Gue masih syok saat tahu kalau ternyata Eva-lah yang dijodohin sama gue. Lalu seolah belum cukup, waktu pernikahan juga telah ditentukan—dua minggu lagi.
Coba bayangkan, Pemirsa. Dua minggu lagi! Ayah sama Bunda nyuruh gue nikah seolah cuma mau nyuruh gue liburan ke kota sebelah!
Gue semakin melesakkan diri ke sofa ruang keluarga. Dua minggu itu waktu yang begitu cepat. Masa kebebasan gue yang berharga ternyata tidak bisa bertahan lama. Gue mengacak rambut dengan kesal. Kalau tahu gue bakal dijodohin begini, mending gue sekalian ambil S3 di London. Bodo amat kepala gue bakal botak karena belajar terus, daripada harus melepas masa lajang secepet ini. Mana sama cewek kayak Eva lagi.
Yang lebih mengganggu pikiran gue adalah, kenapa Eva kelihatan benci banget sama gue? Sepanjang ingatan gue, gue merasa sama sekali nggak pernah bikin salah sama dia. Punya urusan sama dia aja jarang. Lalu kenapa Eva seolah amat tidak menginginkan pernikahan ini? Emangnya gue se-amit-amit itu?
“Woy, Bang Valdi!” Nathan yang duduk di samping gue tiba-tiba menyikut. Gue langsung menoleh ke samping dengan tatapan tidak suka.
“Ngapain sih, Dek? Udah berani nyikut-nyikut Abang?”
“Dipanggil Bunda, noh.”
“Kan manggil aja bisa, nggak usah pake nyikut,” balas gue sewot. Maklum, masih dalam suasana duka, makanya suasana hati gue sekarang lagi mode senggol-bacok.
“Gue nggak bakal nyikut kalo Abangnya nyahut pas dipanggil,” sahut Nathan yang kini mulai terpancing emosi.
Gue mendesah pelan. “Iya-iya.”
“Valdi,” panggil Bunda yang rupanya sudah di dekat gue.
“Iya, kenapa, Bun?” Gue menoleh, mendapati Bunda yang sedang menatap gue.
“Jalan-jalan gih sama Eva. Terus nanti sekalian kamu antar dia pulang, ya,” pinta Bunda. Ekspresi wajah gue yang sedang kesal kini berubah semakin muram.
“Nggak usah, Tante, eh, Bunda. Nanti Eva malah ngerepotin.”
Gue seketika kaget saat sosok Eva malah ikut muncul. Lagi-lagi ekspresinya seolah ingin cepat-cepat kabur dari gue. Lama-lama gue bisa mati penasaran. Emangnya gue seburuk itu? Seperti yang Bunda bilang, gini-gini gue masih anak baik-baik.
Gue akhirnya mendesah. “Nggak apa-apa. Ayo, Va, kita keluar.” Ucapan gue barusan sontak membuat Eva kaget. Tindakan gue yang langsung bangkit dari kursi semakin menambah keterkejutannya.
“Buruan,” desak gue kepada Eva yang masih mematung. Eva akhirnya tersadar lalu ikut bergerak.
Gue dan Eva berpamitan terlebih dahulu sebelum berjalan beriringan keluar. Selama perjalanan menuju mobil, kami sama-sama terdiam. Kediaman kami masih bertahan sampai gue sudah mengendarai mobil.
“Val, kita mau ke mana?” Tiba-tiba Eva memecah keheningan. Gue yang masih malas bicara memilih tidak menjawab pertanyaan itu. “Woy, Valdi, kita mau ke mana?! Lo nggak berniat ngebuang gue di jalanan, kan?“
Astaga, kenapa cewek yang dijodohin sama gue berisik amat, sih?!
“Susah ya emang kalo ngomong sama manusia salju.”
Apa? Manusia salju? Manusia tampan menawan kayak gue gini dibilang manusia salju?
Gue berdecak singkat. “Gue juga nggak tahu mau ke mana. Dan asal lo tahu ya, nggak ada manusia salju yang ganteng kayak gue.”
Dengusan Eva terdengar. “Cih, narsis banget!”
“Serah.”
Keheningan kembali menyapa kami. Sampai akhirnya gue memutuskan untuk menghentikan mobil di pinggir jalan yang sepi.
“Jadi, gimana?” tanya gue seraya bersedekap.
“Gimana apanya?” Eva malah bertanya balik dengan ekspresi tidak mengerti.
“Perjodohan kita ini. Lo yakin mau nerima?”
Eva menghela napas pelan sebelum berkata, “Kalo lo tanya pendapat gue, jelas aja gue nolak. Mana mungkin gue mau dijodohin, sama orang kayak lo pula.” Eva mendesah kesal dan terdiam sejenak sebelum melanjutkan perkataannya. “Tapi, di satu sisi, gue nggak mau ngecewain orangtua.”
Gue mengangguk pelan. “Gue juga nggak mau ngecewain orangtua.”
“Gue juga punya alasan tersendiri sehingga nggak bisa nolak perjodohan ini. Bagaimanapun buruknya perasaan gue sama lo,” tukas Eva dengan pelan sambil menatap ke depan.
Gue bungkam. Ekspresi itu lagi. Sebenarnya apa yang bikin Eva benar-benar membenci gue? Gue ingin bertanya, tapi mulut gue sama sekali tidak mau bicara.
“Lo sendiri gimana? Ada solusi buat mengelak dari perjodohan ini?” tanya Eva.
Gue terdiam cukup lama. Bukan apa-apa, karena gue memang sama sekali nggak punya solusi. Gue mengingat kembali kekeraskepalaan Ayah dan Bunda yang seolah tidak ingin menerima pendapat serta pembelaan dari gue kecuali sebuah persetujuan pada pernikahan ini. Gue juga tidak bisa mengelak karena tidak memiliki calon pengganti yang bisa dijadikan alasan.
“Gue nggak bisa menolak perjodohan ini,” putus gue pasrah.
Kami berdua kembali terdiam. Sampai akhirnya Eva berkata, “Sepertinya kita nggak ada pilihan lain selain menerima perjodohan ini. Itu artinya, dua minggu lagi kita bakal nikah.”
Gue diam agak lama. “Hmm. Kayaknya iya, ya,” jawab gue tanpa sadar.
“Gue mau ngajuin syarat.” Ucapan Eva sontak membuat gue menoleh.
“Apaan? Jangan aneh-aneh deh, ya,” tanya gue sangsi.
Eva terdiam sejenak, ekspresinya terlihat ragu. “Jangan sentuh gue sampe gue siap,” tukasnya pelan namun tegas.
Gue berdecak lalu menaikkan sebelah alis. “Jadi, lo ngizinin gue buat jajan di luar?”
“Maksud lo?”
“Maksud lo buat nggak nyentuh lo adalah no having s*x, kan?” tembak gue langsung. Wajah Eva terkejut bukan main sementara pipinya merona.
“Bisa nggak sih, nggak usah frontal begitu?!” cercanya.
“Ya biar jelas aja, Va. Gini lho, lo tahu kan tabiatnya cowok gimana? Jadi, kalo lo nggak mau kita having s*x, ya udah berarti gue harus jajan di luar buat pelampiasan.“
Eva melongo tidak percaya. “Gue ngomongnya sampe gue siap, bukan nggak mau. Lo jajan sama aja kayak lo selingkuh dan gue nggak mau punya laki tukang selingkuh.”
“Jadi intinya lo mau, kan? Kenapa gue harus nunggu?”
Ekspresi perempuan di samping gue kini berubah kesal. “Ya karena gue mau ngelakuinnya atas dasar saling cinta.”
Gue tersenyum miring menatap Eva. “Cinta? Gue sih yakin lo bakal cinta sama gue, tapi gue nggak yakin kalo gue bisa cinta sama lo.“
Eva tertawa miris. “Astaga, tingkat kepercayaan diri lo bisa nggak sih diturunin? Terus kalau nyatanya malah lo yang jatuh cinta dan bertekuk lutut sama gue, gimana? Baru tahu rasa lo!”
“Nggak mungkinlah!”
“Kita lihat aja ntar, siapa duluan yang bakal jatuh cinta. Mau taruhan lo?”
Seringaian gue semakin lebar. “I’m in!”
“Tapi kita harus main fair, harus nyatain langsung kalo udah jatuh cinta. Dan sebagai yang kalah, dia harus ngelakuin apa aja yang diminta oleh yang menang.”
“Deal, siapa takut! Gue bakal jamin kalo lo duluan yang bakal bilang cinta ke gue,“ kata gue yakin.
“Nggak usah sombong gitu, nanti kalau kalah malunya nggak nahan, lho,” tantangnya dengan dagu terangkat.
Kami berdua kemudian bersalaman sebagai tanda kesepakatan. “Oke, masalah kita udah selesai. Sekarang gue antar lo balik.“
“Oke.”
Gue berdecak sambil menatap Eva. “Kasih tahu alamatnyalah, b**o, mana gue tahu rumah lo di mana.”
“Nggak usah ngatain gue b**o juga kali. Gue kira kan lo udah tahu rumah gue di mana!” protesnya dengan mulut memberengut.
“Eh emangnya gue jin, bisa tahu di mana rumah lo? Buruan, alamatnya!”
“Perumahan Bukit Permai nomor 20.”
Setelah mendapatkan alamatnya, gue langsung menekan pedal gas dan mengendarai mobil menuju rumah Eva.
Setengah jam kemudian, akhirnya mobil gue memasuki pelataran rumah Eva. Gue sama sekali tidak berniat untuk turun dari mobil, namun ternyata niat gue itu tidak bisa terwujud karena keluarga Eva yang datang bersamaan dengan kita berdua.
Gue menuruni mobil kemudian berjalan menghampiri keluarga Eva.
“Eh kalian juga baru pulang. Makasih ya, Valdi, udah nganterin Eva,” ucap ibu Eva. Gue mengangguk sambil memasang senyum ganteng. “Iya, Ma. Sama-sama.“
“Ayo, mampir dulu,” kata Om Deni yang kini merangkul bahu gue.
Gue menggeleng. “Nggak usah, Pa. Udah malem. Besok aja Valdi mampir.”
Om Deni mengangguk dengan tangannya yang menepuk-nepuk pundak gue. “Ya udah kalau gitu. Hati-hati ya, salam buat orangtua kamu.”
“Siap, Pa! Valdi pamit pulang dulu ya, semua,” pamit gue yang dibalas dengan anggukan keluarga Eva.
Gue mengangguk sekali lagi sebagai balasan sebelum akhirnya berjalan memasuki mobil dan melajukannya menuju rumah.
***
Satu minggu rasanya berlalu begitu cepat. Dan selama satu minggu ini, kegiatan gue luar biasa banyak. Hal itu terjadi karena begitu gue masuk ke kantor, Ayah mulai memberikan semua pekerjaannya kepada gue untuk di-handle. Untuk masalah pernikahan, gue malah sama sekali tidak memusingkannya. Karena segalanya sudah diatur dan disiapkan oleh Bunda dan Mama.
Omong-omong soal pernikahan, gue jadi teringat dengan Eva. Seminggu berlalu tanpa komunikasi sama sekali di antara kami. Jangan salah sangka ya, gue nggak kangen. Gue cuma merasa sedikit aneh karena seminggu lagi kita menikah, tapi sama sekali tidak pernah melakukan kontak apa pun.
Apa gue harus hubungin dia duluan? Jangan deh, nanti Eva malah besar kepala, dikira gue ada rasa sama dia. Ya udahlah, bodo amat. Nanti juga bakalan ketemu.
Drrrtt… Drrrtt….
Konsentrasi gue terpecah ketika merasakan getaran samar dari ponsel. Gue langsung meraih benda pipih itu dan mengernyit saat membaca nama Bunda di layar.
“Halo, Bun. Ada apa?”
“Bunda mau nanya, kamu nanti pulang kantor jam berapa, Val?”
“Sekitar jam lima, Bun, kenapa?”
“Oh, ya udah kalo gitu. Nanti begitu pulang kantor, kamu langsung jemput Eva di rumahnya, ya. Kalian harus fitting baju pernikahan.”
“Fitting bajunya di mana, Bun?”
“Di butiknya Tante Sifa, Val. Kamu masih inget kan tempatnya di mana?”
“Masih kok, Bun.”
“Ya udah. Nanti jangan lupa jemput Eva.”
“Iya, Bunda.”
Gue menyeringai ketika meletakkan ponsel ke meja. Ternyata nggak butuh waktu lama buat ketemu sama calon gue itu. Firasat gue kenapa selalu bener begini, ya? Lama-lama gue bisa kerja sambilan jadi peramal kalo gini.
***
Hari ini berlalu dengan cepat. Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul lima lebih 15 menit. Gue langsung mematikan laptop dan membereskan barang-barang. Setelah siap, gue langsung melangkah dengan cepat keluar ruangan menuju lift.
Shit! Jangan sampai gue telat. Males gue kalo harus dengerin omelannya Bunda yang beruntun panjang itu.
Untunglah jarak antara rumah Eva dan kantor tidak terlalu jauh. Jadi, gue hanya perlu waktu setengah jam untuk sampai di rumah Eva.
Setelah memarkirkan mobil di pelataran rumah, gue langsung turun dan berjalan menuju pintu utama. Gue mengangkat tangan dan menekan bel. Tidak perlu menunggu lama karena beberapa detik kemudian pintu rumah terbuka dan menampilkan sesosok perempuan yang satu minggu lagi akan sah menjadi istri gue.
Duh, dengar sebutan istri kenapa jadi bikin merinding, ya.
“Buruan. Lama amat sih jemputnya.” Gue bahkan belum sempat mengucap salam, tapi Eva sudah mengomel lebih dulu.
Gue menghela napas pelan dan menyahut dengan santai. “Kerjaan gue banyak, Dodol!”
“Bodo amat, gue nggak peduli. Udah ah, buruan.” Eva kembali menghadap ke belakang dan bergerak menutup pintu. Gue sudah hendak melangkah menuju mobil, namun niat gue itu terhentikan karena teringat sesuatu.
“Eh bentar, gue pamit sama ortu lo dulu.”
Suara decakan kesal terdengar keluar dari mulut Eva. “Nggak usah. Mereka udah di butik.”
Gue hanya mengangguk kaku. Ketus banget sih cewek ini!
Gue akhirnya melanjutkan langkah menuju mobil. Setelah kami berdua memasang seat belt, gue menekan pedal gas dan mengendarai mobil menuju butik Tante Sifa. Hampir sejam kemudian akhirnya kami sampai di tempat tujuan. Gue dan Eva berjalan bersisian memasuki butik.
“Akhirnya calon pengantin sampe juga.” Suara Bunda menjadi penyambut kedatangan kami. Gue tersenyum sekilas seraya melangkah mendekati Bunda.
“Langsung aja yuk, dicobain pakaiannya,” ujar Tante Sifa yang menduduki sisi sebelah Bunda.
Gue menoleh kepada Eva lalu serempak mengangguk. Setelahnya, kami berpisah memasuki ruang ganti masing-masing.
Karena gue cowok, jadi pakaian yang gue kenakan tidak seribet milik cewek. Dan tentunya, gue hanya memerlukan waktu yang singkat untuk mengenakannya. Setelah selesai dan mematut diri sejenak di cermin, gue langsung membuka pintu kamar pas dan menunjukkan penampilan ini kepada keluarga gue.
“Anak Bunda ternyata ganteng banget, ya.” Bunda yang pertama kali memberi komentar. Gue hanya meringis malu sambil menggaruk kepala yang tak gatal.
“Ya jelas dong ganteng, siapa dulu Ayahnya.” Komentar kedua berasal dari Ayah yang kini berdiri di samping Bunda.
“Kalo ganteng aja disamain sama Ayah. Coba kalo jelek, pasti disamain sama Bunda.” Bunda memprotes ucapan Ayah, membuat gue terkekeh geli.
Wajah Ayah berubah panik. Ia langsung melingkarkan tangannya pada bahu Bunda. “Iya-iya, Ayah salah, Bun. Valdi ganteng gara-gara campuran kita berdua.”
Memperhatikan mereka membuat gue menggeleng geli. “Astaga, perasaan yang mau nikah kan Valdi, kenapa kalian berdua yang mesra-mesraan begini, sih?”
“Ooo, jadi anak Ayah ceritanya iri, ya? Nggak sabar pasti mau mesra-mesraan sama calon istrinya,” goda Ayah. Gue langsung memutar bola mata kesal.
Sebelum gue melemparkan penyangkalan, Om Deni, calon mertua gue, sudah bersuara terlebih dahulu. “Tenang, Val. Bentar lagi kayaknya Eva keluar.”
Tepat setelah Om Deni selesai berucap, pintu kamar pas yang lain kini terbuka.
Yang bisa gue lakukan begitu mata gue menangkap penampilan Eva hanyalah menganga takjub. Eva kini mengenakan kebaya berwarna putih berpotongan pas badan. Kebaya itu mempertontonkan lekuk tubuh Eva yang berhasil membuat gue menelan ludah.
Eva… ternyata cantik juga, ya. Diam-diam, sebersit rasa bangga muncul di dalam hati gue melihat perempuan itu.
“Mulutnya jangan dibuka lebar-lebar begitu, Val. Entar kalo laler masuk kan berabe, kamu bisa keselek. Udah sana, berdiri di samping Eva, biar Bunda fotoin.” Ucapan Bunda berhasil membuyarkan lamunan gue. Gue langsung mengubah ekspresi wajah gue kembali ke mode datar.
“Gimana? Lo pasti terpesona kan sama gue? Sampe melongo gitu tadi.” Eva berbisik ketika gue sudah berdiri di sampingnya.
Gue mendengus dan menatap datar Eva. “Nggak usah geer. Gue cuma takjub sama bakatnya Tante Sifa bikin baju. Bisa ngubah itik buruk rupa kayak lo jadi angsa.”
Mata Eva melotot tidak terima. Ia menyikut kuat perut gue. “Sialan lo!”
Gue mengaduh akibat sikutannya. “Buset, kuat juga ya tenaga lo. Kalo di kasur kuat juga, nggak?” goda gue yang langsung dihadiahi injakan kuat di kaki.
“Dasar manusia salju m***m!”
Gue kembali mengaduh sambil menunduk untuk mengelus kaki. “Sakit, Va!”
“Ayo, Valdi sama Eva pose yang bagus,” ucap Ayah membuat gue kembali menegakkan tubuh. Gue menormalkan ekspresi dan bergerak merangkul bahu Eva.
Gue mengulum senyum saat merasakan tubuh Eva menegang. Namun, kesenangan gue itu harus cepat berakhir karena selanjutnya Eva bisa mengimbangi dengan merangkul pinggang gue.
“Ya ampun, udah serasi begitu. Ayo, senyum!” Ayah kini sudah mengarahkan kamera ponselnya kepada kami.
“Jangan lupa sama perjanjian kita. Siapa yang jatuh cinta duluan, harus melakukan apa pun yang diminta sama pemenangnya.”
Gue sedikit mengerutkan kening saat mendengar Eva yang tiba-tiba mengingatkan gue mengenai hal itu. Gue kemudian menoleh menghadapnya dan tersenyum jahil. “Kenapa lo ngebahas ini lagi ? Jangan-jangan... lo mau menyatakan cinta sekarang ya, Va?”
Ekspresi Eva berubah sebal. “You wish! Udah ah, senyum sono!”
Gue langsung menghadap ke depan dan menampilkan senyum tampan gue.
“Satu… dua… tiga…!”
Ayah melihat hasil potretannya dengan senyum puas sebelum kembali mendongak dan menatap kami. “Nah udah, sekarang kalian boleh ganti lagi.“
Kami berdua mengangguk berbarengan. Dan seperti tadi, kami berpencar memasuki kamar pas masing-masing untuk mengganti pakaian. Di dalam, gue mengulum senyum saat teringat kejadian tadi.
Eva, Eva, gue jamin, gue yang akan jadi pemenangnya. Perempuan mana sih yang bisa tahan dengan pesona seorang Valdi Dirga Putra?
Just wait and see, Eva.