BAB 1 | Kenapa Harus Blaxton?

1773 Words
*** London, UK,. Alexander's Corporation adalah salah satu perusahaan besar dan sangat terkenal di kota London. Selama puluhan tahun perusahaan ini didirikan, tak sekalipun pernah tersandung masalah besar seperti yang terjadi saat ini. Beberapa bulan yang lalu, Alexander's Corporation mengalami kerugian besar karena kasus penipuan yang dilakukan oleh salah satu mitra perusahaan itu sendiri. Tidak sedikit jumlah uang yang melayang, sehingga hal itu berdampak semakin buruk atas kelangsungan perusahaan tersebut. Beberapa kali para petinggi perusahaan melakukan meeting dadakan, mereka berusaha mencari solusi terbaik agar bisa menyelamatkan Perusahaan, namun tetap saja nihil. Lagi-lagi jalan mereka buntu dan Alexander's Corporation terancam bangkrut. °°° Di tempat parkiran sebuah Rumah Sakit, Seorang gadis berusia 27 tahun menghentikan laju mobil. Ia mematikan mesin kendaraannya itu lalu melepas seatbelt dan membuka pintu, turun dari mobil. Setelah menutup kembali pintu kendaraannya itu, pun ia bergegas masuk dengan langkah lebar. Dia adalah Brianna Grechia Alexander's. Terlihat langkahnya terkesan buru-buru sehingga suara hentakan heels-nya menghasilkan bunyi yang cukup mengusik telinga di koridor rumah sakit. Wajah cantiknya terlihat cemas, sedangkan dalam hati terus merapalkan doa untuk seseorang yang menjadi tujuannya berkunjung ke Rumah Sakit ini. Menit berlalu, Brianna berdiri tepat di depan sebuah pintu ruang rawat VIP. Tidak jauh dari pintu itu terdapat dua orang pria bertubuh kekar yang sedang berjaga. Mereka adalah bodyguard. Tanpa berniat mengetuk terlebih dahulu, Brianna menggenggam handle pintu, menekan pelan lalu mendorongnya hingga terbuka lebar. Ruangan itu sunyi dan hanya terdengar suara monitor. Pandangan Brianna langsung tertuju pada ranjang pasien. Ia masuk dan tidak lupa menutup pintu kembali. Kemudian dengan langkah lebar, Brianna menghampiri sosok yang terbaring lemah di atas ranjang itu. "Grandpa." Brianna melepas handbag di tangan kirinya di ujung ranjang dan beralih memeluk pria senja yang terbaring lemah di sana. "It's oke, Grandpa baik-baik saja sayang," ucap pria senja itu yang tidak lain adalah Marchell Alexander's. Kakek dari Brianna. "Tidak ada yang baik-baik saja kalau kau sendiri sudah berbaring di sini, Grandpa. Kau membuatku cemas dan takut," ucap Brianna terdengar lirih. Ia mengurai pelukannya dari sang Grandpa dan menatap lekat-lekat wajah keriput itu. "Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa bisa tiba-tiba kau masuk rumah sakit, Grandpa? Bukankah tadi pagi kondisimu baik-baik saja?" tanya Brianna. Sebelum menjawab pertanyaan sang cucu, pun Marchell menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Kemudian ia meminta sang cucu perempuannya itu supaya duduk di sisi ranjang. Brianna pun mengikuti keinginan sang Grandpa. Ia duduk di sana sambil menggenggam hangat tangan keriput itu yang terbebas dari selang infus. "Grandpa hanya syok atas kabar yang Grandpa terima tadi pagi, sayang." Marchell menjawab seraya mengulas senyum di wajah. Brianna terdiam, ia paham dengan kabar yang dimaksud oleh sang Grandpa. "Sedari Grandpa kecil, bahkan sebelum Grandpa dilahirkan ke dunia ini, Great-grandpa mu mendirikan Alexander's Corporation dengan susah payah sampai menjadi sebuah perusahaan besar yang banyak dikenal orang-orang. Ada banyak hal yang pernah Great-grandpa mu ceritakan padaku. Salah satunya adalah bagaimana susahnya dia saat membangun perusahaan itu. Dan mulai dari situlah Grandpa bersumpah bahwa Grandpa akan melakukan apapun untuk mempertahankan Alexander's Corporation. Setelah Ayahmu dilahirkan ke dunia ini dan setelah dia beranjak dewasa, Grandpa juga menyampaikan hal yang sama kepada Ayahmu. Grandpa memintanya untuk menjaga Alexander's Corporation dengan baik. Selama ini Ayahmu sudah menjalankan amanah Grandpa dengan sangat baik, Nak. Tapi siapa sangka setelah puluhan tahun, hari ini kita terancam akan Kehilangan. Kehilangan sesuatu yang menurut Grandpa sangatlah berharga." Marchell menjeda kalimatnya sejenak, ia menggelengkan kepala dengan pelan, sementara Brianna terus memandang dengan kedua mata berkaca-kaca. "Ini bukan tentang uang ataupun kemewahan. Kalaupun Alexander's Corporation benar-benar lepas dari genggaman kita, Grandpa yakin Ayahmu dan Michael pasti mampu menjamin hidup kita. Kita tidak akan mungkin hidup terlantar. Iya, Grandpa tahu itu. Tapi bukan materi dan kemewahan yang menjadi permasalahan utamanya, Nak. Ini soal amanah yang pernah ditinggalkan oleh Great-grandpa mu." Marchell meraih sebelah tangan Brianna dan menggenggam lemah. "Kali ini Grandpa ingin memohon langsung kepadamu. Lakukanlah sesuatu untuk menyelamatkan perusahaan kita, Nak. Grandpa mohon." Brianna menelan saliva dengan kasar. Ia terus memandangi wajah lemah sang Grandpa, sedangkan air mata sudah menetes di pipi. "Aku sedang melakukannya, Grandpa. Aku tidak diam saja. Aku sedang berusaha untuk mencari bantuan kesana kemari demi bisa menyelamatkan perusahaan kita," jawab Brianna. "Lalu bagaimana hasilnya?" tanya Marchell. Brianna menggeleng pelan. "Belum. Belum ada hasil, Grandpa. Tapi aku berjanji aku tidak akan menyerah," ungkap Brianna. "Waktu kita tidak banyak lagi, Nak. Kalau bantuan tidak kunjung kita dapatkan, maka Alexander's Corporation akan benar-benar lepas dari tangan kita," ucap Marchell. Seketika tubuh Brianna semakin lemas saat mendengar ucapan sang Grandpa. Dan tak berselang lama kemudian pria senja itu kembali berucap. "Grandpa tahu kau sudah menghubungi semua keluarga kita yang berada di Indonesia, tapi sayangnya mereka tidak bisa membantu kita. Dan Grandpa yakin, mereka bukannya tidak mau membantu, tapi untuk menyelamatkan Perusahaan kita, memang membutuhkan dana yang tidak sedikit, Nak." "Lalu aku harus bagaimana Grandpa? Aku bingung. Aku juga sama sepertimu, aku tidak ingin kehilangan Alexander's Corporation. Iya, ini bukan tentang kemewahan dan materi saja, tapi Alexander's Corporation itu bagaikan pondasi dalam hidup kita selama ini," ucap Brianna, Marchell mengangguk pelan, ia setuju dengan apa yang dikatakan oleh sang cucu. "Kalau kamu bertanya pada Grandpa harus bagaimana, maka Grandpa hanya bisa memberimu satu solusi." "Solusi apa, Grandpa?" Brianna menatap serius pada sang Grandpa. "Mintalah bantuan kepada Lucas." Deg! "Hanya dia yang mampu melakukannya, Nak." Brianna kembali menelan ludah dengan kasar, sedangkan dadanya seketika berdebar tak karu-karuan. "Selain Blaxton, maka tidak ada lagi yang bisa menyelamatkan kita saat ini." Tambah Marchell. Brianna menggeleng lemah. Marchell kembali menekankan. "Hanya Blaxton. Iya, hanya mereka." "Kenapa harus mereka, Grandpa? Kenapa bukan orang lain saja?" "Andai saja kita punya pilihan selain itu, maka Grandpa tidak akan memintamu untuk memohon bantuan kepada Lucas, sayang." °°° Drett ... drett ... drett Di tengah fokusnya menyetir, tiba-tiba ponsel Brianna berdering. Perempuan itu melirik sejenak ke samping dan melihat pada layar canggih itu tergeletak di atas jok disampingnya. Ia mengulurkan tangan meraih benda pipih itu. Brianna mengerutkan kening sambil sesekali memperhatikan jalan di depan. Di layar ponselnya tertera nama kontak sang sahabat yang bernama Shania. Brianna pun bergegas meraih sebuah earphone yang tergeletak di atas dashboard lalu memasang benda kecil itu di telinga kanannya. Setelah aktif, pun Brianna menekan pelan sehingga panggilan pun langsung terhubung "Hay, Bri!" Brianna meringis pelan karena suara Shania cukup memekak telinga. "Suaramu menyiksa telingaku, Nia!" bentak Brianna, kesal. "Kamu berlebihan sekali. Yeah, oke, aku minta maaf." Shania mengalah. "Ada apa kau menghubungiku?" tanya Brianna. "Aku mau mengajakmu hangout nanti malam," jawab Shania. "Aku tidak bisa. Aku sibuk." tolak Brianna tanpa basa basi. "Hampir satu bulan ini kamu tidak pernah lagi hangout bersama kami. Sebenarnya kamu ada kesibukan apa, sih, Bri? Tidak biasanya seperti ini." Pandangan Brianna tetap fokus ke arah depan memperhatikan jalan supaya tak terjadi hal-hal buruk yang tak diinginkannya. Setelah itu Brianna pun menjawab pertanyaan Shania. "Dari dulu aku memang selalu sibuk karena aku adalah wanita karir, tidak seperti kamu, pengangguran!" Terdengar suara dengusan Shania di seberang telepon. "Jadi serius kamu tidak mau ikut?" tanya Shania sekali lagi. "Iya, aku serius, aku tidak bisa ikut," jawab Brianna. "Kau benar-benar tidak asik, Bri. Kau benar-benar membosankan, asal kau tahu. Ya sudah kalau begitu, tapi aku doakan semoga kesibukanmu cepat usai supaya kau bisa menikmati indahnya hidup di dunia ini." Tambah Shania menyindir. "Terima kasih atas doamu, walau aku tidak yakin Tuhan mau mengabulkan— karena yang meminta adalah mahluk macam dirimu," ucap Brianna dan langsung mengakhiri panggilan. Ia melepas earphone di telinga dan melempar asal ke atas dashboard. Ia lanjut fokus menyetir. Sahabatnya itu memang terkadang menyebalkan. Jarang membantunya dan lebih sering menyusahkannya. °°° Mansion Alexander's,. "Lucas akan membantu kita kalau kau yang memintanya," ucap lelaki itu sambil memandang Brianna. Dia adalah Michael Alexander berusia 25 tahun, adik dari Brianna. Iya, setelah tadi habis dari rumah sakit menjenguk sang Grandpa, pun Brianna langsung pulang ke Mansion. Ketika Brianna hendak naik menuju kamarnya di lantai atas, tiba-tiba perempuan itu dipanggil oleh sang Ayah. Pria paruh baya itu mengajak Brianna menuju ruang kerjanya. Dan disinilah Brianna, di ruang kerja Ayahnya. Ia tidak hanya berdua saja dengan sang adik melainkan pria paruh baya itu juga ada di sana. Alvino Alexander's, duduk tenang di salah satu sofa tunggal di sana sambil terus memandangi wajah putrinya. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh Al saat ini. "Kenapa aku harus aku?!" Itulah pertanyaan yang terlontar dari bibir Brianna. "Bukankah selama ini kamu bersahabat dengan Lucas? Seharusnya dia mau membantumu, Michael! Membantu sahabatnya!" lanjut Brianna dengan tegas. "Kami memang bersahabat. Ya, kau benar. Tapi masalahnya uang kami tidak bersahabat! Itu artinya Lucas tidak akan mungkin mau membantuku secara cuma-cuma, apalagi Dana yang harus dikeluarkan sangatlah besar," balas Michael. "Apa maksudmu berkata seperti itu?!" Brianna mendelik tajam pada Michael. Sementara Al tetap diam sembari memperhatikan kedua anaknya berdebat. Michael mengedikkan bahu dan menjawab, "Caroline dan Clarissa sudah menikah. Tidak ada satupun dari putri Blaxton yang bisa aku nikahi. Dan itu artinya hanya kamu yang akan bisa melakukannya." "What?!" Brianna memekik, bahkan refleks menegakkan tubuh dan menatap tajam pada sang adik. Kemudian Brianna beralih menatap sang Daddy. Pria itu tampak biasa saja. "Apa-apaan ini, Dad?! Jangan bilang kalau aku harus menikah dengan Lucas demi sebuah bantuan." "Tapi itulah kenyataan yang tidak bisa kita hindari, sayang." Al membalas. Brianna menggeleng pelan. "Jadi benar?! Aku harus menikah dengan Lucas?! Kau rela membiarkan putrimu satu-satunya menikah dengan pria seperti Lucas, Dad?!" Kedua mata Brianna sontak berkaca-kaca, dadanya sesak saat mendapati reaksi sang Daddy yang tampak biasa saja. Pria itu sepertinya tidak begitu peduli dengan masa depannya. "Memangnya ada apa dengan Lucas?" tanya Michael. Brianna beralih memperhatikannya. Michael melanjutkan. "Yeah, ya oke. Kalau kau menolak untuk menikah dengan Lucas, mungkin kau bisa mengajukan permohonan lainnya. Itu terserah kau. Mungkin kalian bisa membuat kesepakatan yang sepadan dengan bantuan yang akan diberikan oleh Lucas untuk perusahaan kita." Brianna kembali menggeleng kepala. Sungguh ia benar-benar tidak habis pikir dengan semua yang dialaminya saat ini. "Aku tidak akan mau menikah dengan Lucas!" Brianna bergumam sambil menelan ludah susah paya. "Kali ini Daddy setuju dengan apa apa yang barusan di katakan oleh Michael. Coba temui saja dulu, Nak. Mungkin setelah itu kau bisa mendapat jalan keluarnya. Karena Dad yakin Lucas memiliki banyak solusi yang bisa menyelamatkan Perusahaan kita." Ungkap Al. "Tapi kenapa aku harus, Dad? Kenapa bukan kau saja yang menghubungi Uncle Morgan dan meminta bantuannya?" Brianna memandang sang Daddy dengan tampang memelas. "Karena Morgan tidak memiliki kuasa apapun sekarang. Semuanya sudah diambil alih oleh Lucas. Semua aset Blaxton adalah milik Lucas sekarang. Jadi tidak ada satupun orang yang berhak termasuk Morgan. Jika Lucas menolak, maka tak ada yang berani melawannya, Nak." Deg! Brianna sontak terperangah. 'Ya Tuhan, apa iya seperti itu?' Monolognya dalam hati. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD