin upacara minggu depan, dan gue disuruh baca tatib,” jawab Vani malas dan Fiki hanya mengangguk paham. “Maunya bawa bendera, tapi Ucup larang,” terang Vani “Emang dia siapa sih? Ketua kelas?” tanya Fiki sewot, bukannya ia tidak tau kalau istirahat tadi Vani juga bersama cowok itu. “Bukanlah,” ucap Vani tidak terima, bagaimana ceritanya anak kayak Ucup jadi ketua kelas. Dia hanya teman baiknya ketua kelas yang akan selalu setuju dengan pendapatnya. “Malesin banget tuh orang” “Emang” >>>>  Perjalanan pulang cukup cepat karena jalanan tidak terlalu macet. Vani menarik Fiki agar ikut masuk kerumahnya. Ia ingin mengajak sahabatnya itu makan siang. “Makan lagi? Lo udah gendut banget Van.” “Belum, gue butuh tiga kilo lagi, ayok!” “Ga! Gue ga suka elo bengkak begini,” ucap Fiki dan pergi dari hadapan Vani bersama motornya. Selain tidak suka jika sahabatnya jadi gendut, Fiki juga tidak suka masuk kedalam kotak lain pertemanan Vani. Ya, Vani temannya itu adalah tipe orang yang mengkotak-kotakkan pertemanan. Semua ada empat kotak, kotak pertama berisi teman-temannya sesama penyanyi cilik yang selalu nongkrong dirumah cewek itu. Kotak kedua adalah Fiki, kotak ketiga berisi tiga orang yang selalu bersama Vani sejak memasuki BB yaitu Dea, Kito dan Fahri. Kotak keempat adalah tingkatan kasta paling rendah dalam pertemanan gadis itu, yaitu teman biasa yang cuma kenal nama ataupun wajah. “Kadang gue heran, ini rumah apa panti asuhan,” gumam Vani sambil membuka sepatu converse nya. Di ruangan favoritnya sudah terdengar cekikikan ataupun teriakan Cinta karena dijahili oleh tiga siswa SMA Garuda.Tidak perlu ganti baju, Vani segera bergabung dengan mereka. Tapi terlebih dahulu ia mengusir adik tirinya dari sana “Tega banget, dasar kak Ros,” celetuk Putra. Putra sangat senang menamai adik tiri Vani yang kembar itu dengan Upin-Ipin, lalu Vani sendiri sebagai kak Rosnya. Cowok yang semua orang bilang cocok dengan Vani itu paling tidak suka jika gadis itu bersikap kasar pada si kembar. “Mending kak ros deh Put, kak ros kan masih sayang sama adeknya,” celetuk Cinta dan tentu saja tidak akan pernah diambil pusing oleh Vani. “Cerewet, lo mau UN kan? Ngapain masih aja ngapelin gue?” ucap Vani ketus. “Gue Cuma ga mau ambil resiko kalo lo balik ke kebiasaan mistis lo. Ntar gosip kita makin serem aja, kekasih Putra ternyata punya kelainan, kan jelek banget itu artikel,” jawab Putra. Kebiasaan mistis yang di sebut Putra adalah Vani yang dulu sempat punya teman imajinasi. Yang membuat Vani lebih memilih main bersama khayalannya. Tapi semua itu hilang sejak mereka dipertemukan lebih tepatnya sengaja dipertemukan. “Serah lo deh, Put.” “Ganti baju dulu Van!” itu suara Rian. Cowok yang paling berisi diantara mereka. “Tapi habis itu kita makan ya, Yan,” Rian menganguk. “Teruss.. selingkuhinaja gue terus,” ucap Putra kesal. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD