BAB 9 SISI LAIN LATHIF.

1336 Words
Tidak ada yang perlu diobati. Hanum melirik bergantian pada bekas luka di tubuhnya, dan ke arah meja di mana kotak obat berada. "Ada apa?" Suara Lathif menyapa, lelaki itu berdiri memunggunginya. Setelah kejadian memalukan di rumah kemarin sore, Lathif membawanya ke mari, apartemen lelaki itu. Bahkan membiarkan Hanum meminjam pakaian dan tidur di kamarnya. Tanpa menanyakan apa-apa, membiarkan Hanum merasa tenang untuk sesaat. "Apa tidak sebaiknya kita pergi ke rumah sakit saja?" Hanum mengernyit, di saat Lathif mendekat dengan terburu-buru. "Kenapa kamu datang?" "Bagaimana mungkin aku meninggalkanmu di sana, bersama orang-orang gila itu?" Lathif menghela napas. "Mulai sekarang, kamu bisa menempati apartemen ini." "Aku tidak punya alasan untuk melakukannya," sahut Hanum cepat. Lagi-lagi membuat Lathif menghela napas. "Oke, lalu ke mana kamu akan pergi? Tidak mungkin 'kan aku membawamu kembali ke sana." Hanum terdiam, dan hanya bisa diam. Karena benar dirinya tidak punya tempat berteduh selain tujuan mencari keberadaan sang ibu. Kini alamat berisi keberadaan ibunya yang diberikan wanita itu, mulai samar dalam ingatan. Hanum mengedarkan pandangan, masih banyak hal yang perlu ia lakukan. Termasuk urusannya dengan Martin yang entah kapan akan tersadar. Bagai bom waktu, Hanum tidak memiliki banyak waktu. "Aku harus kerja," ucap Lathif melirik ke arah jam tangannya. "Akan ada seorang bibi yang mengurus apartemen, beliau juga akan menyiapkan mu makan." Lathif terlihat terburu-buru mengambil tas kerjanya, lalu mengenakan jas hitam. "Tenang saja, aku jarang menggunakan apartemen ini. Jadi, kamu bebas melakukan apa pun yang kamu mau. Ah, dan gunakan kamar utama bila kamu ingin istirahat. Aku pergi." Dia memandang tiap sudut rumah, ada beberapa CCTV yang terpasang. Helaan napas terdengar, Lathif melirik kembali ke arah Hanum. "Aku akan pulang tepat waktu, jadi ayo kita makan malam bersama." Selepas mengatakan hal tersebut, Lathif benar-benar pergi. Namun, masih menyempatkan diri menoleh berulang kali ke arah Hanum. Bersama dengan pintu yang tertutup, suasana seketika menjadi sunyi. Kini terasa apartemen semakin luas, dan kosong. *** Pada pukul 5 sore, Lathif kembali. Seperti janjinya yang pulang tepat waktu, senyuman lelaki itu tampak sepanjang jalan memasuki apartemen. Akan tetapi, sunyi menyambutnya. Dia memandang sekitar, dan hanya menemukan bibi di dapur. Bergegas Lathif menghampiri. "Kamu sudah pulang?" "Ya, eum ...." Lathif terdiam sejenak. "Nona Hanum ada di kamarnya," jawab wanita paruh baya itu cepat. Seakan menebak pikiran lelaki yang sudah dianggapnya anak tersebut. Lathif mengernyit, lalu melirik jam tangannya. Dia sudah berusaha secepat mungkin untuk sampai, terlebih lagi di waktu pulang kantor seperti ini membuatnya harus ekstra sabar akan kemacetan yang ada. "Tapi Lathif, siapa perempuan itu? Mungkinkah dia calonmu? Perempuan yang sering kamu bicarakan?" Mendengar rentetan pertanyaan itu, tak ayal membuatnya tertawa malu. "Tidak, lupakan saja apa yang kukatakan dulu. Bagaimana dengan makan malamnya? Ada yang bisa ku bantu?" "Tidak ada, jika kamu membantu yang ada justru malah membakar dapur ini." Wanita itu, Emma. Wanita paruh baya yang sudah bekerja di rumah utama sejak Lathif masih kecil. "Ah, omong-omong apa dia sakit? Dia hanya menyentuh makanannya sedikit, bahkan sejak siang tadi. Dia hanya diam di kamar." Kali ini penuturan Emma berhasil membuat senyum Lathif menghilang. Seakan teringat kondisi Hanum yang memang bisa dikatakan belum stabil. "Biar aku yang urus," balas Lathif. "Aku akan pergi dulu, tolong beri banyak sayuran di supnya." Usai mengatakan itu, Lathif bergegas menuju kamar utama. Hanya ada dua kamar di apartemen ini, kamar utama miliknya, dan kamar tamu. Tiga kali ketukan diberikan Lathif, masih tidak ada jawaban, dia mengulangi. "Hanum, ini aku. Boleh aku masuk?" Masih menunggu, sampai akhirnya pintu dibuka. Suasana di dalam begitu gelap, perempuan itu membiarkan sedikit celah di antara mereka. "Sebentar lagi waktunya makan malam," papar Lathif. "Aku tidak lapar," balas Hanum enggan menatapnya. "Kalau begitu bagaimana jika temani aku makan? Aku tidak suka makan sendiri, itu terlihat menyedihkan." Terlihat ragu, tetapi akhirnya Hanum mengangguk. Mereka pun berjalan menuju dapur kembali, dan makanan telah tersaji di meja makan. "Kamu yakin tidak mau makan? Sup ini salah satu menu terenak dari Bibi," ujar Lathif melihat Hanum hanya diam. Meski uap panas kuah sup seakan menggoda di depannya, perempuan itu masih bergeming. "Atau mau aku buatkan yang lain?" Kembali Lathif bersuara. "Bibi bisa_" "Tidak perlu," potong Hanum cepat. "Aku akan makan," lanjutnya sembari mengambil sendok dengan ragu. Seharusnya tidak begini, Lathif berbeda dari Martin atau orang-orang itu. Namun, sekelebat ingatan terus menghantui Hanum sejak ia tiba di kota. Rasanya bahkan baru kemarin, ketika sesendok kuah sup hampir membuatnya mati. Hampir kehilangan kesadaran dan napas sesak, tidak lebih buruk dari pada kematian. Masih hangat dalam ingatan Hanum, kala tawa Martin menggema melihatnya tak berdaya. Sesendok kuah sup yang ia kira awal dari hubungan baiknya dengan Martin, justru menjadi awal musibah ini terjadi. Bersamaan dengan helaan napas berat, kuah sup itu berhasil Hanum telan. Ia memejamkan mata dengan kening mengernyit dalam, tetapi sensasi bergejolak di perut membuatnya bergegas bangkit dan berlari pergi. "Hanum!" Panggilan Lathif, diabaikannya. "Tunggu, Hanum. Ada apa?!" Lathif mengikuti. Menyusul Hanum menuju kamar mandi, perempuan itu terduduk di depan kloset duduk, kemudian memuntahkan isi perutnya. "Hanum," gumam Lathif. Bahkan sampai yang tersisa hanya cairan bening, Hanum terus berusaha memuntahkan. "Kamu tidak apa?" Emma bergegas mendekat, lalu ikut berjongkok untuk memberikan pijatan lembut di tengkuk Hanum. "Tidak," sahut Hanum sambil mengelap mulutnya. "Maaf, sepertinya aku tidak akan ikut makan." "Hei, ada apa? Kamu baik-baik saja? Apa perutmu sakit?" Lathif ikut mendekat, dia berjongkok. Memperhatikan dengan seksama wajah pucat Hanum. "Kita bicara di luar," ujar Lathif. "Bibi, bisa tolong bantu aku membawa Hanum?" *** Masih tidak ada yang berniat membuka suara, sekalipun waktu semakin larut. Bibi Emma baru saja pergi, setelah semua tugasnya selesai. "Sudah merasa lebih baik?" Hanum mengangguk singkat. "Tunggu sebentar," ucap Lathif sembari berjalan menuju dapur. Cukup lama lelaki itu di sana, sebelum akhirnya kembali dengan sebuah nampan di tangan. "Makanlah selagi hangat, ini daging sapi yang sering aku konsumsi, rasanya enak jika dibuat menjadi steak." Seperti hidangan di restoran, tampak menggugah selera. Hanum memperhatikan cukup lama, bahkan ketika Lathif mulai memakan olahan daging itu, ia masih bergeming. "Ada apa?" Lelaki itu menatap lama, seakan mencoba masuk ke pikiran Hanum. Tak berapa lama, mengambil alih piring di depan Hanum, dan memotong menjadi beberapa bagian kecil daging. "Makanlah," ucapnya kemudian memakan sebuah potongan daging di piring itu dengan tenang. Lathif terlihat begitu menikmati, sesekali meyakinkannya dengan senyuman. Lelaki itu sulit ditebak, tetapi dengan mudah menebak isi kepalanya. Hanum tersenyum masam. "Apa maumu kali ini?" Senyum itu memudar, tergantikan raut bingung yang kentara. "Katakan saja, jangan membuatku bingung. Bertingkah lah seperti dirimu yang sebelumnya," papar Hanum. Lathif menghela napas. "Aku tidak mengerti maksudmu." Lelaki itu meletakkan peralatan makannya, lalu menatap intens ke arah Hanum. "Yang bersamamu sekarang adalah aku, tidak ada yang perlu ditakuti." "Berpura-pura peduli tidak akan mengubah apa pun, perlu aku ingatkan siapa yang menancapkan pedangnya lebih dulu?" Hanum mencondongkan tubuhnya. "Itu kamu, Lathif Athariz. Ini membuatku muak, kalian benar-benar menjijikkan." Ia berdiri, lalu pandangannya mengedar. Tawa hambar mengudara. Segalanya terlihat jelas sekarang, dan hampir dirinya jatuh ke perangkap yang sama. "Duduk, dan habiskan makananmu." Suara berat Lathif terdengar. "Nikmati saja makan malammu sendiri, seharusnya kamu terbiasa dengan itu, 'kan?" balas Hanum tanpa menoleh berjalan pergi. Mengikuti Lathif bukanlah keputusan yang lebih baik. Meski samar, ia masih mengingat dengan jelas. Ingatan yang sempat terlupakan, perlahan naik ke permukaan. Berlomba-lomba untuk membuat kepalanya pecah. Hanum mengambil napas dalam-dalam. Di posisi saat ini, menaruh harapan bukanlah pilihan. Namun, ada asa dan harap yang tersisa untuk sang ibu. "Hanum!" Tepat ketika Hanum tiba di depan pintu, bel berbunyi, dan sayup-sayup suara itu memanggilnya. LCD monitor bel menampakkan sosok Ian, tampak terengah-engah dengan wajah yang memerah. "Ian," panggil Hanum lirih. Bel pintu kembali berbunyi. Belum sempat tangannya meraih, tangan lain lebih dulu mengukung tubuhnya dengan pintu. "Tidak," desis Lathif. "Jangan temui dia lagi, tidak selama aku masih di sini." Hanum menoleh perlahan. Sosok itu kembali ia lihat, dalam diri Lathif yang kini enggan menatapnya. Hanya menunduk, tetapi dapat Hanum dengar deru napas tak teratur di sana. "Aku akan membunuhnya." Lelaki itu berkata lirih, dan menatap Hanum dengan sorot terluka. "Ya, seperti inilah kamu yang kukenal. Seseorang yang dengan mudah menghancurkan segalanya, termasuk harapanku."

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD