Prolog

1228 Words
Malam yang sunyi diiringi gerimis dan rintihan seorang pria. Darah bercecer dimana-mana ketika lelaki itu berusaha menyeret tubuhnya menjauh dari gedung tua itu. Ia meremat perutnya berusaha menghentikan pendarahan akibat luka menganga di bagian ulu hatinya. Ia terus berteriak meminta pertolongan meski suaranya nyaris tak terdengar. Dia sekarat, tetapi ia tak ingin mati terlebih di tangan... Teng Teng Tubuh pria itu seketika menegang mendengar suara benda logam yang diketukan ke sebuah pagar besi. Ia semakin mempercepat langkahnya walau dirinya kesulitan menggerakkan kaki kirinya yang terluka. Teng Teng Suara itu kian mendekat, dan semakin lama semakin keras membuat lelaki itu kian merinding. Keringat dingin mengalir bercampur darah dari tubuhnya. Pandangan mata pria itu diliputi teror kala bunyi ketukan benda logam itu berganti dengan suara langkah kaki dan tawa kecil seseorang yang muncul dari kegelapan. "Halo pak tua, aku sungguh salut dengan usaha mu." Suara itu terdengar begitu renyah dan santai. Lelaki berstelan hitam dengan tundung kepala itu berjalan pelan sembari memainkan pisau di tangannya. Sebuah senyum manis terbit di bibirnya. "Tapi sayang sekali, aku menangkap mu." Pria paruh baya yang sekujur tubuhnya terluka itu menelan ludah. Ia sudah tak mampu berdiri akibat rasa sakit di kaki dan perutnya. "Tolong! Tolong ! Siapa pun tolong!" Pria itu berteriak putus asa. Ia terus menyeret tubuhnya kala sang pembunuh semakin mendekat. "Se.... Sebenarnya apa yang kau mau?" Pria paruh baya itu memberanikan diri bernegoisasi, "Uang. Aku bisa memberikan berapa pun yang kau minta." Sang pembunuh mengangkat sebelah alis. Perlahan, ia membuka tundung hitamnya. Dan sontak, mata pria paruh baya itu melebar kala melihat dengan jelas wajah sang pembunuh di depannya. "Kau~." Leon terkekeh. "Ya, pak tua. Ini aku. Apa aku terlihat butuh uang?" Leon menggeleng. "Aku hanya butuh..." Lambat-lambat ia menyeringai. "Kesenangan." Jantung pria tua itu seolah berhenti berdetak ketika mendengar kalimat itu. Pun dengan sikap lelaki di depannya yang terasa mengerikan. "Ma.... Maafkan aku!" Lelaki tua itu segera bicara cepat. Ia kemudian berlutut minta maaf. "Jika kau tersinggung dengan perkataan ku kemarin, aku minta maaf. Bu... Bukan maksud ku bertindak tak sopan. Ma... Maaf... Maafkan aku!" Pria tua itu tampak ketakutan. Tubuhnya gemetar. Dia tak mengira bahwa pemuda yang kemarin ia remehkan dan ia paksa untuk menjual tanahnya telah mendatanginya malam ini dan ingin membunuhnya. Sialan. Benar - benar sialan. "Maaf?" Leon tersenyum mencemooh menatap pria yang berlutut memohon pengampunannya. Pria paruh baya itu terlihat menyedihkan dan memelas. Sangat berbeda dengan pria tua yang mendatanginya kemarin yang terlihat arogan, angkuh dan berkuasa. Ahh... Ya, manusia bisa berubah dalam sekejap ketika diambang kematian. Sungguh lucu. "Tapi...." Leon menghela nafas pura - pura sedih. "Kenapa kau mencoba mengirim pembunuh untuk ku?" Mata pria tua itu sontak melebar. Ia mendongak tak percaya. Bagaimana dia bisa tahu? Apa pembunuh bayaran yang ia sewa telah dilenyapkan pemuda ini? Tidak. Tidak. Rasanya tidak mungkin. Dirinya jelas - jelas menyewa pembunuh profesional yang terkenal tidak pernah terkalahkan. Pemuda di depannya hanyalah pria biasa yang kebetulan memiliki sepetak tanah yang luas. Sialan. Apa anak buahnya membohonginya? Atau pembunuh yang dijuluki Tangan Maut itu tidak sehebat rumor yang berkembang di dunia gelap? Pria tua itu mengerutkan kening, bertanya-tanya apa yang terjadi meski saat ini wajahnya memucat didera ketakutan dan kemarahan terhadap anak buahnya yang tak becus membereskan seorang pemuda biasa. Dan kini malah dirinya yang diambang kematian. "Ahh... Kau pasti bertanya-tanya kenapa aku bisa tahu ya?" Tebak Leon mengamati ekspresi pria tua itu. "Sebelum menjawab. Biar aku ungkapkan mengapa aku tidak bersedia menjual tanah ku." Perlahan, Leon kembali mendekati pria itu. Sedikit membungkuk, ia berbisik. "Itu karena banyak mayat yang terkubur di sana." Senyuman Leon mengembang, "Dan aku, akan menguburkan mu disana." A... Apa? Pria paruh baya itu sontak menyeret tubuhnya cepat-cepat. Tak peduli perih di kaki dan ulu hatinya. Ia harus bergegas melarikan diri. Demi Tuhan, dia benar-benar dalam bahaya. "Tolong! Tolong!" ia kembali berteriak sekuat tenaga berharap seseorang ataupun anak buahnya mendengarnya. Jika tidak dia pasti akan mati mengenaskan. Disana Leon menatap geli. Ia masih terdiam membiarkan lelaki itu sekali lagi berteriak dan melarikan diri darinya. Setelah jaraknya cukup jauh, barulah Leon menggerakkan kakinya mendekat. Langkahnya begitu pelan tanpa terburu, menikmati hawa ketakutan yang korbannya pancarkan. "Tenanglah pak tua, aku tidak akan menyakiti mu." Gumam Leon sembari memainkan pisaunya. "Kau akan mati dengan tenang." Ucapnya sekali lagi. Lalu ketika dia mengacungkan pisaunya... DORR!! Sebuah tembakan mengenai bahu kanannya membuat ia jatuh terduduk serta pisau yang ia pegang terlempar jauh. Gerombolan orang berjas hitam yang tampak seperti bodyguard datang dan seketika menghampiri pria paruh baya itu. "Boss. Anda tak apa-apa?" Pria paruh baya itu seketika menarik nafas lega. Tatapannya sontak terfokus pada pemuda ingusan yang berniat membunuhnya. Raut pucatnya tadi seketika berganti dengan senyum kebahagiaan penuh kemenangan. Merasa aman lantaran para pengawalnya datang tepat waktu sebelum nyawanya melayang. "Kau pikir bisa membunuh ku dengan mudah?" Sunggihan mencemooh tertera di bibirnya. Pria paruh baya itu menggeleng mengejek. "Akulah bos di sini. Sebaiknya ucapkan salam perpisahan anak muda." Pria itu mendongakkan dagu sombong. "Karena sebentar lagi, akulah yang akan mengubur mu di tanah mu. Hahahaha" Di sana, Leon terdiam. Menunduk dalam. Lalu sebuah seringaian muncul di bibirnya. "Sebuah kesalahan." Gumamnya sembari melirik pisaunya yang terlempar jauh. Perlahan, ia berdiri. Ekspresinya tampak tenang meski empat pria menodongkan pistol ke arahnya. Matanya berkilat menatap pria di depannya. "Kau tidak penasaran mengapa aku bisa tahu kau menyewa pembunuh?" Leon merogoh saku pakaiannya. Mengeluarkan empat buah koin. Ia kemudian tersenyum lambat - lambat. "Itu karena.... Akulah sang tangan maut." Lalu dengan secepat kilat dan tak terduga. Ia melempar koin tersebut tepat ke dahi empat anak buahnya. Koin itu secara tak terduga melesat, menggores lalu menembus kepala orang-orang itu layaknya sebuah peluru. Lubang menganga seperti garisan celengan tercetak jelas di dahi mereka. Darah sontak menyembur membasahi tanah. Sementara pria tua itu mendelik terkejut dengan apa yang terjadi. *** "Ka... Kau..." Tubuh pria tua itu bergetar sampai tak bisa berkata-kata. Ia menatap ngeri kepada empat pengawalnya yang tergeletak tak bernyawa dengan koin menembus kepala mereka. Kesombongannya lenyap sudah. Wajahnya seketika memucat bahkan lebih pucat dari sebelumnya. Ia mendongak menatap pria bermata cokelat itu dengan penuh ketakutan. Kali ini, tidak ada senyum ramah yang pemuda itu tampilkan. Yang ada ialah ekspresi dingin berbalut senyum keji serta mata berkilat kejam disana. "Sebenarnya aku tak ingin melakukan ini." Leon merapikan pakaiannya dan mengelap darah di bahunya yang terserempet peluru. Ia lalu melangkah mendekati pak tua yang saat ini semakin gemetar. "Kau membuat ku marah." Desis Leon. Dengan gemetar, pria itu menyeret tubuhnya menjauh. Namun hal itu sia-sia, Leon sudah dua langkah di depannya. "Biar aku beritahu, kematian yang menyakitkan bukanlah dari benda tajam. Melainkan~." Leon mengambil batako yang ada di area itu. Matanya berkilat mengerikan. "Dari benda tumpul." BRAKKK. Dalam satu gerakan. Ia menghantam kepala pria itu sampai berdarah-darah. Pria itu masih bergerak dan dapat merasakan betapa sakitnya kepalanya yang sedang dihancurkan. "Manusia tak tahu diri." BRAKKK Sekali lagi Leon menghantamkan batako tersebut hingga tengkoraknya pecah. Darah mengalir tak karuan. "Dasar bodoh." BRAKKK. 1 2 3x hantaman. Kepala itu nyaris remuk. Tetapi Leon tak berhenti. Sampai kemudian tiba-tiba ia merasakan sebuah tendangan menyakitankan tepat di jantungnya. Leon meringis sembari meremat dadanya yang terasa nyeri. Ia pun terhunyung mundur. Lalu, sebuah sirene polisi terdengar tak jauh dari lokasi. "Shiit." Sembari meremat dadanya, Leon pergi meninggalkan TKP. 'Sial. Lagi - lagi jantungnya berdenyut menyakitkan' *** #Ini bukan cerita tentang donor jantung biasa. Tetapi ini kisah yang akan membuat jantung kalian berdebar. ?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD