Part 2

2127 Words
Dia selalu melakukan apapun yang diperintahkan orang-orang padanya. Dia diperlakukan sadis oleh keluarga angkatnya sendiri, walaupun dia tahu kalau mereka bukanlah keluarga kandungnya. Sedari kecil dia selalu diperlakukan kejam oleh mereka, dipukul, dicaci, itu adalah hal yang sangat biasa baginya. Kehidupan bahagianya telah pergi bersama kepergian orangtuanya sejak usianya menginjak tujuh tahun. Dan dia tidak tahu kapan dia akan menemukan kebahagiaannya lagi. Dia mencoba untuk bersabar tinggal di rumah yang bagi orang-orang menganggap kalau dia tinggal di neraka. Dia hanya tidak ingin dicap sebagai anak tidak tahu diri karena tidak mau membalas jasa kedua orangtua angkatnya yang sudah merawatnya sedari kecil. Setiap hari mereka selalu memukul dan memarahinya hanya karena hal sepele seperti; telat menyediakan makanan, salah membuatkan minuman, baju yang tidak rapi dan sebagainya. Hidupnya benar-benar menderita .... Pernah terlintas dalam kepalanya untuk kabur dari rumah ini dan hidup dengan bebas, tapi dengan cepat dia mengubur dalam-dalam keinginannya itu setelah melihat Kiara—sahabat baiknya—disiksa oleh orang suruhan ibu angkatnya. Dan itu cukup untuk membuatnya kapok untuk tidak membantah ucapan sang ibu angkat, dan menurut bagai hewan peliharaan. Setelah itu dia tidak lagi berulah, dia bersikap layaknya gadis yang selalu diperlakukan semena-mena oleh keluarga angkatnya. Termasuk menjualnya dan menjadikannya sebagai p*****r. Hal itulah yang paling sangat ditakutinya selama ini, sejak usianya menginjak 17 tahun, tiga tahun yang lalu. Tuan Hemy dan Nyonya Farah—begitulah dia selalu memanggil orang tua angkatnya—telah berencana untuk menjadikannya sebagai wanita panggilan di sebuah klub ternama di Jakarta. Sontak saja dia selalu menolak. Dia tidak ingin hidup menjadi wanita kotor yang tidak tahu ajaran agama yang selama ini dipegang teguh olehnya. Dia hanya ingin hidup bahagia walau dia sering disiksa atau dimarahi. Dan dia juga tidak ingin mengecewakan kedua orang tuanya dengan sikapnya yang lemah. Maka itulah sebisa mungkin dia selalu pergi atau setidaknya menghindar jika  Tuan Hemy dan Nyonya Farah pulang ke rumah. Tapi hal itu tidak bisa menjaminnya untuk lolos dari kedua orangtua angkatnya. Selalu saja dia ditangkap dan dikejar oleh tangan kanan Tuan Hemy. Tapi dia sangat bersyukur karena Tuhan masih melindunginya sampai saat ini. Dia selalu berhasil meloloskan diri dari kejaran Doni—tangan kanan Tuan Hemy—walaupun saat itu dia harus bersembunyi dan berlari sangat jauh hingga menghabiskan semua energinya, tapi hal itu tidak berarti jika dia bisa melindungi hal yang paling berharga dalam hidupnya. Walaupun saat pulang ke rumah. Tuan Hemy akan memukuli tubuhnya hingga remuk. Dia tak peduli, dia percaya kalau suatu saat nanti akan ada orang yang menyelamatkamnya dari penderitaan ini. Bahkan dia tidak tahu, sampai kapan dia bisa bertahan dari menghadapi semua ini. "Loh, Ara, belum tidur?" tanya Bu Yuni yang melihat Arafah masih duduk di meja makan sambil menatap kosong pada gelas yang terisi cairan bening itu. Arafah segera mengangkat kepalanya ketika seseorang memanggil namanya dengan nada bertanya. Dia tersenyum kepada wanita yang berprofesi sebagai pembantu rumah tangga itu. Dan wanita yang sudah dianggapnya sebagai ibunya itu. "Ibu," Arafah tersenyum. "Iya, ini nggak tahu. Tiba-tiba saja jadi susah tidur. Hehe," imbuhnya seraya menggaruk tengkuk. Bu Yuni menghela napas lalu senyuman manis tercetak di wajah ayunya."Ya sudah, jangan malam-malam begadangnya, nanti masuk angin." "Iya, Bu, Ara tahu, kok. Sekarang, Ibu, saja yang pergi tidur. Udah malam juga." Bu Yuni tak membantah ucapan Arafah, sebaliknya dia pamit pada Arafah untuk pergi dan berpesan pada Arafah untuk tidak tidur larut malam. Setelah kepegian Bu Yuni, Arafah kembali menundukkan kepalanya. Menatap gelas kaca kosong di bawahnya. Dia memejamkan matanya erat, mencoba untuk menghalau rasa sakit yang dirasakannya di sekujur tubuhnya. Perih. Itulah yang dirasakan oleh Arafah. Setelah kejadian seminggu lalu saat dirinya kabur dari Doni untuk kesekian kalinya, Tuan Hemy memukulnya dengan tongkat golf dan mematahkan beberapa persendian tulangnya, beruntung Arafah punya teman yang berprofesi sebagai dokter, jadi ada orang yang mau merawatnya secara gratis. Dan rasa sakit yang timbul seminggu yang lalu itu masih membekas di tubuh Arafah sampai sekarang. Walaupun begitu Arafah masih melakukan aktivitas seperti biasanya, dengan manahan rasa sakit yang dirasakannya, itu sudah biasa baginya jadi tak perlu dipikirkan. Arafah menarik napas panjang, cepat atau lambat dia harus segera pergi dari rumah ini. Tidak mungkin selamanya Arafah akan tinggal di rumah ini, bisa-bisa dia akan mati mengenaskan karena selalu dipukuli oleh kedua orangtua angkatnya. Melupakan segala keresahan dan masalah yang ada di dalam kepalanya. Arafah beranjak dari tempat duduknya, mencuci gelas yang sebelumnya dipakainya lalu pergi menuju kamarnya. Rumah yang ditinggalinya begitu luas, dan mewah. Tapi tak pernah sekalipun Arafah menikmati kenyaman rumah ini, baginya rumah ini terlihat seperti neraka dunia. Tempat yang harus dijauhinya. Tapi, dia tidak bisa melakukannya. Lorong rumah yang menuju ke arah kamarnya terlihat redup dan sedikit menyeramkan. Suasananya begitu sepi, tapi hal itulah yang sangat disukai oleh Arafah. Dia sangat menyukai ketenangan, setidaknya dikesepian dia tidak harus mendengarkan hinaan orang-orang yang mengenalnya. Mereka menghinanya hanya karena dia adalah orang yang berbeda dari mereka. Sayup-sayup, Arafah mendengar suara desahan milik seseorang yang saling bersahutan, suaranya begitu kontras dengan keadaan rumah yang lenggang dan sepi. Lalu mata kayunya menyipit ketika melihat salah satu pintu kamar terbuka sedikit. "Pasti Kak Desta sama Viona lagi." Gumam Arafah setelah berada di depan pintu kamar milik Desta. Gadis itu menggelengkan kepalanya melihat sikap kedua kakak beradik itu yang sangat keterlaluan. Bagaimana tidak? Desta dan Viona itu saudara kandung, tapi mereka selalu berhubungan intim. Keduanya selalu melakukan hubungan intim hampir setiap malam. Tanpa peduli dengan status mereka. Bahkan kedua orang tuanya pun tidak mempermasalahkan perilaku mereka. Arafah menghela napas panjang lalu beranjak pergi menuju kamarnya yang berada di ujung lorong. Mengabaikan suara-suara yang selalu mengganggunya setiap malam. *** Pagi hari tepat setelah jam menunjukan pukul sembilan pagi. Arafah sudah menyelesaikan semua pekerjaannya dan sudah bersiap-siap untuk pergi berangkat kerja. Arafah menyampirkan tas selendang lusuhnya ke pundak sebelah kiri. Dia berjalan riang menghampiri Bu Yuni yang sekarang sedang berada di dapur, senyuman lebar terukir di bibir merahnya. "Kamu sudah mau pergi, Ara." Ujar Bu Yuni dengan senyuman lembutnya. Arafah menganggukkan kepalanya, memakan roti yang disediakan oleh Bu Yuni tadi pagi. "Iya, Bu. Sudah mau terlambat juga." Arafah berjalan ke arah rak sepatu yang berada di sebelah ruangan gudang. Tidak mengacuhkan nasihat Bu Yuni padanya dan lebih memilih fokus untuk mengambil sendal yang akan dipakainya bekerja. Di sana ada hanya ada satu pasang sendal lusuh dan satu flat shoes yang tidak ada pasangannya. Seketika wajahnya berubah murung ketika menatap flat shoes yang tinggal sebelah itu. Padahal flat shoes itu adalah benda paling berharga yang pernah dimiliknya. Tapi sayang, dia kehilangan sebelah flat shoesnya ketika dia sedang dikejar oleh Doni dan tanpa sengaja menubruk seorang lelaki.   Arafah menarik napas gusar, lalu dia mengambil sendal lusuh yang kini selalu dipakainya setelah sebelumnya kehilangan pasangan flat shoes kesayangannya. Arafah memakainya dan tersenyum kepada Bu Yuni. "Bu, Ara pergi dulu, ya. Assalamu'alaikum." Pamit Arafah berjalan pergi meninggalkan rumah beserta Bu Yuni yang sedang tersenyum lebar ke arah Arafah. *** Gadis itu menyusuri pinggir jalan dengan langkah ringan. Wajah cantiknya terlihat bersinar tertimpa sinar matahari pagi. Tak lupa senyuman ceria tercetak di bibir tipis dan merahnya. Kadang juga matanya melirik ke arah lalu-lalang mobil-mobil bagus yang melewatinya. Dalam hati dia berharap bisa menaikinya, walaupun itu sangat tidak mungkin. Langkahnya terus berlanjut hingga kakinya berhenti tepat di sebuah kios tempat makan yang cukup luas dan bersih. Senyuman lebar tersunggir di bibirnya, perlahan memasuki kios makan. Di sana sudah ada dua orang yang sedang membersihkan kios sebelum kios benar-benar dibuka. Mereka tersenyum ketika melihat kedatangan Arafah. "Selamat pagi,  Arafah. Makin hari, makin tambah cantik deh, aku jadi makin sayang deh sama, Bebeb Ara." Sapa Wendy yang dibalas kekehan oleh Arafah. Arafah bekerja di sebuah warung makan di Jakarta. Lebih tepatnya warung makan milik Wendy. Di sinilah dia mencari uang untuk membiayai kebutuhan sehari-harinya. Di sini juga dia menemukan teman-teman sejatinya, di sini juga dia merasakan kebahagiaan ketika Tuan Hemmy dan Nyonya Farah menghinanya, dan hanya di sini juga dia tidak dianggap berbeda oleh orang-orang. "Jangan dengerin omongan Wendy, dia lagi ngaco karena baru putus dari Siska." Ujar Popy yang juga bersahabat baik dengan Arafah. Arafah hanya tersenyum menanggapinya. Wendy memang terkenal dengan sifat playboynya. Dia memang tajir dan terlihat tampan dengan wajah oval dan kulit cokelatnya. Banyak wanita yang suka pada Wendy, tapi sayang Wendy hanya mempermainkan mereka saja. Tapi walaupun begitu sikap Wendy jauh berbeda ketika bersama Arafah dan Popy. Dia akan menjadi lelaki yang baik-baik, bahkan dia rela buka warung makan ini hanya untuk membantu Popy dan Arafah yang kesusahan mencari pekerjaan. "Kak Wendy, enggak kuliah?"tanya Arafah memandang Wendy yang sekarang sedang duduk santai. "Malas, enggak ada yang menarik." Lalu seringaian lebar muncul di wajah tampannya. "Ahh, kalau kamu kuliah di sana, aku sih semangat aja kuliahnya, setiap hari kuliah juga enggak apa-apa, kok.." "Euhhh, itu mah inginnya, Kak Wendy, saja." Timpal Popy. "Ihhh, Popy, tahu aja. Jadi gemes deh. Boleh cium enggak?" Popy mendengus kesal lalu melempar lap yang dipakainya untuk mengeringkan piring dan gelas. "Nih, cium aja lapnya." Balas Popy sengit yang langsung membuat Wendy cemberut. Arafah tertawa melihat pertengkaran Wendy dan Popy yang selalu dilihatnya setiap hari. Kalau menjadi pasangan, pasti mereka sangat cocok. Tapi sepertinya hal itu akan sulit untuk diwujudkan, mengingat orangtua Wendy yang sangat menentang persahabatan anaknya bersama Arafah dan Popy. Wendy terlalu berbeda untuk Arafah dan Popy. Tapi Wendy selalu nyaman bersama Arafah dan Popy, setidaknya mereka berteman secara tulus tanpa embel apapun. Dan Wendy juga tidak merasa rugi mengingat Popy dan Arafah adalah gadis tercantik yang pernah dia miliki. "Kenapa ngelamun? Pasti, Kak Wendy sedih ya gak dapat ciuman dari Popy." Gurau Arafah. Wendy mendengus lalu menatap ke bawah, mengernyit samar ketika dilihatnya sendal Arafah yang terlihat sangat lusuh. Yang Wendy lihat akhir-akhir ini Arafah sangat jarang memakai flat shoes hitam kesayangannya. "Ara!" panggil Wendy. "Ya," "Akhir-akhir kok aku jarang lihat kamu pakai flat shoes kesayangan kamu." Arafah terdiam mendengar ucapan Wendy sementara Popy menganggukkan kepalanya, ikut penasaran karena selama ini Arafah selalu memakai flat shoesnya, tapi akhir-akhir ini sahabatnya itu lebih sering memakai sendal lusuh. "Flat shoesnya hilang waktu aku kabur dari Doni." Ungkap Arafah pelan seraya menundukkan kepalanya. Wajah Wendy terlihat kaku ketika mendengar kejujuran Arafah. Sudah sangat lama dia ingin menghancurkan Hemmy dan keluarganya karena telah membuat sahabatnya menderita. Tapi Arafah tidak ingin dia melakukannya. Terkadang Wendy heran kenapa Arafah melarangnya untuk menghancurkan keluarga br*ngsek itu. "Tidak, bagaimanapun juga mereka yang merawatku sejak kecil. Aku tidak ingin melihat mereka kesusahan karenaku." Selalu itu yang diucapkan Arafah ketika Wendy berniat menghancurkan keluarga Hemmy. "Nanti aku beliin flat shoes yang lebih bagus, ya." Wendy tahu betul betapa berharganya flat shoes hitam milik Arafah dan dia tidak tega melihat sahabat baiknya itu sedih. Arafah segera menggelengkan kepalanya berulang kali seraya tersenyum. "Tak usah, Kak Wen, tidak apa-apa." "Tapi, Ar—" "Aku ke belakang dulu, ya. Momon nyuruh aku buat buang sampah." Elak Arafah cepat. Sejujurnya dia sangat tidak ingin merepotkan Wendy, sudah terlalu banyak Wendy membantunya dalam segala hal. Dan kali ini dia harus bersikap tegar dan mandiri. Arafah membawa kantung plastik besar dan berjalan ke luar kios. Sekali-kali tersenyum menganggukkan kepalanya ketika berpapasan dengan orang-orang yang dikenalnya. Hingga akhirnya Arafah sampai di depan bak sampah yang terlihat kosong, sepertinya petugas kebersihannga sudah mengangkat sampah-sampah yang menggunung kemarin. Dengan riang, Arafah menyimpan kantung plastik itu di sisi bak sampah agar tidak berceceran ke mana-mana. Setelah pekerjaannya selesai, Arafah membalikan tubuhnya kembali berjalan menuju kios. Tiba-tiba saja Arafah menghentikan langkahnya ketika melihat seorang lekaki dan seorang perempuan tengah berbicara serius di ujung jalan yang cukup sepi. Mereka terlihat seperti sedang bertengkar mengingat sang lelaki sedang berusaha untuk mendengar celotehan kekasihnya. Arafah mengernyit heran merasa kenal pada lelaki itu. Dia menyipitkan matanya berusaha untuk mengenali siapa pria itu. Tapi penelitiannya terhenti saat melihat perempuan itu pergi meninggalkan pasangannya yang terlihat menyedihkan. Arafah tersenyum kecil. Sebab itulah selama ini dia selalu menghindari cinta. Cinta itu menyakitkan, kalau belum siap menanggung sakit di hati lebih baik diam dan memantapkan hati untuk seseorang yang ditakdirkan Tuhan untuknya. *** Usai bekerja Arafah kembali pulang ke rumahnya. Sepanjang hari ini dia lebih banyak tersenyum, walaupun dia sangat berat untuk meninggalkan Kios dikarenakan paksaan dari Wendy dan Popy yang menyuruhnya untuk beristirahat di rumah. Arafah terus berjalan masuk tanpa menyadari kalau di belakangnya seseorang tengah mengikutinya dengan pandangan tajam. Seolah sedang merencanakan waktu yang tepat untuk menghabisi gadis berparas ayu itu. "Bu, Ara pul—" Teriakan Arafah terhenti ketika seseorang membekap mulutnya dari belakang. Arafah tahu siapa yang melakukan hal ini padanya. Sekuat tenaga Arafah berusaha untuk melepaskan diri dari jeratan Doni, dia memukul, menendang, dan sebagainya. Tapi Arafah tidak berhasil sama sekali, Doni terlalu kuat, dia tidak bisa melawannya lagi. "Ya, Tuhan, tolong aku." Mohon Arafah ketika Doni menyeretnya ke luar rumah.   Sejenak Arafah melirik Viona yang sedang duduk bersama kekasih barunya. Sekuat tenaga Arafah menahan tangisnya, walaupun itu tidak bisa dilakukannya. Pikirannya sudah terlalu takut jika sesuatu terjadi padanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD