1

1165 Words
BARRY Narendra To : Albybagaskara@gmail.com Laporan kegiatan Kania hari ini. Hari ini Kania mau belajar jalan pelan-pelan, walaupun ujung-ujungnya nangis padahal baru dua langkah. Katanya; kaki dia nggak mau diajak kerjasama. But, lo nggak perlu khawatir---gue kasih ice cream oreo, seperti yang lo sarankan, dia mau jalan. Gue juga ajak dia turun ke taman, Ibu Yohana seperti biasa kayak induk gajah---takut banget anaknya gue culik. Hmm. She’s talking about you again, and i don’t know how to respond. Besok gue mau ke rumah sakit, diminta Ibu Yohana buat mendampingi Kania cek up bulanan pacsa kecelakaan lima bulan lalu. Tadinya mau dibawa balik ke Singapur kayak rutinitas sebelum gue kerja di sini tapi gue alasan nggak ada paspor, maklum bukan anak sultan kayak Kania atau lo yang bisa ke luar negeri berasa pergi Jakarta-Depok. Oke, balik lagi ke masalah cek up. Kemungkinan besar Ibu Yohana nggak ikut, cuma gue, Kania, dan Bik Ninuk. Fyi, ini Bibi masuknya barengan sama gue, kayaknya direkrut buat ngawasin gue. Kalau lo mau ketemu Kania, gue bisa atur supaya tuh Bibi nggak ganggu. lo stand by di Siloam sebelum jam sebelas, tunggu di resto aja, nanti gue kasih aba-aba. Dan ini bagian favorit lo, kumpulan foto Kania. Sekian yang bisa hamba sampaikan, semoga paduka menerima dengan baik. XD   Alby membaca email Barry dengan saksama. Demi bisa dekat dengan gadis itu, dia meminta tolong Barry melamar menjadi terapis berjalan Kania di Indonesia. Sampai detik ini dia tidak tahu keputusannya memaksa teman satu kampusnya dulu, baik atau buruk. Tetapi cuma itu yang bisa dia pikirkan. Menaruh orang yang bisa dia percaya, yang tidak mudah menuruti mau Pak Ryan dan Ibu Yohana, di sisi Kania. Tentu saja orangtua Kania itu tidak tahu kalau Barry terhubung dengan Alby. Tidak ada yang tahu. Alby mengamati beberapa foto yang dikirim Barry. Kenapa kini hatinya jadi lemah terhadap semua hal yang berhubungan dengan Kania, menyebalkan, di saat semua yang tejadi terus saja menyenggol ego-nya, dia tetap bertahan. Jemari Alby menyentuh lembut layar laptop, mengikuti lekuk wajah Kania. “Kenapa kamu keliatan judes gini? Hari ini kantor hetic banget, aku berharap bisa lihat senyum kamu,” bisiknya. Walaupun ini sudah larut malam, dan seluruh karyawan Mega Tarinka sudah pulang---Alby tetap berhati-hati supaya tidak terlihat seperti orang hilang akal, meski nyaris terjadi. “Besok kita ketemu. Kali ini, aku bakal lakuin apa aja buat ketemu dan ngobrol sama kamu. Mungkin, aku bakal nekat bawa kamu kabur ... jalan-jalan, minum kopi sampai enek, belanja, Sea World? Kita belum ke sana.” “Oke. Kita ke Sea World, kalau perlu berenang sama hiu.” Terkejut dengan suara yang tiba-tiba menggema di ruangan, dia memiringkan kepala dari laptop. Perempuan berambut hitam gradasi cokelat terang sedikit bergelombang di bagian bawah digerai menutup setengah d**a,  besetelan kemeja peach dan rok pensil abu, berdiri di ambang pintu ruangannya dengan senyum tipis tapi jenaka. “Kalau Bapak mau, saya bisa loh, telepon management Sea World buat nutup area itu. Yang penting Bapak siapkan aja ganti rugi senilai dua kali, eh, tiga kali, Pak. Yakin deh, pasti mereka kasih.” Lalu, perempuan itu berjalan santai mendekati meja Alby. Dengan senyum semakin lebar dan jenaka, sambil membawa dua map dan satu kantong plastik. Alby menutupi wajah dengan tangan, sedikit menunduk, lalu mengumpat pelan. “Laras, kenapa kamu belum pulang? Ini udah jam … sepuluh.” Alby bertanya setelah berhasil menghilangkan malu. Laras mengangkat map. "Laporan pembelanjaan seluruh kantor cabang bulan kemarin, dan ada tiga kantor cabang mengajukan anggaran buat field trip tahunan." Alby mengangguk, dan Laras sudah ada di depannya. Laras menaruh dua map dan kantong plastik di mejanya, lebih dulu menyodor kantong plastik sampai menyentuh salah satu tangannya. "Nasi padang ayam gulai. d**a. Tanpa sayur nangka. Tadi saya makan nasi padang di samping kantor, terus ingat Bapak pasti belum makan. Jadi..." Tanpa melanjutkan kalimat, Laras membuka bungkusan nasi padang itu, mengelap sendok sampai dirasa bersih dan mengelurkan benda itu ke arahnya. Alih-alih mengambil sendok, Alby menatap sendok di tangan Laras dengan kening mengerut. Laras terkekeh, memaksa Alby menerima sendok seolah mereka itu teman main. "Tenang aja, Pak. Saya bukan cewek yang terobsesi punya hubungan sama bos sendiri. Nggak ada pelet di makananya, apa lagi racun. Ini murni menjalankan tugas penting dari Elora." "Elora?" "Iya." "Bapak tahu nggak sih, Elora tuh lagi program hamil anak kedua, tapi akhir-akhir ini dia stres." "Terus apa hubungannya sama saya?" "Ada dong. Elora stress liat Bu Maria dan Bu Eliz sakit-sakitan karena prihatin sama kondisi Pak Alby. Kalau Pak Alby begini terus, atau tiba-tiba sakit. Kan, Elora makin stres." Bibir Alby terkunci, memandang Laras dan nasi pandang di mejanya bergantian. "Pak, kalau bisa ... ini kalau bisa ya, kalau nggak bisa juga nggak papa. Jangan fokus sama kesedihan sendiri, karena sadar atau nggak, hidup selalu bersinggungan sama orang di sekitar kita." Senyum jenaka Laras berganti penuh maklum. "Silakan makan dulu, Pak. Tugas saya udah beres. Memastikan perut Bapak terisi dan menyerahkan laporan-laporan itu." Laras yang sedari tadi berdiri, mundur dua langkah, masih memandang penuh awas ke Alby. "Terus, kamu mau apa?" "Ngepel, Pak." Alby cepat-cepat menunduk untuk menyembunyikan senyum. "Kalau Bapak percaya, keterlaluan. Saya mau pulang." Laras sudah berbalik, siap meninggalkan ruangan. "Duduk, Ras. Temani saya makan." Laras berbalik dengan mata melebar. "Duduk." "Pak, saya tuh nggak punya—" "Saya tahu, kamu nggak berniat menggoda saya atau niat sejenis itu. Saya juga nggak punya. Saya cuma ... butuh teman." Lalu Alby berhenti bicara, sibuk memasukkan suapan demi suapan. Laras melakukan seperti yang diminta Alby, duduk. "Pelan-pelan, Pak. Belanda nggak ada niatan buat nyerang lagi kok. Eh... Bapak nenek moyangnya Belanda. Ampun, Pak. Ganti deh, Jepang." Alby memasukkan suapan terakhir, mengamati Laras dengan serius selama beberapa detik, lalu tertawa kecil. "Kamu bersikap seperti ini sama semua kepala divisi di perusahaan—termasuk ke Mas Diaz, atau cuma sama saya." Laras mengerucutkan bibir sedikit, seolah sedang berpikir keras. "Tergantung situasi. Kan tadi Bapak bilang butuh teman, ya udah, saya jadi teman. Eh, wait! Kalau Bapak butuh yang lebih, maaf, saya nggak bisa." Tawa Alby semakin keras sampai matanya sedikit berair. Entah sudah berapa lama dia berhenti tertawa lepas seperti ini, tetapi ... bisa tertawa lagi, rasanya melegakan. "Saya sudah selesai. Ayo, pulang," ajak Alby. Laras bergegas merapikan bekas makanan Alby, sudah dilarang—tetapi Laras bersikeras membersihkan, bahkan sampai mengelap meja kaca Alby dengan tisue basah. "Saya pulang," pamit Laras. "Kita pulang bareng." Laras terdiam, memandangnya dengan bibir sedikit terbuka. Namun, Alby mengabaikan keterkejutan Laras. Berdiri santai dan memakai jas, lalu melewati Laras sambil berkata, "Saya antar kamu. Kamu menolak, saya bilang ke Elora kalau kamu nggak menjalankan tugas dengan baik, terus—" "Oke!” seru Laras semangat. “Kapan lagi naik mobil mahal. Saya siap-siap dulu. Eh, Pak ... apa saya perlu ganti baju? Siapa tahu Bapak mau—" "Ras..." Laras meringis, lalu keluar lebih dulu dari ruangan. Alby menyusul, tidak langsung berjalan. Dia berdiri di depan pintu ruangan memperhatikan Laras, yang terlihat sibuk merapikan barang bawaan di meja, sambil menggeleng pelan. Perempuan itu ... terkadang mirip Kania, berbicara tanpa dipikir.      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD