Di saat matahari mulai tenggelam dan langit perlahan menggelap. Kelap kelip cahaya mulai bermunculan. Gemerlap yang mengalahkan kilauan bintang di langit, hingga manik-manik angkasa itu pun lelah dan enggan lagi menampakan diri.
Lampu-lampu ibukota mulai menggantikan teriknya sinar mentari. Mereka menyala berwarna-warni dan memancarkan hawa panas yang sama.
Ketika waktu berjalan semakin larut dan lampu-lampu kendaraan tidak lagi padat, disaat itulah kelap kelip lampu neon bersorak meramaikan bangunan-bangunan di tepi jalan dan hotel-hotel untuk menyatakan bahwa mereka telah membuka gerbang bagi siapa pun yang rindu dan haus akan panas dinginnya wajah malam ibu kota.
Salah satu bangunan bercat hitam kelam dengan tema district hanya memasang sebuah lampu neon bertuliskan "Hangov" dengan model sedikit abstrak. Namun orang-orang malam sudah tau itu adalah tempat asik untuk mencari kesenangan dan menghabiskan uang tanpa guna. Bagunan hitam itu menjadi cover elegan dengan sentuhan minimalis untuk sebuah club bar kaum jetset Jakarta.
Di dalam bar yang bising, remang, dan gemerlap itu, seorang gadis dengan rambut dicepol tinggi ke atas sibuk mengantarkan minuman dan cemilan dari meja satu ke meja lainnya dan membersihkan meja ini dan meja itu.
Nana, terbalut seragam waiters berupa kemeja putih dengan luaran rompi hitam dan rok hitam selutut nampak biasa saja, sama seperti waiters lainnya. Ia terpaksa meminjam pantofel dengan hak tinggi milik Tari, karena sepatu bagus yang ia miliki hanya sebuah flatshoes yang tidak dipebolehkan untuk dikenakan dalam pekerjaan ini.
Nana sudah hafal bagaimana tabiat orang-orang kelas atas dan cara mereka menghibur diri. Ya, seperti ini.. Mabuk, menari, one night stand. Intinya adalah segala sesuatu yang bisa membuat uang mereka tercucur tanpa guna. Padahal masih banyak cara mulia yang bisa dilakukan untuk mencurahkan uang, contohnya seperti beramal.
Terkadang sosok Nana merasa jijik pada orang-orang ini, namun apa daya ia masih membutuhkan mereka untuk mengisi dompetnya yang sangat kurus bagai mengidap anorexia. Namun malam ini bukanlah malam biasa. Karena tanpa ia tau, ada satu hal yang akan dengan hebat merubah hidupnya.
☘☘☘☘☘☘☘☘☘☘☘☘☘☘☘☘☘☘☘☘☘☘
Sekitar pukul dua belas tengah malam, keadaan club semakin riuh dan ramai, ditambah banyaknya manusia mabuk di dalam tempat nista itu.
Di bagian tempat duduk VIP yang tidak terlalu bising oleh suara musik, terdapat sebuah sofa merah berbentuk setengah lingkaran dengan meja marmer di tengahnya. Tiga orang pria duduk disana ditemani beberapa wanita penghibur.
Bisa dilihat dari pakaian dan cara mereka duduk, pria dengan rambut cepak di tengah adalah bosnya sedangkan dua pria lainnya adalah bodyguard atau siapa pun yang bekerja dan tunduk padanya.
Kali ini Nana mendapat giliran membawa minuman ke meja mereka dari meja bartender. Ia berjalan dan memindahkan beberapa gelas minuman keras dari nampan yang ia bawa ke atas meja marmer dingin yang sudah penuh oleh botol-botol dan gelas kosong bekas minuman keras. Saat tengah melakukan tugasnya dalam diam, tiba-tiba dua pria tinggi menghampiri meja tersebut.
"Richard.." Sapa salah satu pria itu. "Tidak kusangka bisa bertemu denganmu disini."
Pria cepak dengan leher penuh tato yang duduk di paling tengah itu memasang wajah tidak suka sekaligus sedikit terkejut melihat dua pria yang tanpa diundang menghampiri mejanya. Ia tersenyum sinis.
"Kenapa? Ada perlu apa kau kesini? Tidak punya meja? Kehabisan LC?"
Mendengar hal itu, salah satu pria tinggi yang berwajah maskulin dengan kedua lengan penuh tato tertawa kecil.
"Bagaimana mungkin seorang Frans Bahradja bisa mengalami hal semacam itu?" Sombongnya.
"Harusnya kau sudah tau kenapa aku datang kesini. Kau punya hutang, dan hutang itu harus dilunasi. Paham?" Jelasnya melanjutkan, dengan suaranya yang berat dan serak.
Ia mendapat tatapan tajam dari pria itu. Ia merasa sangat senang melihat Richard mulai mendidih dengan mudahnya. Bocah itu memang bodoh, dia selamat di dunia ini karena ayahnya kaya dan berkuasa.
"Jangan macam-macam kau disini. Hutang apa?!" Tanya Richard dengan nada tinggi. Ia malu pada gadis-gadis yang mengelilinginya dan sebentar lagi teman-temannya juga akan datang. Tapi dua pria berengsek ini muncul dan membuat kekacauan.
"Masih pura-pura bodoh ternyata.. Atau kau memang benar-benar bodoh sungguhan? Sini kuperjelas. Data ayahmu, yang ia janjikan dengan atas nama putra bungsunya, Richard Pradewa. Dia akan memberikannya kepadaku demi menyelamatkan perusahaan apparel menyedihkannya yang hampir bangkrut."
Cklek!
Salah satu bodyguard Richard sudah berdiri tegap dengan tangan kanan lurus menodongkan pistolnya ke arah Frans. Namun gerakannya tidak kalah cepat dengan Tora yang sepersekian detik telah membalas menodongkan pistol padanya juga.
Richard nampak bingung. Ia menatap penuh tanya pada Remi, bodyguard pribadinya yang paling senior yang adalah utusan dan salah satu orang kepercayaan ayahnya. Remi tidak memperdulikan bocah itu, ia terus menatap Frans dengan tajam seakan siap membuat lubang di tenggorokan pria itu jika ia berani membuka suara lagi. Tapi Frans bergeming tak perduli. Ia tidak takut pada apa pun di dunia ini.
"Jadi benar-benar tidak tau ya?" Tawa Frans jenaka. Di satu sisi ia merasa iba juga dengan bocah bernama Richard itu.
"Tutup mulutmu! Kita punya perjanjian." Ujar Remi.
"Iya, memang ada perjanjian. Perjanjian yang sudah batal karna kalian melanggar salah satu peraturannya!" Balas Frans menekan nada suaranya. Ia tidak mentoleransi siapa pun yang berani merendahkan dirinya maupun kelompoknya dengan cara apa pun.
"Kalian yang memutuskan perjanjiannya secara sepihak. Kami sudah mengajukan banding!" Remi membela diri.
"b******k! Jangan memperpanjang masalah! Aku tau kelompok kalian main curang. Karna itu kalian berusaha kabur, karna sudah tau salah dan masih pura-pura sok benar. Bodoh sekali.. Kalian pikir kalian ini berhadapan dengan siapa, hah?!"
Di bawah mereka, sorang waiters yang bernama Nana berlutut di samping meja dengan wajah tertunduk, sibuk memindahkan botol-botol dan gelas bekas dari meja tersebut ke atas nampannya. Orang-orang kaya gila di atasnya sedang saling menodongkan pistol, pasti sebentar lagi akan terjadi kekacauan disini. Selagi ia tidak bisa melihat wajah mereka dan mereka juga belum sempat melihat wajahnya, lebih baik ia segera kabur.
'Tapi kenapa sampah di meja ini tidak habis-habis, sih?!' Keluh Nana dalam hati.
Sekilas Nana melirik para LC sexy yang meringkuk ketakutan tanpa tau harus berbuat apa. Ia memberi isyarat pada mereka untuk cepat lari dari keadaan ini.
Jangan sampai terseret ke dalam masalah kaum elite gila, hidupmu yang sudah susah akan bertambah repot.
Setelah selesai membereskan meja, dengan setenang dan sestabil mungkin, Nana melangkah pergi dengan nampan penuh sampah seakan tidak melihat dan mendengar apa pun.
"Apa yang ia maksud, Rem? Jelaskan padaku sekarang, berengsek!" Cecar Richard marah.
"Sebaiknya kau diam jika masih mau hidup." Jawab Remi dingin tanpa sedikit pun menatapnya.
Richard mematung menyaksikan bodyguard sekaligus asisten yang selama ini menghormati dirinya kini berani berbicara kurang ajar tanpa rasa hormat sedikit pun seperti itu.
"Ya.. Sebaiknya kau diam saja, anak bawang." Ejek Frans sengaja memancing amarah pria dengan emosi labil tersebut.
Pancingan Frans langsung dipatok begitu saja oleh Ricard. Pria kekanakan itu seketika mengamuk dengan meraih kerah jas Remi dengan kasar. Ia merasa dibodohi selama ini oleh ayahnya dan bodyguardnya.
Ternyata benar selama ini bahwa ayahnya tidak pernah menggap ia sebagai seorang anak. Jangankan pengakuan, ia hanya difasilitasi dan tidak mendapat sepeser pun harta warisan atau kuasa karena ia adalah anak dari wanita selingkuhan. Ia adalah anak haram yang disembunyikan dari media dan seluruh keluarga besar ayahnya.
*LC = Ladies Club / wanita penghiur di club malam
*Apparel = Pakaian / Busana