2

1097 Words
Laras mengalihkan pandangan dari LCD handphone, melirik Alby yang tengah serius dengan stirnya, lalu membuang tatapan ke luar jendela. "Pak..." Mendadak dia terdorong menghilangkan sunyi di mobil yang terbangun secara alami sejak keluar dari area gedung Mega Tarinka. "Hmm." "Kita udah jalan 15 menit, tapi Bapak belum juga tanya arah rumah saya ... emang Bapak tau?" Laras menoleh, dan Alby menggeleng pelan. "Terus Bapak kenapa jalan terus?" Laras memicing curiga. "Bapak mau culik saya? Atau...." "Saya tahu rumah kamu di daerah Greenville—Jakarta Barat, tapi nggak tau alamat lengkapnya, kalau dekat sana baru tanya kan bisa," sahut Alby datar. Kemudian suasana mobil kembali hening, Laras yang tidak biasa diam untuk waktu lama mulai gelisah. Dia menyibukkan diri, membuka aplikasi **, w******p, sampai Detik.com. Baru beberapa menit saja, kepalanya sudah pusing, jadi Laras menyerah dan memasukkan handphone ke tas. "Pak...." "Apa lagi, Ras?" "Bapak kalau sama Mbak Kania gini juga?" Entah cowok itu sadar atau tidak, saat Laras menyebut nama Kania, genggaman tangan Alby di stir bertambah ketat. "Diam seribu bahasa? Nggak ngelakuin apa gitu...?" Tetapi Laras mengabiakan dan melajutkan pertanyaan, dia cuma mau keluar dari suasana sunyi menyebalkan. "Mau ngapain lagi? Salto?" "Yah nggak salto juga atuh, Pak. Ngobrol. Nyanyi bareng. Pegangan tangan. Mesra-mesraan. Kan banyak yang bisa dilakuin." "Kenapa? Kamu mau ngelakuin itu sama saya?" "Bapak mau jadiin saya pelampiasaan? Saya kan bukan ban serep, dipake kalau yang utama rusak atau kenapa-kenapa." Laras tidak menduga lampu merah bakal menghentikan mobil, membuat Alby bisa menoleh ke dia dan melihat gaya terluka yang sengaja dibuatnya—tangan di d**a, memberengut. Menyadari tatapan Alby lebih serius dari sebelumnya, memaksa Laras menyengir. "Just kidding." Laras cepat-cepat meluruskan posisi duduknya, berpikir untuk menyerah saja membuat mobil ini bersuara. Dia lupa kalau cowok di sebelahnya adalah cowok paling dingin satu gedung Mega Tarinka. Kalau Alby mau mengantarnya pulang, bukan berarti gunung es itu telah mencair. "Kenapa kamu jadi diam?" Untuk pertama kalinya Alby lebih dulu bertanya. "Takut konsentrasi Bapak terganggu." Laras menoleh, dan Alby tengah melirik ke arahnya. Mau tidak mau senyum jenaka yang dia hilangkan, kembali muncul. "Kenapa, Pak? Suara saya ngangenin yah?" Alby menggeleng kecil sambil menghela napas pelan, lalu kembali memandang ke jalan yang nampak kosong. "Saya tuh jadi bertanya-tanya sendiri, kamu berani bersikap seperti ini nggak ya ke Mas Diaz." "Nggak." "Kok gitu? Kenapa ke saya, kamu berani?" "Karena Pak Alby atasan saya." "Mas Diaz juga atasan kamu." "Nah itu! Level atasan Pak Diaz tuh tinggi. Ibarat game nih, Pak Diaz itu bos besar setiap mau naik level." "Saya?" "Musuh yang harus dikalahin selama level berlangsung, sebelum menghadap bos." Alby memiringkan kepala ke kanan sedikit, menyandarkan siku ke kaca jendela, mengusap tengkuk dengan canggung. Dan mengamati hal itu membuat Laras tertawa pelan. Si gunung es bisa juga berekspresi seperti anak kecil tidak terima kalah di suatu permainan. "Jadi maksud kamu, saya—" "Bapak tuh penting, tapi kan kita bersinggungan setiap hari soal kerjaan, jadi secara nggak langsung saya sedikit nyaman bersikap non formal. Sementara Pak Diaz... yah, walaupun dia suami dari sahabat saya, tetap saja dia kepala dari semua divisi di perusahaan—jadi nggak nyaman. Yah gitu deh." Laras menjelaskan panjang lebar, mengetahui pasti dari ekspresi Alby. "Jangan baperan ih, Pak. Elora salah khawatir nih...." Satu alis tebal Alby terangkat. "Elora khawatir apa lagi?" "Iya, dia tuh khawatir saya baper sama Bapak. Seharusnya nggak perlu, terbukti Bapak lebih baperan dari saya." "What?" "Ini bukti Bapak baperan: saya bilang lebih sungkan sama Pak Diaz, eh, Pak Alby mukanya langsung ditekuk gitu." "Nggak. Saya biasa aja." "Oh ya?" "Iya. Lagipula..." Alby kembali menyempatkan melirik Laras persekian detik, sebelum kembali fokus ke depan. "Saya nggak bakal baper sama kamu. Elora ada-ada aja. Emang saya anak kemarin sore, dibaikin dikit langsung jatuh hati. Butuh lebih dari itu untuk membuat saya baper atau jatuh hati." "Saya tahu, Pak." Laras tersenyum setulus yang dia mampu. "Usahanya harus lebih keras dari Mbak Kania. Itu aja masih abu-abu. Betul kan, Pak?" Alby tidak menjawab. Setelahnya suasana kembali seperti di awal, hening. Laras diam-diam mengembuskan napas pelan, menyesal kenapa terus saja menyembut Kania, membuat cowok di sebelahnya tidak nyaman. Membawa Kania diobrolan, seperti memaksa diri buat dekat sama Alby. Jemari Laras bermain di atas tas yang dia pangku, menimbang buat meminta maaf atau tidak. Tetapi mulutnya itu susah dikontrol kalau sudah terbuka, nanti ujung-unjungnya nama Kania tersebut lagi. Maklum cerita Alby-Kania cukup membuat penasaran. "Betul," Alby bersuara setelah diam lama, nyaris membuat jantung Laras lompat dari tempatnya. "Apa, Pak?" "Kita sudah masuk wilayah Greenville, saya harus ke arah mana? Lurus? Atau...." Laras mengamati area jalan yang memang tidak asing buatnya, kumpulan tempat makan masih buka seolah tidak peduli waktu kian larut. "Lurus aja, Pak. Nanti mentok belok kanan, terus lurus lagi, mentok belok kiri, pos satpam pertama belok kanan. Tiga rumah dari pos, sampe deh." Alby mengangguk, kemudian menjalankan mobil sesuai arahan Laras tanpa bertanya lagi. Begitu mobil melewati pos, Alby mulai bersuara lagi, "Sepertinya ada yang lagi nungguin kamu." Setengah mati Laras mempertahankan senyum awalnya, meski satu tangannya sudah mencengkram kuat-kuat pegangan tas. "Iya. Biasa, Pak." "Pacar kamu?" Untuk pertama kalinya, Laras tidak langsung menjawab pertanyaan Alby. Menunggu beberapa detik sampai mobil Alby makin dekat dengan mobil New Avanza putih, sampai sosok pria tinggi dengan rambut sedikit kerinting yang berdiri di depan pintu gerbang terlihat jelas. "Iya," sahutnya pelan nyaris berbisik. Mobil Alby berhenti persis di belakang mobil si pria keriting, dan cowok bebas itu melihat Laras. "Ck. Ck. Sudah punya pacar tapi masih mau kasih perhatian ke cowok lain. Apa kata cow—" "Nah kan Bapak baper!" potong Laras. "Kamu..." Telunjuk Alby sudah mengarah ke Laras, tapi kalimat cowok itu tidak berlanjut. "Udah ya, Pak. Saya turun. By the way, nanti kalau saya udah turun, Bapak langsung jalan aja." "Emang itu niat saya, langsung pergi. Kenapa? Kamu mau banget saya liatin sampe masuk rumah? Sadar, pacar kamu udah nunggu." Laras tetap tersenyum dengan deretan gigi terlihat jelas. "Siapa tahu." Lalu, dia turun dengan sikap riang seolah begitu bahagia bertemu dengan cowok di depan sana. Sebelum pintu tertutup, Laras mengulurkan sedikit kepala melewati pintu. "Terima Kasih ya, Pak, buat tumpangannya. Greenville—Kemang. Jauh loh. Traktiran nasi padang saya aja kurang dari bensin ke sini. Ingat ya, Pak, langsung jalan." Tanpa menunggu respon Alby, Laras menutup pintu. Dia tidak langsung mendekati cowok yang mungkin sudah menunggunya dari tadi, saat mobil Alby memutar balik dan melewati pos, Laras baru menghampiri si pria. Tidak ada sambutan manis, lengan Laras ditarik paksa. "Pantes yah, rela pulang tengah malam sampe nolak aku ajak makan. Ternyata pergi sama bos besar. Dibayar berapa kamu?" Senyum Laras pudar. Sorot mata riang berganti ngeri. "Sakit, Arga."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD