Frans (Langit)

1022 Words
Bab ini mengandung unsur 18+ Harap bijak dalam membaca dan sesuaikan dengan umur. **** Seorang pria gagah dengan setelan jas hitam legam melangkahkan kakinya mantap menyusuri lorong sebuah hotel bintang 5 terkenal di kawasan Jakarta. Suara sepatu mahalnya bergemelatuk menghantam karpet lantai hingga ia tiba di depan sebuah pintu kamar presidental suite. Di tangan kiri, ia menenteng sebuah koper hitam berbahan kulit buaya asli. Ia merogoh kantung dalam jasnya dan mengelurakan sebuah kartu berwarna silver metalik yang lalu ia tempelkan pada kenop pintu tersebut. Ketika pintu terbuka, ia melangkah masuk ke dalam ruangan besar yang berisikan interior mewah. Ia berjalan santai menuju ruang TV yang menyatu dengan dapur karena suite itu menerapkan desain open concept house. Samar-samar terdengar suara desahan beberapa wanita yang saling sahut menyahut. Namun ia tidak menghiraukan, seperti sudah tau dan sudah terbiasa akan hal itu. Ia sudah tiba di dapur dan meletakan koper kulit tadi di atas meja bar, dari sana ia menyaksikan pemandangan lumrah bagai makanan sehari-harinya selama bekerja pada pria itu. Ia menunggu, seperti biasa. Duduk diatas kursi bar putih sambil mengutak-atik laptopnya untuk meneruskan pekerjaan ini dan itu. Sedangkan pria yang sedang ditunggunya itu, sebenarnya tau bahwa ia telah datang, tapi tetap membiarkannya menunggu di sana. Earvin Frans Bahradja, seorang pria berusia 29 tahun yang lahir dengan sendok emas bersarang di dalam mulutnya. Di siang hari ia adalah seorang Direktur yang di hormati di sebuah perusahaan telekomunikasi terbesar se Asia Tenggara. Namun dimalam hari, diam-diam ia adalah seorang ketua mafia kelas kakap yang memiliki beratus klub malam, kasino ilegal, pensuplai minuman keras, dan prostitusi yang tersebar di kota-kota besar ASIA, termasuk yang paling banyak yaitu di Indonesia. Pria bernama Frans itu duduk di sebuah sofa kulit besar berwarna hitam dengan kondisi setengah telanjang, ditemani tiga wanita molek yang tubuhnya hanya tertutupi oleh helai-helai kain tipis yang tidak pantas disebut pakaian. Salah satu wanita itu berlutut di antara kedua kaki Frans, memberikan pelayanan terbaiknya disana. Sedangkan dua yang lain memberikan pelayanan lain bermodalkan tubuh mereka. Pria itu benar-benar menikmati nikmatnya uang dan indahnya dunia. Tidak lama, matanya yang semula terpejam akhirnya terbuka menampakaan betapa tajam tatapan yang ia miliki. Mungkin birahinya akhirnya memuncak hingga dengan cepat dan kasar ia melampiaskannya pada salah satu wanita yang paling dekat dengan gapaian tangan kekarnya yang dipenuhi tato. Wanita malang tersebut memekik terkejut dan terdengar lenguh kesakitan yang cepat-cepat harus ia tahan dan telan kembali. Ia harus profesional, karena bayaran yang ia terima sangat besar dan ia tau siapa kliennya saat ini. Jika ia membuat pria itu marah, entah apakah besok ia masih bisa melihat matahari terbit lagi atau tidak. Dan bagi pria berengsek yang beruntung itu, ia benar-benar tidak menganggap wanita-wanita penghibur tersebut sebagai manusia, sehingga dengan sesuka hati berlaku semena-mena pada mereka. Setelah puas melampiaskan birahinya bahkan tanpa pengaman, ia melepaskan dirinya dari wanita berambut hitam bergelombang itu. Lalu ia menerima celana boxernya yang sudah diambilkan oleh salah satu dari ketiga wanita itu lalu ia kenakan. Tanpa menoleh, ia melangkah meninggalkan mereka yang segera melangkah ke salah satu kamar dengan cepat agar tidak mengganggu kegiatan sang raja iblis. Bahkan salah satu diantara mereka yang adalah korban keganasan Frans, masih terseok-seok langkahnya. Tapi apa perduli? Mereka sudah dibayar.. "Apa yang kau bawa?" Tanya Frans, melangkah menuju meja bar dan duduk di kursi putihnya. "Tujuh puluh juta." Tora membuka koper kulit tadi dan menampakan lembar-lembar uang berwarna merah muda cerah yang tertata rapih dan padat. "Aku tidak perduli uangnya. Data, Tora. Data. Dimana datanya?" Ia menatap tajam, suaranya menahan sabar. Tora menelan ludah susah payah. Ia tau ia akan segera menemui ajalnya jika itu adalah seorang Frans tiga tahun yang lalu. Entah kapan monster itu akan kembali bangun, ia bahkan tidak berani membayangkannya. "Maaf, bos. Aku gagal mendapatkannya." Cih! Frans terkekeh sinis. Ia sudah menduga hal itu. "Jika ingin sesuatu dilakukan dengan benar, sebaiknya kerjakan sendiri. Benar kan?" Tora hanya terdiam. Frans mengambil ponselnya dan mengutak-atik dengan malas "Jadi?" "Malam ini tuan muda mereka akan mengadakan pertemuan kecil dengan teman-temannya di club. Aku sudah melacak bahwa data itu selalu dibawa oleh asistennya yang paling senior dan selalu mendampinginya. Kita bisa mencegat mereka disana dan merebut data itu." Terang Tora. "Dari caramu bicara sepertinya kau percaya diri sekali. Memang club mana yang kau maksud?" "Hadiahmu untuk si kakek tua." Jawabnya sambil tersenyum penuh arti. Frans tertawa kecil, menunjukan sunggingan bibirnya yang lebar, hingga lesung pipi yang sudah ada sebelumnya menjadi melosok sangat dalam "Jadi.. Benih yang ku buang akhirnya menghasilkan buah juga. Tidak sia-sia aku membuang club itu." Tora mengelurakan sebungkus kotak rokok dari dalam jas kemejanya dan mengeluarkan dua batang. Yang satunya ia berikan pada Frans. Mereka sama-sama menyulut puntung tersebut, menghisap, dan menghembuskan asapnya ke udara. "Kalau begitu kita ke sana nanti malam. Sebaiknya kau istirahat dulu agar tenagamu cukup nanti." Ucap Frans, sudah bisa memprediksi apa yang kira-kira akan terjadi kedepannya. Tora nampak mengerutkan alis "Sepertinya tadi aku melihat wanita-wanita itu masuk ke dalam kamar yang dari kemarin kupakai tidur." Ia melirik pintu kamar yang dimaksud. Sudah tiga hari ini ia tidur di sana selama Frans menginap di suite ini. "Ah.. Aku lupa bilang pada mereka jangan pakai kamar itu." "Yasudah. Tidak apa-apa. Dari tadi kau cuma main di sofa kan? Aku tidak mau tidur di kasur yang kotor dan bau parfum mereka." Ia menghembuskan asap dari mulutnya. "Manja sekali kau." Tawa Frans. Tiba-tiba pintu kamar yang dari tadi mereka bicarakan terbuka dan ketiga wanita tadi keluar dari sana. Kali ini dengan pakaian yang layak dan tas tangan dalam genggaman. Nampaknya mereka sudah akan pulang. "Bos.. Kami pamit pergi dulu." Ucap salah satu wanita yang memiliki wajah kebarat-baratan. Frans mengambil buku cek dan menuliskan sejumlah angka di tiga lembar kertas panjang itu dan membaginya pada mereka bertiga. "Pergilah." "Trimakasih, bos!" Ucap mereka serempak, lalu segera pergi. "Sadis sekali kau, wajah mereka sampai seperti mayat hidup begitu." Komplain Tora. Ia melirik jam tangannya dan menyadari sekarang sudah pukul tujuh pagi. Sedangkan ia memesan satu grup wanita itu tadi malam pukul sepuluh untuk melayani Frans. "Berisik. Aku mau mandi dulu." Frans mematikan bara rokoknya dengan menyulutkan ke asbak sebelum melangkah masuk ke dalam kamar utama. Sementara Tora hanya menggeleng heran.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD