PROLOG
Langit cerah menyambutnya kala tirai terbuka, membuat suasana hati yang sempat gelisah menjadi tenang. Hanum melirik ke arah sofa, tempat di mana seorang lelaki masih terlelap dalam buaian mimpi.
Bibir pucatnya sontak menyunggingkan senyum. Meski nyeri di kepala kembali menyerang, membuat ia meringis. Hanum mengambil napas dalam-dalam, mencoba untuk menenangkan hatinya yang dibuat gundah lagi.
Ingatannya melayang pada kejadian semalam, pertengkaran kecil yang membuat mereka memilih menenangkan diri masing-masing.
“Pagi,” sapa Hanum begitu melihat lelaki itu membuka mata dan menguap lebar.
“Pagi,” sahutnya dengan suara serak.
Hanum tersenyum, bergegas menghampiri untuk memberikan segelas air putih. “Mandilah, setelah itu ayo sarapan bersama. Aku sudah buatkan makanan kesukaanmu, nasi goreng udang, dan jus mangga.”
Setelah meneguk air yang diberikan, lelaki itu justru disibukkan oleh ponsel yang sedari semalam memunculkan banyak bunyi notifikasi.
“Tidak bisa?” tanya Hanum. Selepas mendengar helaan napas panjang lelaki itu.
“Maaf, tapi aku harus pulang. Bianca membutuhkanku.”
Tanpa menunggu balasan Hanum, Ian bangkit dari ranjang untuk masuk ke kamar mandi.
Hanum terduduk lemah di sisi ranjang. Sekali lagi ia kalah, oleh status mereka yang tak lagi sama. Di tengah lamunan, pintu kamar mandi terbuka.
Terlihat terburu-buru Ian mengenakan pakaian kerjanya yang semalam, lalu melangkah tergesa menuju pintu. Namun, kembali menoleh untuk menghampiri Hanum.
“Aku janji akan segera kembali, ini tidak akan lama.”
Hanum mundur, menolak kecupan yang akan diberikan Ian pada keningnya. Sontak membuat lelaki itu mengernyit, tetapi memilih diam dan hanya memberi elusan di kepala sebelum berbalik pergi.
“Sampai kapan kita akan seperti ini?”
Perkataan lirih Hanum sontak membuat langkah Ian terhenti, menatap bingung pada netra yang kini menatapnya sendu.
“Untuk bisa bertemu saja harus menjadikan pekerjaan sebagai alasan, apa kamu tidak lelah?"
Hanum menghela napas berat, lalu menatap Ian serius. “Bisakah kita jujur saja? Aku juga terluka, aku lelah terus menjadi pilihan kedua untukmu."
Ian terdiam sesaat, lalu mendekati Hanum. “Hanum,” panggilnya.
Hanum menggeleng. "Kamu tahu apa yang kusadari pertama kali ketika kita bertemu lagi? Apa kamu masih Ian yang kukenal dulu?"
Sesak membuatnya sulit untuk mengambil napas. Meski demikian Hanum mencoba kembali bicara.
"Let me go," ucapnya lirih.
Berat. Sungguh berat untuk Hanum memutuskan ini. Cengkeraman kuat Ian pada kedua lengan sontak membuat Hanum tersentak, dapat ia lihat ketakutan di netra hitam yang sempat membuatnya terpesona itu.
"Hanum, tolong."
Kembali Hanum menggeleng. "Aku tidak akan memintamu untuk memilih, tetapi aku tak mau menjadi yang kedua di kehidupan pernikahan kalian."
“Hanum," panggil Ian. "Kamu tidak pernah menjadi yang kedua, untukku maupun kehidupanku.”
Hanum dapat melihat keseriusan di mata Ian, tetapi kalimat penenang itu bukan lagi yang ia inginkan. Perlahan Hanum melepaskan cengkeraman tangan Ian pada pundaknya.
Dan menatap Ian dengan serius. “Nikahi aku.”
Bodoh. Hanum tahu tindakannya gegabah, tetapi ada satu hal yang ingin ia pastikan. Tentang sosok Ian kini, apakah masih Ian 5 tahun lalu yang dirinya kenal.
Namun, kebekuan Ian seakan menjawab tanda tanya di benaknya. Hanum menunduk, tersenyum miris akan ekspektasinya sendiri. Ia berbalik, dan tanpa kata melangkah pergi.
Seharusnya sejak awal Hanum tahu akhir inilah yang akan ia dapat. Cinta yang dulu menggebu itu sudah hilang. Tergantikan oleh hati lain, dan semuanya mungkin telah berubah.
Termasuk ingatan Ian tentang dirinya, dan tentang mereka.