Johnathan_2

1485 Words
Casey masih berusaha menarik dirinya meskipun pelukan lelaki itu semakin erat. Dia menggunakan tangannya untuk memberi jarak di antara mereka. “Lepaskan aku, sialan.” “Kau sendiri yang menciumku lebih dulu dan membangunkanku. Kau harus bertanggung jawab untuk kesalahanmu.” “Aku tidak sengaja menciummu! Kakiku tersandung—“ Lelaki itu langsung melepaskan pelukannya pada pinggang Casey membuat Casey terjatuh ke belakang. Tubuh Casey seperti dihempas saat mendarat di atas pasir. Ringisan kecil itu terdengar dari bibirnya. Casey bangkit berdiri sedangkan lelaki itu bangkit duduk. “Apa-apaan ini?! Apa kau tidak bisa bersikap lembut pada seorang wanita? Kau membuatku terjatuh!” "Untuk apa aku memelukmu jika kau tidak sengaja menciumku? Tadinya aku ingin mengajakmu ke hotel untuk melanjutkannya." Jawaban lelaki itu mampu membuat Casey emosi. Dia menatap tajam pada pemilik bola mata amber yang duduk di depannya. Lelaki itu memasang wajah datar seolah ucapannya bukanlah hal penting. “Apa ciuman itu membuat kepalamu tidak bisa berpikir normal?” tanya Casey dengan nada menyindir, melakukannya seperti yang lelaki itu lakukan beberapa menit yang lalu. “Apa ada masalah?” tanya lelaki itu masih dengan nada datar. Casey menggulingkan bola matanya membuat guratan pada kening lelaki itu tampak jelas saat menatapnya. Merasa tidak senang ada yang menggulingkan bola mata di depannya, lelaki itu mencengkeram lengan Casey dan menariknya. Tubuh Casey kembali terdorong ke depan. Kedua tangan Casey memegang pundak lelaki itu untuk menahan dorongan supaya bibirnya tidak mendarat di tempat sebelumnya. Dia mengernyitkan keningnya saat merasa sepasang lengan kembali menahan tubuhnya untuk berdiri tegap.   ‘Aku tidak suka jika ada seseorang menatapku seperti itu. Jangan melakukannya lagi jika kau tidak ingin aku membalas ciumanmu itu di sini.” Tubuh Casey mematung kaku merespon ucapannya. Kelopak matanya terasa sangat berat saat dirinya ingin mengedipkan mata. Sorot mata lelaki itu seolah mengunci pandangannya. Ucapan lelaki itu seperti sengatan listrik yang mampu menggetarkan sesuatu yang ada di dalam diri Casey. Deru napas hangatnya menyapu permukaan bibir Casey yang hanya berjarak tidak lebih lima senti. Kalimat lelaki itu terdengar v****r di telinga Casey. Tapi, kenapa tubuhnya merespon ucapan lelaki itu? Untuk pertama kali dalam hidup seorang Casey Odom, dirinya merasa sesak napas saat jantungnya dipompa cepat. Nada suara yang sangat pelan namun tegas itu mampu membuat Casey tidak bisa membalas ucapannya. “Mr. Jonathan Myles.” Lelaki yang bernama Jonathan tersebut melirik ke arah belakang Casey. Dia melihat seorang pria menghampirinya. Pria itu memakai setelan jas lengkap. “Selamat pagi, Mr. Jonathan Myles,” sapa pria itu dan sedikit melirik ke arah Casey. Casey belum menyadari jika ada orang lain yang berdiri di antara mereka. Kedua telinganya seolah tuli. Semua indra dalam tubuhnya seperti kehilangan fungsinya. “Ada apa?” tanya Jonathan. “Ayah Anda, Mr. Darryl Myles sudah menunggu Anda di hotel,” lapor Enrique Stein, lelaki yang menjadi tangan kanan Jonathan. Bola mata Jonathan kembali tertuju pada Casey. Dia melepaskan pelukannya pada pinggang wanita itu dan bangkit berdiri. Casey belum sadar dari lamunannya saat Jonathan meninggalkan dirinya begitu saja. Jonathan melangkahkan kakinya menjauh dari Casey diikuti Enrique dari belakang. Mereka berjalan menuju sebuah hotel yang letaknya tidak jauh dari pantai tersebut. “Cari tahu tentang wanita tadi,” perintah Jonathan. “Wanita yang mana, Sir?” Pertanyaan Enrique membuat Jonathan menghentikan langkahnya tiba-tiba. Dia melirik tajam pada Enrique, lelaki yang memiliki usia 10 tahun lebih tua darinya. Tiba-tiba saja Jonathan merasa pertanyaan Enrique menyindir dirinya. Wanita yang mana? Siapa saja pasti akan merasa tersindir dengan kalimat itu? Bukan sepenuhnya kesalahan Enrique jika mengingat apa yang Jonathan lakukan bersama sederet wanita yang kerap kali hadir di sekelilingnya. “Kau menyindirku?” tanya Jonathan dengan tatapan mengintimidasi. “Maafkan saya, Sir,” Enrique langsung menundukkan kepalanya. Jonathan mendesah kasar. Dia tidak bisa marah pada Enrique. Lelaki itu sudah seperti ayahnya sendiri. Enrique yang menemani dirinya semenjak Jonathan menyandang nama Myles di belakang namanya. “Cari tahu tentang wanita tadi yang bersamaku di pantai,” Jonathan mengulangi perintahnya sedikit lebih jelas. “Baik Sir,” jawab Enrique dan mereka melanjutkan langkahnya. Mereka berdua sudah sampai di hotel tempat Jonathan tinggal sejak tiga hari yang lalu. Jonathan membuka pintu kamar. Pandangannya langsung tertuju pada sosok laki-laki paruh baya yang melirik ke arahnya. “Nathan,” panggil Darryl dan menghampiri putranya. Dia memeluk Jonathan. “Ada apa Ayah? Apa ada hal penting sampai membuat Ayah datang kemari?” tanya Jonathan saat pelukan ayahnya terlepas. “Kau sudah lima belas tahun berada di Jerman. Ayah sangat merindukanmu, makanya Ayah langsung datang kemari,” jelas Darryl. Dirinya langsung ingat sesuatu membuat bibirnya terbuka untuk melanjutkan ucapannya, “Apa kau mengalami kecelakaan saat datang kemari? Enrique memberitahu jika mobilmu rusak.” “Bukan masalah Ayah. Aku tidak apa-apa,” jawab Jonathan. “Baiklah. Jangan terlalu lama tinggal di hotel. Ayah akan menyiapkan apartemen untukmu—“ “Tidak perlu Ayah, Enrique sudah melakukannya,” cegah Jonathan. “Kalau begitu jangan lupa mengunjungi rumah. Aku yakin ibumu pasti merindukanmu juga.” Jonathan menarik ujung-ujung bibirnya membentuk senyuman. Dia menganggukkan kepalanya. “Nanti aku pasti akan datang menjenguk mereka.”   “Ayah akan menunggu satu minggu sampai kau siap bekerja di perusahaan yang ada di sini. Kau bisa bekerjasama dengan Philip. Apa Philip tahu kau sudah pulang?” “Belum. Aku belum mengabarinya,” jawab Jonathan. Darryl menganggukkan kepalanya tanda mengerti. Dia menepuk pundak Jonathan, “Ayah harus pergi sekarang,” pamitnya. “Iya Ayah,” balas Jonathan. Senyum di wajah Jonathan mulai memudar saat bayangan Darryl sudah menghilang. Dia menarik napas panjangnya dan menenggak segelas air putih yang ada di meja. Sedangkan Enrique hanya diam memperhatikan Jonathan yang terlihat menahan emosinya.   “Saya akan menyiapkan sarapan—“   "Tidak perlu," potong Jonathan dan menatap Enrique, "Aku ingin istirahat sejenak," ucapnya dan langsung mendapatkan anggukan dari Enrique.   Enrique berjalan keluar kamar. Dia menutup pintu kamar hotel tersebut. Saat kakinya baru melangkah, dia langsung berhenti karena mendengar suara benda dibanting dari dalam kamar.   Lelaki itu menatap nanar dinding pintu yang menjadi pembatas dirinya dengan Jonathan. Enrique tahu jika Jonathan sudah menahan amarahnya sejak beberapa menit yang lalu saat bertemu dengan Darryl.   ~   Casey mengerjapkan mata beberapa kali saat kesadarannya perlahan kembali. Dia memperhatikan sekeliling dan tidak menemukan lelaki yang dia cari. Sosok lelaki itu tidak bisa di jangkau oleh matanya.   "Di mana dia? Apa dia meninggalkanku begitu saja? Tanpa mengucapkan maaf dan sebagainya?!" gumam Casey, kedua lengannya berkacak pinggang.   Pandangan Casey mengelilingi tempat itu dan masih tidak menemukan lelaki itu. Merasa enggan lama-lama di sana, kedua kakinya bergerak ke arah lain. Namun, tak lama kemudian dia kembali menghentikan langkahnya saat ponsel di saku celana pendeknya itu berdering.   "Iya," jawab Casey saat menerima panggilan tersebut sembari melanjutkan langkahnya.   "Aku ada di pantai Venice. Kau di mana?"   Apa? Venice? Bukankah itu pantai yang saat ini di pijak oleh Casey? Casey kembali menghentikan langkahnya. Tatapannya was-was memperhatikan seliling.   "Halo? Cas?"   "Bukankah itu Casey?" tanya Bryce Roth, kekasih Charmaine.   Bersamaan dengan Charmaine mengikuti arah telunjuk kekasihnya, bersamaan itu sepasang bola mata Casey menemukan mereka. Casey membelalakkan kedua matanya melihat Charmaine tampak bahagia menemukan dirinya.   Perlahan tangan Casey lurus ke bawah saat Charmaine berlari ke arahnya dan memeluknya.   "Aku merindukanmu," kalimat yang biasa Casey dengar saat Charmaine bertemu dengannya di luar kantor.   "Aku juga," balas Casey diiringi senyumnya.   "Kau sendirian?" Charmaine memperhatikan sekeliling Casey, "Di mana Drew?"   Dia sudah kupecat menjadi kekasihku, batin Casey. "Aku sendirian. Menghabiskan waktu libur sendirian itu lebih enak," jawab Casey mencoba mencari alasan supaya Charmaine tidak bertanya mengenai kekasih.   Charmaine mengajak Casey untuk ikut makan. Mereka bertiga melenggang menuju sebuah kedai makanan siap saji yang mempunyai tempat cukup luas. Charmaine meminta Casey untuk memesan makanan sedangkan dirinya dan kekasihnya menunggu Casey di meja mereka.   "Aku akan datang besok."   Casey mengernyitkan keningnya mendengar suara berat dari arah belakang. Dia mengenali suara itu meskipun baru sekali mendengarnya. Bukankah pemilik suara itu adalah...   Dalam hitungan detik Casey langsung membalikkan badannya. Pandangannya kembali dipenuhi oleh sosok lelaki bermata kuning tembaga. Nampaknya Jonathan tidak menyadari jika wanita di depannya adalah Casey. Dia masih menundukkan tatapannya memperhatikan layar ponselnya.   "Nona, Anda ingin memesan apa?" tanya pelayan saat seseorang yang berdiri di depan Casey sudah pergi sehingga Casey berdiri di antrian pertama.   Casey masih diam memperhatikan lelaki itu hingga perlahan Jonathan mengangkat tatapannya. Mereka saling menatap hingga Jonathan melangkah ke depan membuat Casey reflek memundurkan langkahnya.   Punggung Casey sudah menabrak dinding meja yang setinggi satu meter. Jonathan mengulurkan satu tangannya ke depan sedangkan tatapannya menatap ke dalam bola mata Casey yang berwarna sebening lautan, sebuah tempat yang paling Jonathan benci.   "Grilled Breakfast Sandwich, Ny Style Cheesecake, and Alkalizer," ucap Jonathan pada pelayan saat tatapannya melirik ke arah menu yang terpasang di atas.   "Kau belum meminta maaf padaku."   Jonathan melirik ke arah Casey. Dia tersenyum tipis, "Aku kira bibirmu sudah tidak bisa berbicara lagi."   "A-apa?"   Lagi-lagi Casey merasa lelaki itu menjatuhkan harga dirinya. Tidak dapat berbicara? Memang benar dirinya merasa aneh setiap kali melihat Jonathan. Lelaki itu mampu membuatnya diam seperti patung.   Tubuh Casey terasa kaku saat sepasang bola mata serigala itu menatapnya. Entah sejak kapan pula Casey merasa bibirnya gatal setiap kali melihat tatapan itu. Apa efek ciuman sekilas itu mampu memperngaruhi dirinya?   Itu bukan ciuman pertama untuknya. Tapi, kenapa respon tubuh yang ia dapatkan lebih menakutkan dari saat pertama kali bibirnya bersentuham dengan pria lain?   "Untuk apa kau menyuruhku meminta maaf? Bukankah seharusnya kau yang meminta maaf padaku karena sudah..." Jonathan sengaja menggantungkan ucapannya membuat Casey mengernyitkan kening.   Jonathan menyapu permukaan bibir Casey menggunakan ibu jari dengan pelan membuat tubuh Casey kembali bereaksi. Sentuhan jari lelaki itu mampu membakar tubuh Casey membuat aliran darahnya mengalir cepat seiring jantungnya yang memburu.   "Kau yang menciumku, untuk apa aku meminta maaf padamu? Kecuali jika," sapuan lembut itu membuat Casey reflek menutup matanya, "aku menciummu," bisik Jonathan saat bibirnya terlepas dari bibir Casey.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD