2. Adik Tingkat Bar-Bar

2189 Words
                “Metana Alga Bermuda. Terus tatap saya dengan tatapan itu, maka kamu tidak akan bisa lepas dari seorang Briyanda Jayanegara Yeyar Ages” kalau orang lain akan merasa takut hanya dengan tatapan yang dia berikan saat ini, tapi sepertinya tidak berlaku pada wanita yang dia ketahui bernama Metana itu. Iris coklat terangnya itu bisa menangkap bahwa iris sehitam tinta itu tampak berkaca-kaca malah membalasnya dengan tatapan penuh kebencian.                 Keduanya saling bertatapan satu sama lain selama beberapa detik hingga akhirnya Meta sendirilah yang memutuskan pandangan mereka, membuka pintu dengan kasar dan menutupnya sedikit agak keras.                 Sejenak Briyanda masih terdiam dengan keberanian dimiliki Meta yang melawan dirinya. Selama ini belum pernah ada yang berani melawannya seperti apa yang dilakukan Meta barusan.                 Melihat bagaimana keadaan wanita itu yang sudah dipenuhi dengan bekas luka, membuat Briyanda tidak heran. Sikapnya sudah menunjukkan tidak ada ramah dan lembutnya layaknya seorang wanita.                 Wanita bar-bar itu memiliki nyali yang cukup besar. Aku akan membuatnya menyesal telah berani mengibarkan bendera perang.                 Sudah setahun lamanya dia menjadi Asisten Dosen, dan baru kali ini ada yang bisa melawannya dengan begitu berani seperti yang dilakukan Meta.                 Apa wajah aku tidak menakutkan dimatanya? Atau karena efek kacamata tebal yang dimiliknya hingga tidak bisa melihat dengan benar?                 Briyanda yang menyadari kalau dia masih saja memikirkan Meta cepat-cepat mengalihkan perhatiannya dan segera fokus kembali mengajar. Dia tidak ingin waktu yang dimiliki berakhir sia-sia.                 Dua sks yang terasa begitu cepat bagi Briyanda namun terasa begitu sangat lama bagi junior–nya ini akhirnya berakhir juga. Briyanda segera meraih laptop dan tas ransel yang dia kenakan untuk segera masuk kelas lainnya yaitu mata kuliah pilihan Jembatan sebagai seorang mahasiswa. Saat dia hendak berjalan menuju ruang prodi mengantarkan rekap absen, samar–samar Briyanda mendengar dua orang pria saling berbicara satu sama lain.                 “Kalau gak kena sial, gak Meta namanya.” Ucap pria yang memiliki rambut lebat bak sarang burung dan kemudian disahut oleh si rambut jamet. “Aku tidak bisa berkata-kata dengan kesialan yang selalu menimpanya, seakan kesialan paling suka menempel digaris hidupnya”                 Itu bukan kesialan namanya, semua pasti ada sebab dan akibatnya. Sikapnya yang tidak tau sopan santun, ya wajar kalau dia dapat karma dari Tuhan.                 Briyanda menaikkan kedua bahunya serentak bersikap acuh dan mendahului dua orang pria yang masih saja membahas mengenai wanita dia usir beberapa saat lalu. *** Dibeberapa jurusan, menjadi seorang mahasiswa selain mengikuti tatap muka di kelas juga diwajibkan yang namanya untuk mengikuti praktikum dimana banyak menguras tenaga dan otak. Sebagai mahasiswa baru, praktikum adalah sesuatu yang terasa begitu melelahkan, terlebih lagi kalau mendapatkan Asisten lab yang sangat sulit. Konflik lahir batin tidak akan bisa di elakkan sama sekali.                 Semester satu adalah awal dimana mengetahui kehidupan sebagai seorang mahasiswa itu tidak seindah dibayangkan apalagi dilihat dari drama tv saat tidak ada penggambaran betapa pusingnya tugas yang terus saja datang tanpa ada jedanya sama sekali.                 Praktikum Bahan Bangunan adalah pratikum awal yang harus di ikuti untuk jurusan Teknik Sipil dimana harus bisa menghitung jumlah agregat kasar, halus, air dan juga semen untuk menentukan kekuatan bangunan yang akan dibangun berdasarkan material yang di dapatkan. Meta dan teman seangkatan yang lain mau tidak mau harus mengikuti praktikum. Setelah mereka melakukan pengujian dan mencatat semua sampel beserta jumlah beratnya mereka kemudian melakukan asistensi guna untuk mengetes apakah sebelum pratikum sudah mempelajari pengujian yang mereka lakukan apa belum.                 Sesuai dengan pembagian Asisten Lab yang sudah diberikan sebelumnya, maka seluruhnya wajib melakukan asistensi guna sebagai syarat untuk mereka lulus dalam praktikum. Briyanda yang ada kelas sebelumnya tidak bisa memantau anak–anaknya selama pratikum, jadi dia hanya tidak bisa menguji anak–anak bimbingannya setiap hari Selasa.                 Ketika kelasnya sudah berakhir, Briyanda cepat-cepat untuk kembali ke lab guna melanjutkan tugasnya sebagai seorang Asisten Dosen dan juga sebagai Asisten Lab. Karena Briyanda adalah Asisten membuat dia bisa mengakses pintu lain tanpa harus bertemu dengan anak bimbingannya yang sudah bau keringat karena seharian sudah beraktifitas.                 Kalabumi yang saat itu sedang kerepotan dengan anak didiknya kemudian menatap kesal ke arah Briyanda yang berjalan santai menghampirinya. “Kewalahan banget aku harus mengurus anak didik lu yang bandelnya luar biasa. Anak didik aku sendiri aja gak ke urus dibuatnya” keluh Kalabumi.                 “kalau aku gak ambil jembatan, aku juga gak bakalan ngerepotin lu. Ini hanya sekali dalam seminggu” jawab Briyanda dan kini sudah duduk di kursi kerajaannya dan siap untuk melakukan asistensi.                 Tatapan yang selalu tak bersahabat itu lalu dia layangkan kepada anak didik Kalabumi. “Kelompok lima suruh kesini” perintah Briyanda singkat dan tanpa ada penolakan sama sekali, anak didik dari Kalabumi segera saja keluar untuk memanggil kelompok lima.                 Tak butuh waktu lama, semua anggota dari kelompok lima yang beranggotakan lima orang itu sudah berdiri tepat dihadapan Briyanda dengan sebuah buku pratikum dan pena serta kalkulator berada ditangan mereka. Briyanda sama sekali tidak menatap anak didiknya, malah asik memainkan ipad miliknya, memilih lagu yang ingin dia dengar kemudian memasangkan airpod dikupingnya.                 Ketika sebuah lagu terputar, Briyanda menggoyangkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan dengan menggunakan kursi putar kantoran yang memang hanya dimiliki Briyanda seorang di dalam lab. Sikap Briyanda seperti ini bukanlah hal baru lagi bagi para Asisten Dosen dan juga Asisten Lab, tapi tidak dengan junior–nya.                 “Tahan Meta.” Samar-samar Briyanda masih bisa mendengarkan sebuah bisikan, namun Briyanda masih bersikap acuh seakan tidak menyadari kedatangan dari anak asuhnya itu.                 Sepuluh menit, Briyanda mendiamkan anak didiknya itu dan membiarkan mereka hanya berdiri dalam diam. Sebuah deheman akhirnya mengalihkan perhatian dari Briyanda. Netra coklat terangnya itu kemudian tertuju pada seorang wanita yang berdiri di antara para pria lainnya. “Maaf bang, ini kami dipanggil disuruh ngapain ya? Maaf bang kalau lancang.”                 Briyanda mengerutkan dahinya dan menajamkan penglihatannya pada wanita yang ada dihadapannya. “Bang?” Dari semua kata yang di ucapkan wanita itu, hanya satu kalmat yang menarik perhatiannya.                 “Iya bang” Jawab wanita itu dengan nada yang sedikit melemah dari sebelumnya.                 “Bukannya ‘Pak’?” Briyanda malah sengaja menekan kata Pak disana. Dia lalu mengalihkan pandangannya menatap anak didiknya yang lain dimana memiliki rambut jamet. “Pak atau Bang?”                 Vulkanik yang sudah akrab dengan sebutan sebagai rambut jamet oleh Briyanda kemudian menjawab. “Tadi pagi Meta manggilnya Pak” Kalabumi yang mendengar percakapan dari kelompok tetangganya ini lalu mendekati Briyanda dan terkekeh sembari menepuk tangannya takjub “Wah.. nyari mati anak bimbingan lu, Briyan”                 “Maaf ketidaktahuan saya. Sekali lagi saya mohon maaf” Meta menundukkan punggungnya hingga sembilan puluh derajat.                 Perhatian Kalabumi kemudian terarah pada tangan Meta yang terbalut dengan gips. “Wih, tangannya kenapa tuh? Abis kecelakaan ya dek?”                 Meta mengangguk kepalanya. “Iya bang, tadi pagi saya kecelakaan, dari rumah sakit terus saya buru-buru masuk. Karena lamanya mengurus administrasi dan susahnya mencari ojek membuat saya terlambat masuk kelas” Jelas Meta. Namun Briyanda sungguh tidak peduli sama sekali. Dia tetap kukuh dengan pendapatnya bahwa junior–nya ini melanggar peraturan yang sudah dia buat. Peraturan dirinya dan Pak Robert tetaplah sama. Kalau dia tidak bisa masuk tepat waktu ya tidak usah masuk. Mengganggu konsentrasi dirinya adalah sesuatu yang sangat dibenci oleh Briyanda.                 “Terus kamu diusir sama Briyan?” tanya Kalabumi kepada Meta.                 “Iya bang. Padahalkan niat saya baik. Masih fresh darah saya karena kecelakaan” Meta menunjukkan lengannya yang masih terdapat luka dan ada darahnya “Tapi karena saya niat untuk masuk dan mengikuti pelajaran hari ini saya bela-belain datang. Namun sepertinya tidak dilihat niat dan usaha saya kesini” Briyanda yang mendengarnya kemudian mengalihkan pandangannya menatap Meta, dia mengernyitkan dahinya kesal.                 “Tidak peduli apapun itu” ucap Briyanda singkat padat dan jelas atas semua penjelasan dari Meta. Aku tidak peduli sama sekali dengan alasannya apa. Hukum ditegakkan tidak memandang perasaan tapi harus dengan fakta. Jadi mau jungkir balik ke kampus, terbang pakai karpet aladin atau sapu nenek sihir sekalipun. Jika sudah lewat dari batas toleransi telat, maka tidak usah masuk.                 Kalabumi berdecak sembari menggelengkan kepalanya. “Prinsip lu kan main kawan. Kasihan entar bini lu”                 Briyanda lalu mengalihkan pandangannya dan menatap temannya itu dengan datar. “Konteks?”                 “Aku mau kembali ngurus anak aku dulu” Kalabumi lalu terkekeh cannggung, menggaruk tengkuknya kikuk dan segera kembali ke posisi semulanya.                 Tatapan tajam Briyanda kembali terarah pada lima anak bimbingannya itu. “Saya tidak mood” ucap Briyanda dingin.                 “Bang, maafkan saya Bang” sesal Meta. Namun Briyanda memilih diam. Meta lalu mendenguskan nafas kasar dengan kesal ketika bibir Briyanda masih saja terkatup selama lebih dari sepuluh menit, Meta seketika mendapat hadiah senggolan dari rambut jamet berwarna hitam di pangkal rambut blonde hingga keujung rambutnya dengan model kuncir dibelakang. “Ta, lu jangan nyari masalah sekali ini saja”                 “Apa gak dengar? Aku lagi minta maaf ini sama si killer” jawab Meta dengan berbisik. “Lagian aku heran, dia pakai airpod dan layar ipadnya menunjukkan kalau si killer emang dengerin musik tapi kenapa dia nyuruh kita buat nemuin dia”                 Briyanda memang mendengarkan musik. Tapi mereka sepertinya tidak menyadari kalau volumenya sangatlah kecil. Jadi dia masih bisa mendengar dengan jelas apa saja yang terjadi. Masih dengan ekspresi acuhnya, sesekali Briyanda memutar kursinya itu tiga ratus enam puluh derajat. Menjengkel emang kalau di lihat sikap Briyanda saat ini, tapi dia sama sekali tidak peduli. Mau apa emangnya? Disaat dirinya punya kekuasaan untuk bisa menggagalkan anak bimbingannya ini.                 “Aku mohon, sedikit memelaslah kepada Bang Briyan” bujuk Perwira. Meta akhirnya mendenguskan nafas kesalnya lagi. Secepat kilat dari ekspresinya yang kesal itu berubah menjadi ekspresi memelas begitu juga dengan nada suaranya. “Saya minta maaf Bang. Saya sungguh sangat menyesal Bang. Ketidaktahuan saya membuat abang menjadi tersinggung.”                 Tidak ada suara yang terdengar selama beberapa saat dari kelompok lima begitu juga dengan asistennya, hanya ada suara dari kelompok lain yang bersuara. Dari semua Asisten Lab Bahan Bangunan, hanya satu asisten yang sangat dihindari karena sikapnya yang bikin naik darah ampe tingginya mengalahkan Burj Khalifa.                 Kesialan yang selalu menghampiri Meta kini tidak bisa di elakkan kala dia dan kelompoknya itu mendapatkan asisten yang sangat dihindari. Briyanda Jayanegara Yeyar Ages.                 “Sial lu jangan di umbar–umbar gitu dong Meta. Kami jadi ketularan nih” celetuk Vulkanik dengan raut wajah sedihnya. “Bang Briyan nampaknya dendam kesumat banget ama lu. Mandang kami aja gak mau apalagi lu.”                 “Bang, maaf aku lancang tadi pagi. Kalau Abang kesal dengan aku, Abang bisa marah dan cuekin aku. Tapi tidak dengan teman kelompok aku Bang. Mereka sama sekali tidak bersalah dalam hal ini” Meta sedikit mengeraskan nada suaranya agar Briyanda bisa mendengarnya.                 Namun yang bersangkutan masih tetap acuh. Seakan memang tidak mendengar perkataan dari Meta barusan. Menjadi anak didik Briyanda haruslah memiliki kesabaran seluas samudra, kegigihan yang begitu kuat dan tahan banting dengan perkataan Briyanda dimana terkenal sangatlah tajam dan berduri banyak itu menusuk hingga relung hati terdalam.                 “Keluar” Singkat padat dan jelas. Satu kata yang sangat dihindari dari kelompok Meta, akhirnya terucap juga. Jika kalimat itu sudah keluar maka tidak ada obatnya lagi selain menyerah. Dengan raut wajah sedihnya, kelompok lima itu akhirnya keluar dari lab.                 Briyanda diam-diam menatap punggung Meta yang tampak lesu. Dia harus memberi pelajaran kepada junior yang tidak bisa menghargai senior dengan baik dan mengenal siapa saja senior–nya di kampus. Lagian Briyanda sama sekali tidak akan mau mendengarkan penjelasan jika dia tidak mau mendengarnya.                 Karena Briyanda tidak hanya mengurus satu kelompok saja, dia kemudian memanggil kelompok anak bimbingannya yang lainnya untuk melakukan asistensi. Namun niatnya untuk memperbaiki mood dan berharap dapat kelompok yang jika ditanya bisa menjawab dengan cepat, namun justru kelompok selanjutnya sangat membuat Briyanda jadi kesal. Alhasil dia yang sudah kesal menjadi lebih kesal lagi.                 Sang mentari yang menyinari bumi kini harus bergantian dengan sang rembulan malam. Berkali-kali kelompok lain keluar masuk untuk mendapatkan tulisan acc darinya guna melanjutkan pratikum selanjutnya. Hanya kelompok Meta yang tidak berani masuk kembali setelah dia usir sebelumnya.                 Briyanda lalu melirik jam yang melingkar dipergelangan tangannya, dia ada janji dengan anak bandnya untuk manggung malam ini. Namun ketika dia hendak memutuskan untuk pulang, samar-samar dia mendengar sebuah percakapan.                 Padahal ini bukan kebiasan dari Briyanda untuk menajamkan pendengarannya mendengar seseorang berbicara, akan tetapi kali ini dia penasaran dan memilih untuk mendengarnya dalam diam saat samar-samar dia mendengar sebuah isakan tangis wanita.                 “Meta, udah jangan nangis” dari nada suaranya, Briyanda yakin kalau ini suara dari rambut jamet–Vulkanik.                 “Kami gak marahin lu kok. Masih ada besok buat asistensi lagi. Lu jangan cemas gitu, aku akan bilang ke anak yang lain mengenai masalah lu gimana” kini tanpa perlu berpikir keras Briyanda tau siapa pemilik suara ini. Pria yang memiliki IPK tertinggi angkatan Meta dimana sering dibicarakan Dosen. Perwira.                 “Hiks.. Aku merasa bersalah dengan kalian” jawab Meta yang masih terdengar isakan kecil.                 “Udah jangan dipikirin masalah itu, melihat keadaan lu sekarang kami jadi cemas tau. Kapan lu kecelakaan? Waktu ngantar s**u dan koran? Dari tadi lu gak mau jawab pertanyaan kami” tanya Vulkanik.                 “Aku ikut balapan liar. Hiks..” jawab Meta pelan, seakan berusaha untuk menahan isakan tangisnya.                 Balapan liar? Seorang wanita ikut balapan liar? Cih! Yang benar saja. Gadis brandalan. Tak heran kalau dia mendapatkan luka kaya gitu! 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD