Chapter 2

1114 Words
Al memasukkan mobilnya ke dalam sebuah rumah besar yang ada di pedalaman kota. Ia melihat rumah yang belum selesai dibangun tersebut. Al sedikit mengernyit. Entah kenapa kaptennya memilih bangunan yang ada di daerah terpencil seperti ini, padahal mereka sendiri memiliki markas. Apa orang-orang tak curiga dengan mereka nanti. Takutnya warga menganggap mereka sebagai bandar sabu. Al merinding seketika. Yang benar saja, pria setampan dirinya dikatai sebagai bandar sabu. Jangan sampai. Al selesai memarkirkan mobilnya. Ia melihat di sana tak hanya kendaraan milik dirinya saja, melainkan ada motor dan mobil rekan-rekannya yang lain. Namun ada satu mobil yang cukup asing baginya bahkan tak pernah ia lihat. Penasaran, Al akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam. Sesampainya di pintu masuk, Al melihat kapten Rendra duduk di sofa tamu dan di depan kapten Rendra ada sepasang orang tua paruh baya. "Oh, Al, kebetulan kamu sudah datang. Bisa ikut bicara sebentar!" ajak Kapten Rendra yang langsung diangguki oleh Al. Pria itu berjalan mendekati sofa dan duduk di sebelah kaptennya. "Ada apa kep?" tanya Al tanpa basa basi. Rendra berdecak. Inilah yang ia tak suka dari Al. Pria disampingnya ini tak tahu basa basi sama sekali. "Begini, ini tuan Bram dan Nyonya Tuti. Dia baru saja kehilangan anaknya yang meninggal karena bunuh diri." Al seketika menatap sepasang suami istri tersebut. Ia seketika ikut prihatin. "Mereka sudah meminta pihak sekolah menyelidiki kasus ini karena mereka mendengar desas desus, kematian anak mereka karena pembullian. Dan mereka merasa pihak sekolah sengaja menyembunyikan semua informasi dan juga pelaku." Al mengangguk paham. "Benar nak. Ibuk sudah tanya pihak sekolah namun seperti ada yang mereka sembunyikan." mata Tua itu mulai berkaca-kaca. Dan Al paling benci melihat seorang ibu menangis. Dalam otaknya, ia sudah menekankan jika tak akan membiarkan seorang ibu menangis. Apalagi menangis karena tersakiti. Ia pernah baku hantam dengan seorang anak yang ia temui saat belanja di warung kecil. Saat itu ia membeli minuman. Di sana ia melihat ada seorang anak laki-laki yang sedang beradu kata dengan ibunya dan kalian tahu? Apa yang anak itu permasalahkan? Anak itu meminta uang pada ibunya karena ingin membeli chip sebuah game judi online. Sungguh, saat kata-k********r dilontarkan anak itu pada ibunya, Al langsung menghampir dan menarik kerah baju anak tersebut dan mengangkatnya ke dinding. Ia begitu benci orang-orang yang kasar pada orang tua. Kembali pada situasi saat ini. "Jadi apa yang harus saya lakukan?" tanya Al kembali dan lagi-lagi tanpa basa-basi. "Saya minta kamu menyamar." ucap Kapten Rendra yang juga mencoba langsung bicara tanpa basa-basi. Al menatap kaptennya, "Jadi guru? Oke, saya--" "No no!!" Ucapan Al terhenti. Ia menatap heran kaptennya. Ia seketika memiliki firasat buruk. "Kamu akan menyamar menjadi siswa." "WHAT????? KEP, INI," "Ayolah Al. Ini perintah dari atasanmu." "Tapi Kep," "Tak ada tapi-tapian. Misi kamu setelah libur dua bulan ini adalah menyamar sebagai siswa di sana." Al mencelos menatap kaptennya. Ide gila apa ini? Menyamar sebagai siswa disaat usianya sudah dua puluh tujuh tahun? Bangku SMA bukan makanannya lagi. Ya Tuhan. ***** Al berjalan lesu. Ia menatap dirinya di cermin. Apa ini? Apa dirinya terlihat seperti anak kecil? Apa dirinya lebih cocok jadi anak sekolahan? Kenapa ia harus diperintahkan menjadi anak sekolah? Kenapa bukan gurunya saja. Al teringat lagi perkataan kapten dan kliennya tadi. Flashback "Untuk data kamu masuk ke sana, biar bapak yang siapkan." Al masih terdiam. Ia tak menyangka kali ini ia diminta menjadi anak SMA. Ia pikir menyamar jadi pemulung dan ikut kerumunan mereka untuk menangkap bandar sabu adalah hal yang paling amazing. Tapi ternyata ia salah. Menjadi anak SMA adalah hal yang paling gila yang ia alami. "Ibuk harap kamu bisa membantu kami. Kasihan anak kami." wanita itu kembali menangis. "Kami ingin anak kami meninggal dalam tenang. Kami ingin semuanya membaik. Dan agar tak terjadi lagi pembullian selanjutnya." "Kami harap kau mau membantu kami nak." FLASBACK OFF Al menatap langit malam di teras kamarnya. Wajahnya nampak gusar. Ia benci matematika, jika ia sekolah ,itu artinya ia harus bertabrakan dengan mata pelajaran yang satu itu. Al mengusap wajahnya kasar. "Ada apa?" Al melirik ke samping saat merasakan seseorang memukul pundaknya. "Eh papa. Ada apa pa?" Tanya Al pada Bastian. Bastian menggeleng pelan lalu ia menarik satu kursi yang ada di teras dan mendudukinya. Al pun mengikuti cara yang sama. "Kamu kenapa.? Dari tadi papa perhatikan, kamu seperti ada masalah." ucap Bastian yang menangkap situasi sang anak. Al tersenyum. Ia paham jika ia tak akan bisa menyembunyikan apapun dari papanya. Al menatap Bastian serius. Ia ingin meminta masukan dari pria tangguh di depannya ini. "Al bingung pa." ucap Al singkat. Bastian belum mau bicara. Ia ingin mendengarkan dulu apa yang akan anaknya katakan. "Al bingung soal misi Al kali ini." "Hari ini Al di panggil kapten Rendra. Ia ingin memberikan misi kembali pada Al." "Bagus dong." "Memang bagus pa. Apalagi kasus yang akan Rendra hadapi kali tentang pembullyan." "Terus kenapa? Kok kayak nggak suka?" "Bukannya nggak suka pa, tapi status Al itu lho." Bastian menyipit, "Ada seorang siswi yang meninggal karena bunuh diri. Penyebabnya karena bulli dari sekelompok orang di sekolahnya." Al berhenti sejenak. Ia menghela nafas malas. "Lalu?!" tanya Babas singkat. "Al diminta menyelinap masuk sekolah dengan menyamar jadi siswa di sana. Al males sekolah lagi pa. Papa kan tahu Al benci matematika." "Terus?" Babas hanya menjawab singkat. Al menatap papanya, jika sudah seperti ini, ia bisa menebak jika papanya sedang serius. "Hanya karena kamu benci matematika, kamu nggak bisa bantu orang?" "Pa--" "Al. Jujur, kamu terima di bagian ini papa senang banget. Banyak harapan yang papa sematkan untuk kamu, dan semua harapan itu sangatlah begitu besar.","Sekarang kamu dapat kasus tentang bully di sekolah, dan kamu nyerah hanya karena kamu diminta jadi siswa?" "Bukan itu pa, " "Lalu? Matematika?" Al mengangguk. "Memangnya kamu butuh raport lagi?" Boomm, Benar juga apa yang papanya katakan. Memangnya dirinya butuh raport lagi?. "Bayangkan jika posisi korban adalah keluarga kita. Dan Alya yang harus menanggung, apa kamu terima?!" Al seketika mengeram kesal, "Al bakal bunuh mereka semua." "Benar. Kamu pasti marah bukan? Begitu juga dengan mereka. Hanya saja mereka tak mampu mengungkap sendiri, karena itu mereka butuh bantuan kalian Dan mereka percayakan semuanya sama kamu untuk mengungkap kasus kematian anak mereka." Bastian mendekati anaknya, ia meraih jemari Al, "Ada harapan besar dari mereka untuk kamu Al. Mereka berharap kamu bisa membantu mengungkap semuanya." Al menatap lekat mata Babas. Papanya itu terlihat sangat berharap padanya. "Mereka berharap penuh padamu Al. Lakukan. Bayangkan jika orang tua itu adalah kami." "Pa." "Dibawah sumpah. Kamu menjalankan tugasmu di bawah sumpah." Al terdiam sejenak. Ia lalu menghela nafas panjang. Al berdiri dari duduknya dan berjalan masuk menuju tempat tidurnya dan duduk di tepian ranjang. Bastian mengikuti anaknya itu. Al ingin berkata lagi, namun Suara pintu kamar yang terbuka membuyarkan keseriusan keduanya. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD