Satu minggu berlalu begitu cepat. Hari ini adalah hari pernikahanku. Aku sama sekali tidak percaya bahwa aku akan menikah. Aku, seorang Nathania Aleva Kusuma, yang masih berusia 24 tahun dan belum menyelesaikan pendidikan kedokteran, hari ini akan melepas masa lajang.
Aku semakin merasa tertekan ketika teringat siapa calon suamiku. Laki-laki itu adalah Valdi Dirga Putra, alias snowman. Untuk masalah wajah, aku mau tak mau mengakui jika dia termasuk dalam kategori ganteng, tapi hal itu tidak cukup membuatku terhibur ketika mengingat sikapnya yang begitu dingin.
Aku mendesah keras karena kesal dengan berbagai pemikiran menjengkelkan tentang Valdi. Astaga, aku sama sekali tidak menyangka jika pada akhirnya aku akan menikahi laki-laki itu.
Tok-tok-tok.
Kedua mataku yang masih terpejam kini terbuka. Aku mengacak rambut kesal sebelum bangkit dari kasur dan berjalan menuju pintu. Aku semakin menggerutu ketika melihat jarum jam masih menunjukkan pukul empat pagi. Aku sudah hendak mengajukan protes kepada tamuku ketika pintu terbuka. Namun, niatku langsung pupus saat mendengar celotehan khas milik Mama.
“Astaga, Eva! Kamu kok belum mandi, sih?! Mbak periasnya udah dateng, lho. Buruan, ayo mandi!” Ekspresi terkejut menghiasi wajah Mama. Mama langsung mendorong tubuhku menuju kamar mandi.
“Bentar, Ma. Aku belum ambil daleman.” Aku menghentikan langkahku dan berbalik arah menuju lemari. Setelah mengambil sepasang pakaian dalam, aku kembali berbalik dan berjalan menuju kamar mandi.
“Mandinya cepetan ya, Va! Udah ditungguin sama periasnya.” Teriakan Mama dari luar masih terdengar dan membuatku mendengus kesal.
Karena tidak mau mendengar omelan Mama yang kutahu akan semakin panjang, aku mandi dengan cepat. Setelah selesai mandi, aku segera mengeringkan tubuh dan mengenakan pakaian dalam serta kimono sebagai luaran.
Begitu membuka pintu, aku malah dikagetkan oleh kehadiran seseorang. Tanganku secara otomatis memegang d**a. “Astaga, bikin kaget aja, Mbak!”
Sang perias pengantin itu tersenyum tidak enak. “Aduh, maaf-maaf, Mbak. Tadi saya disuruh ibunya Mbak buat masuk ke kamar.“
Aku mengangguk perlahan dengan senyum kecil. “Nggak apa-apa kok, Mbak. Santai aja, tadi saya cuma kaget.”
“Ya udah, Mbak, silakan duduk,” kata si Mbak perias seraya menepuk-nepuk kursi yang sudah disiapkan di depan cermin rias. Aku mengangguk dan langsung menuruti perintah sang penata rias. Lalu tanpa menunggu apa-apa lagi, si Mbak perias—yang bernama Nina—itu langsung beraksi merias wajahku.
“Mbak Eva kalo masih ngantuk tidur aja dulu, nggak apa-apa. Nanti kalo riasannya udah selesai saya bangunin,“ kata Mbak Nina setelah menyaksikanku menguap beberapa kali.
Mataku langsung berbinar. “Beneran, Mbak ?“
Mbak Nina tersenyum dan mengangguk. “Iya, Mbak, boleh.”
Setelah itu aku pun segera memejamkan mata dan berlabuh ke alam mimpi.
***
“Mbak Eva, bangun, Mbak.” Sayup-sayup aku mendengar sebuah suara. Setelahnya, aku merasakan lenganku ditepuk beberapa kali.
Dengan perlahan aku membuka mata dan menguap. “Oh, udah selesai ya, Mbak?” tanyaku yang masih beberapa kali mengerjapkan mata saat menyesuaikan pencahayaan kamar yang sudah terang karena cahaya matahari.
“Udah, Mbak. Tinggal nyanggul rambutnya aja.”
Aku mengangguk beberapa kali sebelum akhirnya memfokuskan pandangan pada cermin. Seketika itu juga, aku menganga kaget.
Astaga, apa benar bayangan di depan sana adalah pantulan diriku?
“Mbak Nina, itu beneran saya?“ tanyaku dengan bodohnya.
“Iya, dong. Siapa lagi kalo bukan Mbak Eva,” jawab Mbak Nina tersenyum geli.
“Beneran, Mbak? Kok saya bisa jadi cantik begini, sih? Saya kan aslinya buluk, Mbak. Berarti kemampuan make up-nya Mbak Nina luar biasa ya, sampe bisa ngubah saya jadi cantik begini,” balasku masih dengan ekspresi terkejut.
“Mbak Eva kan emang dasarnya sudah cantik. Saya cuma memperindah wajahnya Mbak aja,” sahutnya sambil sibuk menggulung rambutku.
“Ah, Mbak Nina bisa aja, kan saya jadi malu,” kataku dengan pipi tersipu. Mbak Nina tersenyum geli. Selanjutnya aku memilih untuk tidak melanjutkan obrolan karena Mbak Nina terlihat sibuk mengurus rambutku.
Setengah jam kemudian, akhirnya rambutku sudah selesai ditata. “Nah, sudah jadi. Silakan diganti bajunya, Mbak. Mau saya bantu?”
“Nggak usah, Mbak,” tolakku seraya bangkit dari kursi dan berjalan menuju lemari dan mengambil kebaya putih buatan Tante Sifa. Setelah mengenakan kebaya, aku langsung keluar kamar. Aku terkejut dengan kehadiran Mama yang sudah siap dengan kebaya keluarga dan riasan wajah yang cantik.
“Eva... anak Mama cantik banget,” ucap Mama yang langsung berjalan menghampiriku. Kedua tangannya langsung menepuk-nepuk bahuku pelan. Matanya berbinar dan bibirnya tersenyum haru menatapku.
“Iya, dong. Kan nurun dari Mama,” balasku dengan senyum lebar. Sebelah tangannya bergerak merangkum pipi kiriku.
“Mama nggak nyangka, ternyata anak Mama sudah besar. Sebentar lagi bakal nikah dan berkeluarga.” Mama mengucapkannya dengan suara yang mulai bergetar. Ia menatapku sebentar sebelum menarikku ke dalam pelukannya.
“Mama minta kamu berjanji, meskipun pernikahan ini terjadi atas dasar perjodohan, tapi kamu harus menjalaninya dengan ikhlas ya, Va. Jadilah istri yang baik untuk Valdi. Layani dia dengan sepenuh hati kamu. Dan mulai detik ini, belajarlah untuk mencintai dia ya, Nak.“ Suara Mama sudah bercampur dengan isak tangis. Aku langsung menepuk-nepuk punggung Mama pelan lalu memundurkan wajah untuk melihat Mama. Tanpa sadar, kini mataku sudah mulai berair. Air mataku terpicu saat memandangi wajah seorang malaikat tanpa sayap yang sudah mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkanku. Seorang wanita tangguh dan penuh kasih sayang, yang sudah membesarkanku sampai sekarang.
“Iya, Ma. Eva janji akan melaksanakan semua perkataan Mama. Udah ya, jangan nangis. Eva pengin nangis juga jadinya,” ucapku sambil menghapus air mata yang mengalir di pipi Mama.
Mama tersenyum haru. Ia kemudian melepas pelukannya pada tubuhku. “Iya, udah nih, Mama nggak nangis lagi.” Mama tersenyum lagi untuk meyakinkanku. Ia melanjutkan, “Nanti kalau kamu sudah pindah rumah, jangan lupa pulang, ya. Sering-sering kunjungin keluarga kamu di sini,” pesan Mama.
Aku membalasnya dengan anggukan.
“Anak Papa ternyata bisa juga ya berubah secantik ini.” Papa dan Kevin tahu-tahu saja muncul, membuat momen mengharukan yang baru saja terjadi buyar.
“Ciee, Kakak bentar lagi nikah.” Kevin kini giliran menyuarakan olokannya.
Aku mendengus lalu meraih leher Kevin dengan sebelah tangan. “Nggak usah ngeledek! Awas ya lo, bentar lagi gue bakalan pergi. Nggak ada yang ngasih uang sangu tambahan, lho.”
“Lho, justru uang sangu gue malah nambah. Kan uang sangu lo dialihkan ke gue,” balas Kevin seraya melepaskan pitinganku di lehernya.
Aku mendengus lalu kembali berkata, “Dasar jahat otak lo, ya. Pokoknya awas aja lo kalo sampe kangen sama gue.”
“Nggak bakal!” sanggah Kevin langsung.
Papa dan Mama menggeleng tak habis pikir melihat kelakuan kami. Papa kemudian angkat bicara, membuat kami yang masih beradu mulut seketika terdiam. “Udahan debatnya. Keluarganya Valdi udah dateng. Kamu di sini dulu ya, Va. Tunggu sampai ijabnya selesai.”
Aku mengangguk patuh. “Iya, Pa.”
Papa sudah membalikkan tubuh hendak keluar, namun baru selangkah berjalan, Papa kembali menghadapkan tubuhnya padaku. Papa langsung memelukku, membuatku seketika kaget.
“Papa minta maaf ya, Va, sudah seenaknya menjodohkan kamu, tapi ini semua Papa lakukan karena Papa yakin kamu berada di tangan yang tepat. Kamu akan bahagia dengan Valdi.”
Aku membalas pelukan Papa dan mengangguk. Meskipun aku masih tidak yakin apakah bisa bahagia dengan laki-laki itu. Sebagian hatiku benar-benar masih tidak menerima Valdi sebagai calon suamiku. Aku tidak mau menikah dengannya. Namun berkebalikan dengan suara hatiku, aku malah membalas, “Sudah, Pa, nggak apa-apa. Yang penting, doakan saja semoga pernikahan Eva baik-baik saja.”
Papa memundurkan wajahnya lalu mendaratkan kecupan hangat di keningku. “Selalu, Nak. Doa Papa tidak akan pernah berhenti.”
Setelah beberapa saat akhirnya Papa mengangguk. “Ya sudah, kita keluar dulu, ya.” Kali ini, Papa, Mama, dan Kevin benar-benar keluar dari kamar. Meninggalkanku seorang diri yang memutuskan untuk duduk di pinggir kasur.
Sepeninggal mereka, rasa gugup yang awalnya sama sekali tidak kurasakan, kini datang menyerbu. Dengan teratur, aku melakukan pernapasan panjang beberapa kali untuk menenangkan diri.
Segala penolakanku terhadap Valdi tidak akan berguna lagi. Di depan sana Valdi sudah bersiap-siap untuk mengucapkan ijab kabul. Hanya tinggal menghitung menit hingga aku benar-benar menjadi hak-nya. Miliknya. Dan memikirkannya malah membuat perasaanku tidak enak.
Aku tidak tahu sudah berapa lama menunggu, sampai akhirnya pintu terbuka dan menampilkan sosok Mama dengan wajah berbinar bahagia.
Mama langsung berjalan mendekat lalu memelukku. “Selamat ya, Nak, kamu sekarang sudah sah jadi istrinya Valdi. Jangan lupa ya, sama pesan Mama tadi.”
Separuh nyawaku seolah sudah hilang dari raga. Aku tidak tahu lagi bagaimana perasaanku sekarang. Namun melihat senyum Mama, aku tahu aku juga harus tersenyum.
Papa dan Mama kelihatan sangat bahagia dengan pernikahan ini. Udahlah, perasaan lo urusan belakangan, Va. Lo cuma perlu menunjukkan ekpresi yang sama dengan orangtua lo sekarang.
Aku tersenyum teduh. “Iya, Ma. Eva masih ingat kok.”
Mama mengusap pipiku pelan sebelum membantuku berdiri. “Ya udah, ayo kita keluar. Valdi udah nunggu.”
Aku mengangguk lalu berjalan perlahan mengikuti Mama yang kini menuntunku. Begitu sampai di depan pintu, Mama menghentikan langkahnya lalu mendorong daun pintu.
Pemandangan pertama yang tertangkap oleh mataku adalah sosok Valdi yang entah kenapa tampak begitu tampan dengan beskap putihnya—dia memang menyebalkan, tapi sekarang aku tidak mau munafik dengan tidak mengakui wajahnya yang terlihat bersinar. Dan menyadari betapa serasinya pakaian kami malah membuat perutku melilit.
Aku termangu mendapati ekspresi Valdi yang sempat memancarkan kekaguman saat melihatku, sama ketika aku terpana melihatnya tadi. Namun beberapa detik kemudian, ekspresi itu langsung hilang. Tergantikan oleh ekspresi datar andalannya. Entah kenapa diam-diam aku merasa puas.
“Kok pada diem? Eva, itu tangan suaminya dicium dulu, Sayang.” Bisikan Mama akhirnya membuat kebekuan di antara kami melebur.
Aku berdeham pelan sebelum menggerakkan tanganku untuk meraih tangan Valdi. Aku menundukkan kepala dengan perlahan, kemudian memberikan kecupan khidmat di punggung tangan Valdi.
Setelah selesai, kupikir Valdi tidak akan melakukan apa-apa. Tapi ternyata, pria itu bergerak memajukan wajahnya dan memberikan kecupan hangat di keningku.
Tubuhku membeku untuk sepersekian detik karena merasa kaget bukan main.
Ya Tuhan, Valdi menciumku! Gila-gila-gila! Apa sebenarnya yang dia pikirkan, sampai berani memberikan keningku sebuah ciuman?!
Kepanikan dalam diriku terputus oleh ucapan Bunda. “Selamat untuk kalian berdua yang sekarang sudah sah jadi suami-istri. Eva, Bunda titip Valdi ya. Dan Valdi, jaga istri kamu baik-baik. Kalau sampai dia bikin kamu nangis, langsung lapor Bunda ya, Va, biar Bunda hajar nanti,” ujar Bunda yang membuatku refleks tersenyum.
Aku mengangguk dan berkata, “Siap, Bunda.”
“Ayo, kita ke taman belakang buat resepsi. Tamunya sudah pada datang,” kata Mama yang dibalas dengan anggukanku dan Valdi.
Kami kemudian berjalan beriringan menuju taman belakang rumahku. Begitu tiba di sana, seketika aku takjub. Taman rumahku disulap sedemikian rupa sampai akhirnya menghasilkan penampilan yang apik seperti ini. Panggung megah, puluhan kursi dan meja bundar yang tertata, lengkap dengan segala dekorasi yang serba putih.
“Kalian berdua naik ke panggung aja dulu. Mama sama Bunda ke depan nyambut tamu,” ucap Mama.
Kami lagi-lagi mengangguk.
Sepeninggal Mama dan Bunda, aku dan Valdi berjalan beriringan menuju panggung. Selama perjalanan singkat itu, aku sudah berkali-kali mengumpat dalam hati karena susah berjalan akibat mengenakan kebaya berbuntut panjang ini. Rasa jengkelku semakin bertambah karena Valdi sama sekali tidak berniat untuk membantu. Yah, mau bagaimana lagi, aku kan menikah dengan manusia salju. Mau berharap dia peka dan membantuku dengan senang hati? Mimpi namanya!
Aku bernapas lega saat sudah berada di atas panggung dan hendak berjalan ke kursi di bagian tengah. Seharusnya aku tidak boleh cepat-cepat merasa senang, karena sedetik kemudian sepatuku menginjak ujung kebaya. Hal itu mengakibatkan langkahku goyah. Teriakanku tenggelam. Mataku otomatis terpejam. Aku bersiap untuk merasakan kerasnya panggung. Namun, sudah beberapa detik berlalu, aku belum juga mendarat. Malahan, kini aku merasakan sebuah tangan hangat melingkari pinggangku.
Dengan perlahan, aku membuka mataku. Jantungku serasa berhenti berdetak ketika mendapati wajah Valdi yang begitu dekat. Senyum kecilnya kini tampak jelas.
“Hati-hati, Istriku. Kalau jatuh nanti sakit, lho.” Valdi berbisik tepat di telingaku. Dan hal itu sukses membuat bulu kudukku berdiri.
Kami berdua kemudian saling melempar pandang, sampai akhirnya aku tersadar dan berdeham. Aku langsung menegakkan tubuh lalu kembali melanjutkan langkah menuju kursi di tengah panggung.
Detik demi detik berlalu, sampai akhirnya resepsi yang dikhususkan untuk tamu para orang tua sudah selesai. Hanya dua jam, namun efek yang ditimbulkan dari berdiri dan menyalami tamu yang berjumlah fantastis itu luar biasa menakjubkan untuk tubuhku.
Begitu selesai, aku dan Valdi digiring oleh penata rias untuk segera berganti kostum. Setelah ini, giliran resepsi yang diperuntukkan untuk teman-temanku dan Valdi. Untuk sesi kedua, aku mengenakan dress sepanjang mata kaki berwarna silver dengan gaya santai. Sedangkan Valdi mengenakan setelan jas dengan warna yang serupa denganku.
Setelah selesai, aku langsung keluar dari kamar dan menemukan Valdi yang sudah siap dengan pakaiannya. Seperti tadi, aku kembali merasa takjub melihat penampilan si manusia salju. Kenapa sih wajahnya harus seganteng itu?
“Gue tahu gue ganteng, tapi wajah lo biasa aja, dong. Nggak usah mupeng begitu.” Valdi mengejekku dengan senyum miringnya.
Satu-satunya hal baik tentang cowok ini sepertinya memang cuma penampilannya saja!
Aku langsung membuang muka dan mendengus sebal. “Dih, najis! Ngapain gue sampe mupeng lihat wajah jelek lo.”
“Udah, nggak usah malu mengakui. Tenang aja, nanti malem lo bisa memiliki gue seutuhnya, kok.” Valdi mengakhiri kalimatnya dengan bisikan dan pandangan penuh arti. Hal itu malah membuat kejengkelanku mencuat naik dan menggerakkan kakiku untuk menginjak kaki Valdi.
Valdi langsung mengaduh dan memandangku sengit. “Sakit, woy! Kurang ajar ya lo sama suami.”
“Makanya, mulut tuh dijaga kesuciannya. Jangan ngomongin yang aneh-aneh,” sahutku galak.
Valdi terlihat tidak terima dan sudah siap mengeluarkan protesannya, namun suara teriakan yang kini terdengar mendekat menghentikan niatan itu.
“EVAAAA! SELAMET YAA UDAH JADI NYONYA VALDI!” Itu adalah teriakan dari ketiga sahabatku, Elisa, Sisil, dan Tiara. Mereka berjalan cepat dari pinggir panggung menuju tempatku. Di belakang mereka, ada tiga orang lelaki menyusul—pasangan mereka. Dan kebetulan juga, ketiganya adalah sahabat Valdi yaitu Renald, Radit serta Doni. Dunia sempit sekali, kan?
“Thanks, Guys, udah mau dateng. Aaa gue kangen banget!” Aku langsung memeluk mereka bertiga.
“Selamat ya, Eva.” Pasangan dari ketiga sahabatku mengucapkannya secara kompak. Aku mengangguk dengan senyum kecil sebagai balasan.
“Thank you.”
“Sial amat lo, Va, nikah sama si Valdi.” Doni berkata santai dan langsung dihadiahi Valdi sebuah toyoran di kepalanya.
“k*****t ya lo. Yang sial itu Tiara, kok ya dapetnya manusia kayak lo,” sahut Valdi tak mau kalah.
“Iya-iya, gue setuju sama lo, Val. Sial banget gue dapetnya Doni,” balas Tiara dengan kekehan geli.
Doni langsung menoleh ke samping dan menatap Tiara dengan pandangan sedih. “Jadi, dapetin aku itu sial, Ra?”
“Nggak kok, Don. Aku nggak sial ngedapetin kamu, cuma kurang beruntung aja,” balas Tiara sambil tertawa. Ternyata dia masih saja somplak seperti dulu. “Bercanda, Sayang. Jangan marah, dong.” Tiara tampak memeluk lengan Doni manja. Melihat itu membuatku berdecak dalam hati.
“Kalian berdua nih ya, yang nikah tuh Eva sama Valdi. Ini kenapa malah kalian yang mesra-mesraan.” Elisa seolah bisa membaca pikiranku dan membuat aku terkekeh.
“Nah, betul tuh, Lis. Udah sih nggak usah gelendotan gitu,” timpal Sisil.
Tiara langsung memutar bola matanya kesal. Ia kemudian menegakkan tubuh dan menunjuk Elisa serta Sisil bergantian. “Lo berdua sadar diri juga, dong. Gue nggak boleh gelendotan, tapi kalian boleh rangkul-rangkulan, begitu maksudnya?”
Sontak Elisa dan Sisil saling pandang lalu melempar cengiran tak berdosa.
“Ya maap, nggak nyadar gue, refleks bawaannya pengin sayang-sayangan,” ucap Elisa penuh canda.
Aku tersenyum haru memandang ketiga pasangan di depanku. Aku juga turut senang saat melihat ketiga sahabatku bahagia dengan pasangan mereka masing-masing. Melihatnya membuatku berpikir, apakah nantinya aku bisa bahagia dengan manusia salju di sebelahku ini?
Yah, setidaknya kuharap mereka tidak berakhir menyedihkan seperti aku.
“Woy, Va, jangan bengong, dong. Masa pengantin baru malah bengong.” Tiara menyadarkanku dari lamunan dengan ucapan serta pukulan ringan di lenganku.
Aku tersenyum dan berkata, “Gue cuma lagi merhatiin kalian aja. Seneng gitu rasanya lihat kalian bahagia.”
“Kok gituuu? Lo kan bakal bahagia juga,” seru Elisa tak terima.
“Iya-iya.” Aku hanya tersenyum singkat. “Eh, ayo kita duduk di bawah aja.” Aku beralih merangkul lengan Tiara dan menariknya untuk turun ke bawah panggung. Kami berdelapan berjalan beriringan menuju meja yang berada di sudut taman. Setelah menduduki kursi masing-masing, kami kembali larut dalam obrolan.
Aku dan Valdi sempat meninggalkan meja beberapa kali untuk menyapa tamu. Sampai akhirnya waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Semua tamu yang hadir pun kini sudah pulang. Hanya menyisakan pihak keluargaku dan Valdi.
“Valdi, Eva, kita pamit dulu, ya. Sekali lagi selamat atas pernikahannya.” Ketiga temanku berucap bersamaan. Aku mengangguk dengan senyum lebar terpasang.
“Makasih ya, semuanya,” kataku sambil memeluk ketiganya.
“Kita udah naruh kado buat lo di kamar. Nanti malem dipake, ya,” bisik Tiara.
Aku hanya mengangguk singkat. “Oke, makasih kadonya.”
Sama seperti ketiga temanku, teman-teman Valdi juga kini sedang berpamitan. Setelahnya, aku dan Valdi berjalan mengantar mereka ke depan. Setelah mobil mereka melaju pergi, aku berbalik dan berjalan dengan cuek ke dalam rumah tanpa menghiraukan Valdi.
“Kalian berdua pasti capek banget. Ya udah sana istirahat aja ke kamar.” Bunda yang pertama kali menyambut kami. Aku mengangguk dengan senyum lelah.
“Iya, Bunda. Semuanya, Eva pamit ke kamar dulu, ya.”
Aku menyalami tangan kedua orangtua serta mertuaku terlebih dahulu sebelum benar-benar pergi dari ruang tamu. Selama perjalanan menuju kamar, aku dan Valdi sama-sama terdiam.
Tanpa sadar aku mengembuskan napas lega ketika akhirnya sudah sampai di depan pintu kamar. Tanganku sudah bergerak membuka pintu saat terdengar teriakan Mama. “JANGAN LUPA BIKININ KITA CUCU YA, SAYANG!”
Aku menganga tidak percaya. Tanpa menoleh kepada Valdi, aku langsung masuk ke dalam kamar.
Astaga, kenapa Mamaku seperti itu, sih? Kan malu didengar orang! Memangnya dia pikir aku dan Valdi akan langsung membuatkan cucu untuknya? Tidak mungkin! Aku kan masih belum siap!
Aku sudah hendak berjalan menuju kasur, namun tangan Valdi yang mencekal lenganku membuat langkahku terhenti. Dengan perlahan aku menoleh. “Ke-kenapa, Val?”
Valdi tersenyum miring. Ia lalu membalik tubuhku menghadap kepadanya. Rasa gugup mulai menyerang ketika Valdi mendekatkan wajahnya kepadaku. Dengan spontan aku menggerakkan tanganku untuk meloloskan diri. Namun, kekuatan Valdi lebih besar dan membuat niatku itu langsung pupus.
“Ma-mau apa lo?” tanyaku tergeragap. Seringaian Valdi semakin lebar ketika menyadari kegugupanku. Aku menelan ludah saat Valdi memajukan wajahnya lebih dekat. Ia memosisikan mulutnya tepat di sebelah telingaku.
“Kita harus menuhin keinginan Mama tadi, Va. Pesanan kita banyak, lho. Ready for tonight, baby?”